Dari
jendela kamar depan kuperhatikan dia berlarian dengan lincah memungut mainan
yang berserakan, mengumpulkan kemudian mengotak-atik dengan husuk, sendirian.
Sering kali air liur menetes membasahi pakaian atau benda yang dipegangnya.
Senyumku tak terbendung, kadang pula tertawa geli melihat tingkahnya. Bulu
matanya panjang meski tak begitu lentik, hidungnya mancung, wajahnya oval, ada
belahan di tengah dagunya, pipinya berisi, rambutnya sedikit ikal, tampan,
mirip sekali dengan ayahnya.
Deg!
Dadaku tiba-tiba sesak.
***
“Kalau
memang kamu keberatan, atau hanya menganggap pertemuan kita tak lebih dari
sekedar perihal yang tidak penting untuk diteruskan, baiknya kamu sampaikan.
Aku tidak mau terlalu berharap bila memang kamu tidak ingin. Atau aku hanya
pengisi hatimu yang kosong saja selama ini?” dia menatapku.
Aku
tak membalas pandangannya. Kupandangi air laut yang memantulkan tubuh kami. Dia
tak bergeming sebagaimana aku yang tidak berhasil menemukan jawaban yang tepat.
“Ayolah,
kita pulang saja!” ajaknya setelah sama-sama tak berbicara.
“Apa
kamu sudah memikirkan ini sungguh-sungguh?” hanya kalimat itu yang berhasil
keluar dari mulutku walau sebenarnya ada banyak pertanyaan yang tertahan.
“Apa
yang kamu ragukan dari semua ini? Apa kehadiranku selama ini tak cukup
meyakinkanmu? Aku bukan pengecut seperti mantan tunanganmu itu,” suaranya
sedikit parau. Aku menunduk diam. Membiarkan angin laut memainkan kerudung biru
yang kukenakan.
***
Sayup
merdu Kel el Qasayed Marwan Khaury mengalun dalam perjalanan. Siang yang terik,
dia mengantarkanku pulang hari itu. Keinginannya untuk bertemu langsung dengan bapak tak bisa
kucegah. Semenjak dia menangis memintaku untuk tidak meninggalkan, perlahan
rasa yang tak mengerti harus kuusir tapi
tak bisa mulai mengepung hati. Diam-diam, mengendap dan mulai menumbuhkan
ketakutan yang lain. Laki-laki yang husuk menyetir sejak kumantapkan hati
memilihnya sama tak berbicara banyak. Dia hanya meminta kebahagiaannya
bersamaku. Bukan yang lain. Lalu, alasan apa yang akan membuat hatiku menolak
untuk tidak menerimanya memasuki dan memiliki kehidupanku setelah sakit yang
sebelumnya menimpaku dan keluarga?
Sungguh,
air matanya telah meruntuhkan gerbang tertinggi di hatiku untuk tak lagi
kembali memulai cerita baru. Air matanya yang menguatkanku. Air matanya yang
membunuh ketakutan-ketakutan itu. Air matanya yang membiarkan harapan-harapan
baru tumbuh. Air matanya yang membuatku untuk berani bermimpi lagi. Air matanya
yang membuatku membunuh kepedihan-kepedihan itu. Air matanya yang membangkitkan
dari kematian pada rasaku. Air matanya yang membuatku ingin hidup lebih lama
lagi. Air matanya yang membuat aku ingin dengannya tanpa kembali takut terluka.
***
“Aku
menitip puteriku satu-satunya. Dia persis sepertiku, satu pilihannya takkan
bisa membuat keputusannya berubah. Aku tahu dia mencintaimu, Nak. Walau semarah
apapun kelak, dia akan tetap mendampingimu,” kupandangi wajah Bapak yang mulai
keriput di beberapa sudut wajahnya. Kupandangi laki-laki yang kini menjadi
penyempurna agamaku. Air mata menetes. Entah apa yang kutangisi.
“Keluarga
tidak menginginkan semua ini. Tapi, saya akan tetap menikahi puteri Bapak.
Restui kami…” kata-kata itu masih segar dalam ingat. Aku mencuri-curi
mendengarkan pembicaraan Bapak dengannya dari balik bilik yang tak kedap suara
seminggu yang lalu.
