buku Karya A. Warits Rovi
Dalam kehidupan manusia secara teoritis itu akan
mencari yang namanya sumber energi, manusia bergerak hanyalah untuk mendapatkan
sumber energi, serta energi tersebut digunakan untuk bergerak mencari sumber
energi. Dalam mencari sumber energi itu, ada dua contoh yang paling gampang
kita lihat, yaitu akar dan tunas, keduanya sama-sama mencari sumber energi.
Akar mencari sumber energi ke dalam (ke bawah) mencari air sebagai sumber
energi pohon, sedangkan tunas mencari sumber energi ke arah cahaya matahari itu
ada.
Air dan Cahaya Matahari itu merupakan sumber energi
yang digunakan untuk dijadikan makanan pohonan, agar dirinya berkembang.
Manusia hidup di dunia juga pastinya membutuhkan energi, kemana dia akan
mencari sumber energi, itu lah yang kemudian menjadi budaya, sekaligus segala
aktifitas yang digunakan untuk mencari sumber energi itulah yang dinamakan
kebudayaan. Yang pada intinya adalah bertahan hidup. Apakah sebatas yang
bersifat material seperti air, atau juga mencari hal-hal yang bersifat
spiritual, seperti cahaya?
Maos Jugan
- Rèng Binè’ Ḍâlem Kepkeppan Jhâman
- Damar Kambang: Kaleburanna Oreng Madura
- Peribahasa Madura, Sanja' Kona
- Paparegan Madura
- Konsonan alos & dhammang
Sama halnya dengan antologi cerita pendek (cerpen)
yang terkumpul dalam buku “Dukun Carok & Tongkat Kayu” selanjutnya kita
DCTK saja, sebuah buku yang ditulis oleh maestro sastra timur laut (timur
daya), A. Warist Rovi. Buku ini terdiri dari 18 cerita pendek yang diterbitkan
oleh Basabasi (Banguntapan, Bantul) Yogyakarta. Pada dasarnya semua 18 cerpen
itu berbicara bagaimana manusia mencari sumber energi, yang kemudian
aktivitas-aktivitas tersebut disebut sebagai kebudayaan, dalam pengantarnya A.W
Rovi juga menuturkan bahwa kehadiran buku sedikit banyak untuk membantu
menginventarisir beberapa kebudayaan, yang bisa jadi akan hilang dalam waktu
yang akan datang.
Salah satu kebudayaan Madura yang coba A.W Rovi kupas
adalah Karapan Sapi dengan judul tokong tongko’. Madura & Kejantanan itu
seperti dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, jarang sekali kita jumpai wajah
Madura yang non sangar, rata-rata dengan kopiah hitam, songot marong, baju
hitam, itu akan menghadirkan kesan yang cukup sangar. Hal-hal yang berbau
kejantanan itu juga nampak dalam cerpen berjudul Tokang Tongko’ ini.
Bibit kejantanan dihadirkan dengan tokoh Risto yang
meskipun dilarang oleh ibunya untuk menjadi tokang tongko’, ia tetap berlatih
secara diam-diam agar bisa menjadi tokang tongko’ yang lihai, apalagi sebagai
anak tokang tongko’, tentu darah “driver” Karapan Sapi mengalir
ditubuhnya. Tentu saja DNA Tokang Tongko’ tak bisa jauh-jauh dari arena
karapan, jika ia dijauhkan justru akan meronta-ronta. Artinya Sokma-nya akan
Posang e leggana jika tidak menjadi tokang tongko’.
Dalam cerpen Binsabin, A.W Rovi mencoba
mengketengahkan persoalan agrarian, seperti menjaga tanah, menjaga tanaman,
rumput yang akan dijadikan pakan ternak sapi, dll. Selain berbicara kejantanan,
tatak (Basa Madura), Madura seperti nampak selalu ingin bermain atau
mempermainkan. Sebatas main-main kira-kira seperti itu. Kita lihat dalam
pertunjukan Binsabin (Bin-Sabin). Hanya dengan tongkat, yang terdiri dari
ranting kayu kecil, kemudian ditancapkan pada tanah, lalu tongkat yang
ditancapkan itu diberi kuncir daun lontar (ata ra-kara, balarak) itu lah
binsabin.
Hal tersebut sudah menjadi tentara yang bisa menjaga
tanaman, sebab Binsabin itu diberi mantra-mantara yang barangsiapa mengganggu
tanaman yang diberi binsabin akan terdampak tulah, salah satu tulahnya (dalam
cerita Binsabin) akan berbatuk-batuk hingga pingsan dan lain sebagainya. Namun
ternyata justru mengenai orang terdekatnya sendiri, yaitu Ayahnya yang ternyata
mengambil jagung, tanaman dari yang telah memasang binsabin tersebut.
Upaya A. W Rovi membangun logika mistika kita temukan
dalam cerpen “Baduwi”, dari awal diceritakan bahwa ada keseraman, kesakralan
serta hal-hal yang menakutkan dalam kuburan Baduwi, namun ternyata ada seorang
ibu dan seorang anak lelaki yang justru mendatangi tempat keramat tersebut.
