Ketika semua orang terlalu mengagung-agungkan AI,
ancaman di masa depan kian menganga. Tanpa mitigasi yang tepat, teknologi ini
dapat melunturkan identitas, mengikis jati diri, memberantas kreativitas, dan
melenyapkan nilai-nilai lokal. Di negara dengan tingkat literasi digital yang
rendah, kemunculan AI dapat menjadi bumerang jika tidak digunakan secara bijak.
Fenomena ingin serbapraktis, harus serbacepat, lebih memperburuk keadaan ini.
Akhirnya, banyak yang menyerahkan berbagai urusan pada mesin, lalu mengabaikan
satu perkara hakiki, yaitu proses terciptanya pengetahuan dalam otak manusia.
Jebakan penggunaan AI setidaknya muncul karena tiga
hal: pertama, rendahnya sikap kritis manusia terhadap mesin AI; kedua,
kemalasan untuk mempelajari seluk-beluk dan jeroan AI itu sendiri; dan ketiga,
sikap FOMO yang berujung pada upaya pembodohan. Baiklah, kita kupas satu per
satu agar tidak terperangkap dalam kecerdasan semu.
Salah satu keunggulan AI yang cukup mencengangkan
adalah kemampuan generatif. Bukan sekadar memberikan informasi, sang AI dapat
menulis artikel, cerita pendek, makalah, skripsi, mengolah gambar, suara, lagu,
video—dan mungkin di masa depan bisa membuat seblak, loték, telur gulung, atau
apa pun yang kalian mau. Sikap kritis diperlukan karena setiap produk AI
memiliki ‘bias’, yaitu kecenderungan algoritma untuk memberikan hasil atau
keputusan yang tidak netral, tidak adil, dan bahkan salah kaprah.
Maos Jugan
- Narto Lebur ka Oreng Bine'
- ALBUM TANPA JUDUL
- Jamal D Rahman Maos Carpan
- Puisi-Puisi Jufri Zaituna
- Mamat Terro Nompa’a Jaran
AI hanyalah pendamping, sekadar alat, dan bukan
pencipta. AI akan benar-benar membantu jika manusia punya sikap kritis, dan
sebaliknya dapat menjerumuskan jika manusia menyerahkan sepenuhnya kepada mesin
itu. Sebagai contoh, seseorang yang tak punya kemampuan menulis, kemudian
menyuruh AI membuat artikel, ia tak akan mampu menilai apakah hasilnya baik
atau buruk. Lalu dengan penuh kebanggaan mengumumkan tulisan tersebut
seolah-olah karyanya sendiri. Bahkan, ketika AI menampilkan sumber-sumber dalam
daftar pustaka, itu belum tentu sepenuhnya benar.
Selain itu, kasus berikut sangat marak terjadi
akhir-akhir ini. Misalnya, si A membuat sebuah artikel menggunakan AI, lalu ia
memuatnya di laman web. Beberapa waktu kemudian, si B membuat artikel juga, dan
salah satu rujukannya AI adalah artikel yang dibuat si A. Ini kadang-kadang
seperti fiktif, tetapi begitulah cara AI berkembang biak.
Kebiasaan AI yang sering kali ‘mengutip dirinya
sendiri’ bisa berdampak buruk pada autentisitas suatu karya. Contoh lainnya
dalam karya lagu. Di dunia AI, Mang Suno adalah penggubah lagu yang handal.
Bukan hanya menciptakan lagu dalam hitungan detik, ia juga dapat meniru
berbagai genre dan karakter vokal. Sayangnya,
Mang Suno belum belajar banyak tentang karakteristik
lagu daerah, misalnya Sunda. Maka ketika seseorang memintanya membuat lagu
dengan lirik bahasa Sunda, hasilnya adalah irama yang jauh dari nuansa Sunda,
dengan lantunan vokal yang juga aneh. Seandainya Mang Koko masih ada, tentu
bakal dibuat bingung dengan lagu Sunda macam itu. Sampai di sini tak ada
masalah. Namun, ketika lagu tersebut terus diproduksi, ciri khas Sunda
lama-lama kabur karena AI akan membelajari sumber yang salah—bahkan yang dibuat
oleh dirinya sendiri.
Memang, barangkali kelak akan ada yang mau melatih AI
agar mempelajari lagu-lagu Sunda dengan baik. AI bisa saja membuat lagu
bergenre cianjuran, kiliningan, dan sebagainya, dengan iringan waditra Sunda
pula. Namun, itu perlu jerih payah yang cukup lama. Jadi, kita berbicara
situasi hari ini saja.
