(Catatan
pengunjung)
Setiap
menghadiri acara pameran seni rupa, saya selalu membayangkan bahwa apa yang
tampak dalam sebuah lukisan pasti melampaui dari apa yang sekedar terlihat.
Melalui rupa visual, bangunan komposisi, dan struktur garis, misalnya, saya
percaya, ini bukan hanya persoalan penegak formal dari perkara teknis, tetapi
secara keseluruhan ia memperlihatkan suatu bentuk pengalaman imajinatif yang
dibangkitkan oleh pelukisnya, meski ia bukan gambaran dunia pertama secara
langsung seperti apa adanya, tetapi gambaran-gambaran tersebut merupakan dunia
pengalaman yang dihayati, dirasakan, dan dipahami oleh pelukisnya.
baca juga: Tabun dalam Lingkaran
Art
Exhibition Klops Reborn (Kelompok perupa Sumenep) menggelar pameran seni rupa
yang berlokasi di Hotel Suramadu Sumenep, dibuka pada tgl 18-25 Januari 2023. Saya hadir pada hari
ketiga, menuju lokasi, memasuki ruangan, saya berdiam sejajar dengan pintu
masuk, mencoba menyerap aura ruang, dan membiarkan segala rupa menarik tubuh
saya ke dalam percakapan yang lebih intim.
Dari
arah pintu masuk, dua orang duduk di kursi, mereka mempersilakan pengunjung
untuk mengisi keterangan daftar hadir di atas meja. Saya masih berdiam persis
tidak jauh dari posisi utama, hanya sedikit begeser saat pandangan saya
terhalang oleh pengunjung yang lain, dan saya nyaris tak bisa mencegah diri
untuk segera mendekati pameran. Saat berpindah dari satu tatapan ke tatapan
lainnya, perhatian saya tertuju pada tulisan yang terpajang dalam sebuah banner
"PAMERAN LUKISAN SUMENEP MASA KEJAYAAN"
Pelan-pelan
saya mulai mendekati pameran satu persatu, menyalami setiap karya, seolah
bercakap dengan pelukisnya, meskipun saya tidak mengenal nama dan melewati
judul karyanya, namun batin saya terketuk dan membunyikan suara dari dalam:
betapa seni mampu menghidupkan sesuatu yang mati. Maka, wajar kalau ada orang
bilang "lukisan ini hidup sekali, lukisan ini punya roh, dll" Mungkin
inilah sebabnya, kenapa pameran juga disebut sebagai wahana rekreasi, ruang
untuk menemukan kembali makna bagi pengunjung di suatu tempat dan waktu tertentu.
Alih-alih, pengunjung dapat membawa pulang suatu refleksi dan maknanya.
Gelaran
pameran tersebut, secara umum melukiskan hubungan yang mengandaikan konsep
sistem tanda, yakni, penanda, petanda dan acuannya. Dalam hubungan triadik ini,
"penanda" adalah wujud ciptaan pelukis seperti, bentuk, garis, warna,
komposisi, tekstur. ''petanda" adalah pemikiran atau suatu konsep,
sedangkan"acuan" adalah objek dalam kenyataan sebagai referensinya.
Melihat
beberapa lukisan yang ada, sebagian menampilkan bentuk "landscape", khususnya
pelukis yang mempraktikkan metode mimesis. Diantaranya adalah lukisan alam,
kerapan sapi, sapi sono', terminal, perahu, pohon pisang, ikan, potret wajah
bupati, bunga, dan orang yang mendekap ayam.
Pemandangan ini bertautan secara langsung dengan hal yang substansial,
sebab pelukisnya menyalin realitas dari akar ada, seolah menjadi kebenaran
tersendiri, maka tak heran, bila pengunjung berharap memperoleh tawaran
"kebenaran" dari sebuah lukisan.
Kebenaran
yang ditawarkan dalam lukisan, bukanlah bentuk kebenaran tunggal, melainkan
kebenaran secara eksistensial dari pelukisnya, sebab faktor hubungan antara
lukisan dengan sesuatu di luar dirinya (acuan), antara yang terlihat (lukisan)
dan yang tersembunyi. Dari beberapa lukisan ini, saya jadi membayangkan, apakah
mungkin masing-masing pelukis, melalui gelaran acara pameran, sebetulnya ingin
memberi respon terhadap konteks realitas saat ini lewat karya?
Melalui
lukisan sapi, misalnya, saya jadi membayangkan monumen kerapan sapi di lapangan
Giling, Pangarangan Sumenep yang roboh, tetapi sampai saat ini belum tertangani
oleh pemerintah. Jangan-jangan si pelukis sedang ingin menggugat dengan cara
yang ramah mengenai absennya pemerintah dalam memajukan kesenian, mengingat
kerapan sapi adalah bentuk simbol manifestasi budaya Madura.