Apa
yang telah aku lakukan. Apa yang telah dia lakukan. Meluluhkan hati Bapak, Ibu
dan keluarga untuk memilih jalan ini pada akhirnya.
***
”Aku
tidak bisa melanjutkan ini semua, Mi…” suaranya di ujung telepon genggam yang
menempel pada telinga kiriku terdengar berat.
“Maksud
perkataanmu apa, Bi?” seketika ketakutan-ketakutan itu menyerang hatiku.
“Ibu
sakit-sakitan. Abah memintaku untuk kembali ke pondok dan nyantri disana.
Saudara-saudaraku membenci dan mencibir seolah akulah penyebab Ibu dengan
keadaannya sekarang. Mereka mengutukku tak tahu diri, tak tahu balas budi. Anak
durhaka,” dia menjelaskan. Suaranya parau. Sesekali terdengar isak.
“Salah
Umi apa, Bi?” dadaku mulai sesak dan berat di kerongkongan. Air mata tak lagi
bisa kubendung.
“Umi
tidak salah, Umi tidak kurang apapun ke Abi. Umi perempuan terbaik yang Abi
kenal dan Abi miliki. Umi tidak salah. Abi yang salah…” suaranya terdengar
parau.
“Lalu
apa maksud perkataan Abi sejak tadi?”
“Abi
tidak bisa melanjutkan pernikahan kita lagi, Mi… Maafkan Abi… Maafkan Abi
melukai Umi…”
“Kenapa,
Bi? Apa karena Umi bukan orang kaya? Apa karena Umi hanya anak seorang petani?
Apa hanya karena Umi bukan dari golongan terhormat dan gawagis seperti keluarga
Abi? Kalau itu alasannya, kenapa Abi
dulu memilih Umi? Kenapa Abi sedemikian meminta Umi agar mendampingi
Abi?” kataku histeris tanpa bisa mengendalikan diri.
“Abi
minta maaf, Mi. sejak kalimat ini Abi
katakan, Umi bukan milik Abi lagi, bukan istri Abi lagi.”
Langit
seolah runtuh. Peredaran darah berhenti. Sendi-sendi tak kuasa menopang tubuh.
Seketika dingin menyergap kaki hingga ubun. Allah .…
***
“Aku
kira dia mencintaiku tanpa jeda, tetapi koma, kutip dan tanda baca lain
mengusik, dia goyah kemudian memutuskan untuk berhenti pada titik.
Aku
kira dia mencintaiku selayaknya air mata yang mengalir setiap kali dia
sampaikan rindu, tetapi makhluk bernama rasa asing kembali menguntitnya, dia
ragu kemudian memutuskan untuk mengakhiri, melepas ikat yang tak pernah cela.
Aku
kira dia mencintaiku sebagaimana ikrarnya, menjadi satu-satunya makhluk yang
selalu dia semogakan sebagai bagian dirinya, tulang rusuk yang Tuhan jadikan
bagian takdirnya. Tapi, sebagaimana pula awalnya, diakhir tak ada sumpah-janji
kekal sebagaimana kuyakini.
Aku
kira dia mencintaiku seperti purnama, tanpa sakit dan kurang, tanpa sabit dan
tak sempurna. Tapi, nyata dia hanya rembulan.
Aku
kira dia mencintaiku, ternyata tidak.” Aku menghela napas.
***
“Umi…”
suaranya memecah lamunan. Bocah berumur tiga tahun itu berlari mencariku.
“Iya,
kenapa, Nak?” aku menghampirinya.
“Geyap…”
isyarat ketakutan dari raut wajahnya. Hujan akan segera turun. Gelap memenuhi
langit. Aku memeluk tubuhnya yang kecil. Kelak, pada kehidupan berikutnya, kamu
harus menjadi laki-laki baik, Nak. Dalam hati aku berdoa.
*Neng
Ummah El-Kamil (Hammu Lutabitahk) adalah seorang perawat Poskestren yang
tinggal di kabupaten Sumenep Madura. Alumni (MI, MTs, & MA) Annajah 1
Karduluk ini, merupakan Mahasiswi terbaik di Akper (sekarang STIKES) Nazhatut
Thullab Sampang.
*Cerpen
ini termaktub dalam buku “CINTA Tak Pernah Pergi” (antologi bersama),
Najmubooks, 2018