Jebakan kedua adalah kemalasan mempelajari jeroan AI.
Sedikit berbau teknis, tetapi mari kita sederhanakan. AI menggunakan jaringan
saraf buatan untuk membentuk pola dari informasi yang dilatihkan kepadanya. Ini
mirip dengan cara kerja otak manusia—itu sebabnya teknologi ini disebut
kecerdasan buatan. Ketika kita menyuruh AI membaca sebuah buku, jangan
membayangkan AI menyimpan buku tersebut dari halaman pertama sampai akhir.
Dengan dukungan model bahasa besar (LLM), AI mempelajari pola dalam buku tersebut
sehingga ia mampu merangkum, memberi informasi penting, membuat sinopsis, dan
hal lainnya.
Dalam kehidupan nyata, jika seorang narasumber cerdas
diminta membedah satu buku sastra dalam sebuah seminar, tentu ia harus
membacanya terlebih dahulu. Dan ketika memaparkan hasil bacaannya, ia hanya
mengupas isi buku berdasarkan sudut pandangnya—dan ini berkaitan dengan ilmu
yang ia pelajari sebelumnya. Apakah si narasumber hafal semua kata dalam buku
tersebut di luar kepala? Tentu tidak. Peserta seminar juga tahu bahwa si
narasumber adalah ahli sastra, mereka tidak akan bertanya tentang biologi apalagi
kedokteran.
Setiap AI juga punya karakteristik tersendiri,
tergantung tujuan si pembuat. Inilah yang mesti diselidiki, apa saja yang
dipelajari oleh AI tersebut sebab di luar sana ada ribuan jenis AI. ChatGPT
(Open AI) hanya salah satunya, dan lebih terkenal karena kepopulerannya. Fokus
ChatGPT adalah pemrosesan bahasa alami (NLP), dan bukan mesin yang diciptakan
untuk menguasai lintas disiplin ilmu. Meskipun kemampuannya terbilang luar
biasa, ia punya kelemahan dalam berbagai aspek.
Karena itu, jika ingin memanfaatkan AI untuk menulis
skripsi misalnya, carilah model yang lebih spesifik. Jika ingin mendapatkan
semen, datanglah ke toko bangunan, jangan bertanya ke apotek.
Saat ini, tampaknya terlalu dini untuk mengatakan
suatu AI yang serbabisa. Meskipun di masa mendatang, proyek ambisius kecerdasan
umum buatan (AGI) akan menjadi kenyataan. Berbeda dengan AI yang melakukan
tugas spesifik, AGI bisa lebih meniru kemampuan manusia, terutama dalam hal
kesadaran, pemahaman, dan lintas disiplin ilmu.
Maos Jugan
- KEPETAHAN LIDAH BAWEAN
- Carpan: Pelak
- Sanja' Taresna, Helmy Khan
- Carpan: Andharun
- Sajan Abit Oreng Atane Sajan Tadha'
Mungkin masih banyak orang yang tiba-tiba gugup ketika
dihadapkan pada teknologi macam ini. Jangankan mampu menelusuri jeroannya,
menggunakannya pun masih tergagap-gagap. Dan karena belum tahu cara bertanya,
jawaban AI tersebut belum tentu sesuai dengan yang diharapkan—bahkan cenderung
mengada-ada.
Namun, sikap takut ketinggalan, ingin tampak canggih
meskipun hanya ikut-ikutan, telah menjadi kelaziman di kalangan masyarakat
kita. Ini adalah jebakan ketiga, tatkala pengetahuan dipandang begitu mudah dan
nyaris tanpa proses. Maka bertebaranlah pelatihan membuat modul pelajaran
menggunakan AI, cara menyusun skripsi 10 kali lebih cepat, bikin buku tanpa
berpikir, lalu dipercaya meskipun hasilnya ngaco.
Situasi ini tentu merugikan mereka yang benar-benar
menggunakan otak atau kreativitasnya sendiri. Ketika orang-orang menganggap apa
pun bisa dilakukan dengan AI, maka sebuah karya akan kehilangan nilai.
Bayangkan jika tulisanmu dituduh menggunakan AI—sehingga tak dibayar sepeser
pun, padahal kamu membuatnya empat hari empat malam.
Tentu saja, kehadiran AI adalah keniscayaan. Tak ada larangan untuk menggunakannya. Namun, hal yang paling penting adalah memahami bagaimana mesin itu bekerja, juga sikap kritis terhadap apa pun yang dihasilkan oleh AI. Teknologi hadir untuk mendampingi, bukan menggantikan peran kita.