Mengutip
apa yang dikatakan Yan Martel, Life of Pi (2005) "kalau kita warga negara,
tidak memberikan dukungan kepada seniman-seniman kita, berarti kita telah
mengorbankan imajinasi di altar realitas yang kejam, pada akhirnya, kita jadi
tidak percaya pada apa pun, dan mimpi-mimpi kita tidak lagi berarti"
Sampai disini, saya jadi mengingat tema pameran yang ada di banner. Dalam
konteks saat ini, kira-kira bagaimana representasi anatomi kejayaan Sumenep?
Sebuah
representasi yang memakai kedekatan rasional ini, menurut E. H. Gombrich,
pelukis seharusnya merepresentasikan sesuatu bukan sekedar memindah apa yang
dilihatnya, melainkan melibatkan manipulasi tanda, dengan maksud, representasi
dalam sebuah lukisan bukan perkara kemiripan belaka, tetapi bagaimana ia
berhubungan dengan sesuatu yang melampaui makna konvensionalnya.
Tidak
jauh berbeda dengan representasi menurut Nelson Goodman, ia harus dijelaskan
melalui pengertian di luar kemiripan. Baginya, tidak ada yang alamiah tentang
bagaimana suatu gambar menunjuk sesuatu, sebab hal itu dipengaruhi oleh kuatnya
perasaan yang datang, dari kebiasaan atau pengaruh budaya yang melingkupi
seseorang (pelukis). Ia juga beranggapan bahwa representasi yang berhasil dalam
seni lukis adalah yang denotatif dan referensial. Disinilah pentingnya
intelektualitas seni, sebab bagaimana pun adanya, karya adalah pantulan dari
pergulatan pikiran.
Setelah
melihat lukisan yang memakai pendekatan mimesis, saya menarik diri untuk
melihat ruang pameran dari sudut ruang yang lebih luas, sejenak menghela napas,
berusaha menjemput sesuatu dalam setiap tatapan dengan karya, lalu kembali
berjalan, saya menemukan lukisan yang berbeda dengan sebelumnya. Kali ini, saya
menangkap kekuatan refleksi, permainan tanda, ketajaman imajinasi yang mengaduk
estetika. Di dalam estetika inilah, pelukis seperti menemukan dirinya di dalam
pengucapan yang baru secara metaforik sebagai modus komunikasi.
Karya-karya
tersebut menggambarkan pengalaman imajinatif, menghadirkan suasana teduh,
ramah, dan seperti mengajak siapapun untuk masuk di dalamnya, ikut merasakan
apa yang dialami oleh pelukisnya, menikmati suara alam, sambil menarikan hasrat
dan keinginan, sesekali meminum air ketenangan, pemandangan semacam ini
terpancar dalam lukisan yang menampilkan seorang lelaki dengan kain putih yang
mengikat kepalanya, memakai sarung batik, ia menabuh musik perkusi seperti
bedug, di sampingnya terdapat kendi.
Sedangkan
dalam lukisan yang lain juga menghadirkan nuansa yang sama teduhnya.
Pemandangan memperlihatkan bentuk tubuh perempuan memegang cangkir dengan warna
merah, persis dengan warna bibirnya. Pada sisi yang lain, cangkir-cangkir
tampak seperti rumah, terapung di atas laut, di sekitarnya ada perahu kecil dan
ikan-ikan mungil, di sana beberapa orang melempar kail pada laut. Kiranya,
lukisan ini hendak mengatakan bahwa alam seperti juga perempuan, bila alam di
rawat, ia akan memberimu pelukan yang tentram, dan bila alam dirusak, ia akan
memberimu jalan yang gusar. Begitu juga perempuan, selain memberi ketenangan,
tapi juga kutukan sebagaimana dalam mitos ibu.
Diantaranya
yang masih tersisa, juga ada pameran kaligrafi, ia adalah seni tinggi dalam
lukisan tipografi. Saat menatapnya, pengalaman religiusitas saya seperti
diaktifkan kembali, terasa batin semakin dihaluskan setelah mengamati lukisan
demi lukisan sebelumnya. Namun, secara keseluruhan, pameran ini tidak punya
tautan yang jelas dengan tema pameran ''SUMENEP MASA KEJAYAAN", sebagai
momen, ia hanya menghidangkan ruang di mana pertukaran rasa dileburkan bersama
pengunjung, belum sampai menyentuh ranah di mana produksi pikiran, wacana,
dikemas dengan advokasi yang tepat. Tabik!