Cerpen: Kehidupan Kedua

Sastra Indonesia, kiai madura, menikah muda, selingkuh, cerai,sastra madura


Dari jendela kamar depan kuperhatikan dia berlarian dengan lincah memungut mainan yang berserakan, mengumpulkan kemudian mengotak-atik dengan husuk, sendirian. Sering kali air liur menetes membasahi pakaian atau benda yang dipegangnya. Senyumku tak terbendung, kadang pula tertawa geli melihat tingkahnya. Bulu matanya panjang meski tak begitu lentik, hidungnya mancung, wajahnya oval, ada belahan di tengah dagunya, pipinya berisi, rambutnya sedikit ikal, tampan, mirip sekali dengan ayahnya.

 

Deg! Dadaku tiba-tiba sesak.

 

***

 

“Kalau memang kamu keberatan, atau hanya menganggap pertemuan kita tak lebih dari sekedar perihal yang tidak penting untuk diteruskan, baiknya kamu sampaikan. Aku tidak mau terlalu berharap bila memang kamu tidak ingin. Atau aku hanya pengisi hatimu yang kosong saja selama ini?” dia menatapku.

 

Aku tak membalas pandangannya. Kupandangi air laut yang memantulkan tubuh kami. Dia tak bergeming sebagaimana aku yang tidak berhasil menemukan jawaban yang tepat.

 

“Ayolah, kita pulang saja!” ajaknya setelah sama-sama tak berbicara.

 

“Apa kamu sudah memikirkan ini sungguh-sungguh?” hanya kalimat itu yang berhasil keluar dari mulutku walau sebenarnya ada banyak pertanyaan yang tertahan.

 

“Apa yang kamu ragukan dari semua ini? Apa kehadiranku selama ini tak cukup meyakinkanmu? Aku bukan pengecut seperti mantan tunanganmu itu,” suaranya sedikit parau. Aku menunduk diam. Membiarkan angin laut memainkan kerudung biru yang kukenakan.

 

***

Maos jugan


Sayup merdu Kel el Qasayed Marwan Khaury mengalun dalam perjalanan. Siang yang terik, dia mengantarkanku pulang hari itu. Keinginannya  untuk bertemu langsung dengan bapak tak bisa kucegah. Semenjak dia menangis memintaku untuk tidak meninggalkan, perlahan rasa yang tak mengerti  harus kuusir tapi tak bisa mulai mengepung hati. Diam-diam, mengendap dan mulai menumbuhkan ketakutan yang lain. Laki-laki yang husuk menyetir sejak kumantapkan hati memilihnya sama tak berbicara banyak. Dia hanya meminta kebahagiaannya bersamaku. Bukan yang lain. Lalu, alasan apa yang akan membuat hatiku menolak untuk tidak menerimanya memasuki dan memiliki kehidupanku setelah sakit yang sebelumnya menimpaku dan keluarga?

 

Sungguh, air matanya telah meruntuhkan gerbang tertinggi di hatiku untuk tak lagi kembali memulai cerita baru. Air matanya yang menguatkanku. Air matanya yang membunuh ketakutan-ketakutan itu. Air matanya yang membiarkan harapan-harapan baru tumbuh. Air matanya yang membuatku untuk berani bermimpi lagi. Air matanya yang membuatku membunuh kepedihan-kepedihan itu. Air matanya yang membangkitkan dari kematian pada rasaku. Air matanya yang membuatku ingin hidup lebih lama lagi. Air matanya yang membuat aku ingin dengannya tanpa kembali takut terluka.

 

***

 

“Aku menitip puteriku satu-satunya. Dia persis sepertiku, satu pilihannya takkan bisa membuat keputusannya berubah. Aku tahu dia mencintaimu, Nak. Walau semarah apapun kelak, dia akan tetap mendampingimu,” kupandangi wajah Bapak yang mulai keriput di beberapa sudut wajahnya. Kupandangi laki-laki yang kini menjadi penyempurna agamaku. Air mata menetes. Entah apa yang kutangisi.

 

“Keluarga tidak menginginkan semua ini. Tapi, saya akan tetap menikahi puteri Bapak. Restui kami…” kata-kata itu masih segar dalam ingat. Aku mencuri-curi mendengarkan pembicaraan Bapak dengannya dari balik bilik yang tak kedap suara seminggu yang lalu.