Seorang Perempuan rata-rata dianggap takutan, penakut, justru berani, serta
seorang anak lelaki, justru tidak mengalami ketakutan.
Apa yang sebenarnya terjadi, serta juga Man Jusup yang
sepertinya sangat ahli menghadirkan narasi yang menyeramkan berhasil membuat
orang-orang menjauh dari kuburan baduwi tersebut, di akhir cerita diketahui
bahwa kuburan baduwi yang keramat dan menyeramkan itu adalah tempat pertemuan
antara Man Jusup dengan Perempuan tersebut, yang juga menerima sembako dan juga
menerima hp smart yang dikirimkan oleh Man Jusup kepada anak lelaki yang selalu
mempertanyakan ayahnya.
Harga diri seorang Perempuan benar-benar dipertaruhkan
di Madura selama Perempuan tidak ganjen, tidak leter pada pria lain. A. W Rovi
menunjukkan dalam cerpen Dukun Carok & Tongkat Kayu. Cerpen ini juga
menjadi judul dari buku ini. Berapapun mahar yang harus dikeluarkan, akan tetap
dilakukan demi kembalinya harga diri Perempuan. Jangan coba-coba usik-usik.
Darah taruhannya. Dalam pertarungan di Madura yang disebut Carok, tidak boleh
mengecoh, atau menusuk dari belakang, sebab itu bukan jati diri dari bangsa
Madura. Carok terjadi memang keduanya sama-sama sepakat, terutama dia yang
menganggu istri orang, ketika dirinya menganggu istri orang, artinya dia telah
menangtang sang pemilik, dalam hal ini Hamid dalam cerpen tersebut.
Tentu Hamid mencari cara agar bisa menghabisi preman
yang telah melecehkan istrinya, Hamid harus membayar lunas, 4juta rupiah untuk
membayar mahar kesaktian yang dibeli pada Ki Yusuf, dukun sakti mandraguna yang
telah terkenal seantero jagat, dari Ki Yusuf, Hamid mendapatkan tongkat kayu
yang bisa mengalahkan Preman desa yang telah mengganggu istrinya. Kemenangan
Hamid telah mengembalikan Marwah keluarga tersebut.
Terakhir adalah Kucing-kucing yang membongkar kuburan,
secara naratif, ini juga dikategorikan sebagai Upaya A.W Rovi untuk membongkar
logika mistika. Dalam cerpen ini, saya teringat dengan cerpen Anjing-anjing
Menyerbu Kuburan, karya Kuntowijoyo. Biarlah ini dibandingkan oleh Mas-mas
Pembanding di samping saya.
Dalam cerpen yang ditempatkan paling terakhir ini
(18), A.W Rovi juga memulai dengan hal-hal yang menakutkan, menyeramkan,
seperti jeritan di pagi buta, kuburan yang terbongkar, tentu ini sangat
menyeramkan. Apalagi di pagi hari. Tentu sangat menakutkan. Ini terjadi
berulangkali, apalagi ada orang yang meninggal pada malam gerhana. Tentu akan
sangat menyeramkan.
Maos Jugan
- Ejaan Dalam Bahasa Madura
- Contoh Undangan Bahasa Madura
- Kerata Basa Madura
- carpan: Pété' Bârna
- Sanja’na KHALIL SATTA ÈLMAN
Tentu ada beberapa tokoh yang berupaya mencari sumber
titik masalah tersebut, bagaimana mungkin kucing-kucing bisa membongkar kuburan
dan memakan mayat. Padahal biasanya kucing hanya memakan ikan, tulang-belulang
atau krupuk. Ini justru ada yang makan mayat. Tentu sangat mengerikan sekali.
Setiap malam ada yang berpatroli. Dari satu pemakaman ke pemakaman yang lain,
tidak ada tanda-tanda akan adanya kucing menyerbu kuburan, seperti aman-aman
saja, tapi ketika habis subuh, ada lagi yang terbongkar dan dimakan kucing.
Sungguh menyeramkan.
Akhirnya diselidiki secara lebih seksama. Ternyata
yang membongkar itu adalah kucing liar yang berupa kepala desa beserta pekerja
terpercayanya. Orang-orang terperdaya dengan kalimat-kalimat yang menyeramkan
yang dilontarkan pak Kades, agar tak keluar malam kecuali mereka yang telah
ditunjuk untuk berpatroli. Berdasarkan jadwal yang telah ditetapkan. Tentu saja
hal ini sangat menyeramkan, apalagi yang menyebarkan info pertama kali justru
orang yang berkuasa, seperti kades, yang seharusnya memberikan keamanan justru
menyebarkan rasa takut pada warganya.
Itulah sekelumit bentuk Sokma Posang dalam buku antologi Cerpen Dukun Carok & Tongkat Kayu, efek dari Sokma Posang tersebut, banyak yang melakukan berbagai macam aktivitas untuk mencari sumberi energi, sumber kekuatan agar dirinya bertahan hidup. Segala aktivitas yang dilakukan manusia, di muka bumi, selama masih hidup itu merupakan wujud dari sokma posang yang sedang mencari sumber energi.