 

Apa yang telah aku lakukan. Apa yang telah dia lakukan. Meluluhkan hati Bapak, Ibu dan keluarga untuk memilih jalan ini pada akhirnya.

 

***

Maos jugan

 

”Aku tidak bisa melanjutkan ini semua, Mi…” suaranya di ujung telepon genggam yang menempel pada telinga kiriku terdengar berat.

 

“Maksud perkataanmu apa, Bi?” seketika ketakutan-ketakutan itu menyerang hatiku.

 

“Ibu sakit-sakitan. Abah memintaku untuk kembali ke pondok dan nyantri disana. Saudara-saudaraku membenci dan mencibir seolah akulah penyebab Ibu dengan keadaannya sekarang. Mereka mengutukku tak tahu diri, tak tahu balas budi. Anak durhaka,” dia menjelaskan. Suaranya parau. Sesekali terdengar isak.

 

“Salah Umi apa, Bi?” dadaku mulai sesak dan berat di kerongkongan. Air mata tak lagi bisa kubendung.

 

“Umi tidak salah, Umi tidak kurang apapun ke Abi. Umi perempuan terbaik yang Abi kenal dan Abi miliki. Umi tidak salah. Abi yang salah…” suaranya terdengar parau.

 

“Lalu apa maksud perkataan Abi sejak tadi?”

 

“Abi tidak bisa melanjutkan pernikahan kita lagi, Mi… Maafkan Abi… Maafkan Abi melukai Umi…”

 

“Kenapa, Bi? Apa karena Umi bukan orang kaya? Apa karena Umi hanya anak seorang petani? Apa hanya karena Umi bukan dari golongan terhormat dan gawagis seperti keluarga Abi? Kalau itu alasannya, kenapa Abi  dulu memilih Umi? Kenapa Abi sedemikian meminta Umi agar mendampingi Abi?” kataku histeris tanpa bisa mengendalikan diri.

 

“Abi minta maaf, Mi. sejak kalimat ini  Abi katakan, Umi bukan milik Abi lagi, bukan istri Abi lagi.”

 

Langit seolah runtuh. Peredaran darah berhenti. Sendi-sendi tak kuasa menopang tubuh. Seketika dingin menyergap kaki hingga ubun. Allah .…

 

***

 

“Aku kira dia mencintaiku tanpa jeda, tetapi koma, kutip dan tanda baca lain mengusik, dia goyah kemudian memutuskan untuk berhenti pada titik.

 

Aku kira dia mencintaiku selayaknya air mata yang mengalir setiap kali dia sampaikan rindu, tetapi makhluk bernama rasa asing kembali menguntitnya, dia ragu kemudian memutuskan untuk mengakhiri, melepas ikat yang tak pernah cela.

 

Aku kira dia mencintaiku sebagaimana ikrarnya, menjadi satu-satunya makhluk yang selalu dia semogakan sebagai bagian dirinya, tulang rusuk yang Tuhan jadikan bagian takdirnya. Tapi, sebagaimana pula awalnya, diakhir tak ada sumpah-janji kekal sebagaimana kuyakini.

 

Aku kira dia mencintaiku seperti purnama, tanpa sakit dan kurang, tanpa sabit dan tak sempurna. Tapi, nyata dia hanya rembulan.

 

Aku kira dia mencintaiku, ternyata tidak.” Aku menghela napas.

 

***

 

“Umi…” suaranya memecah lamunan. Bocah berumur tiga tahun itu berlari mencariku.

 

“Iya, kenapa, Nak?” aku menghampirinya.

 

“Geyap…” isyarat ketakutan dari raut wajahnya. Hujan akan segera turun. Gelap memenuhi langit. Aku memeluk tubuhnya yang kecil. Kelak, pada kehidupan berikutnya, kamu harus menjadi laki-laki baik, Nak. Dalam hati aku berdoa.

 

 

 

*Neng Ummah El-Kamil (Hammu Lutabitahk) adalah seorang perawat Poskestren yang tinggal di kabupaten Sumenep Madura. Alumni (MI, MTs, & MA) Annajah 1 Karduluk ini, merupakan Mahasiswi terbaik di Akper (sekarang STIKES) Nazhatut Thullab Sampang.

*Cerpen ini termaktub dalam buku “CINTA Tak Pernah Pergi” (antologi bersama), Najmubooks, 2018

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak