Tabun Dalam Lingkaran

 

Menjelang pergantian tahun baru, saya mencoba melihat ke belakang, mengingat perjalanan yang sudah terlewati, menjumpai masa lalu, semata-mata bukan karena kebutuhan untuk mengenang, tetapi mungkin masa lalu adalah bias yang bisa memantulkan keteguhan proses.

 

Berkisar 6 tahun terkahir bersama K. Turmedzi Djaka, sejak beliau masih tinggal di Addzikir (Nama lembaga pendidikan) hingga pindah ke Tabun (Rumah sekaligus tempat kreativitas tertampung: teater, melukis, musik, dan batik), ada kecenderungan yang mengemuka mengenai pemanfaatan ruang, melalui pembacaan ulang terhadap alam, secara bersamaan alam seperti menyuarakan kesadaran yang harus di dengar, dirasakan dari jarak paling dekat, sebab kesadaran terhadap alam bertalian erat dengan cara bagaimana mengatur ritme hidup dalam menangani kenyataan yang terberi ataupun memaknai pengalaman yang terlewati.

 

Salah satu cara memperpanjang kesadaran berupa diskusi,  dipilih sebagai salah satu sikap merespon kenyataan, merenungi hidup atau peristiwa pada tingkat yang lebih halus dan tinggi secara spiritualitas. Hal ini, seperti menyiratkan bahwa alam dan kehidupan sehari-hari adalah diskripsi yang masuk ke dalam pengamatan. Meskipun tingkat pengamatan orang, masing-masing berbeda sesuai dengan kapasitas atau kepekaan sejauh mana menjangkau. Pengamatan adalah tindakan menyingkap lapisan-lapisan yang tak terungkap, yang tersembunyi di balik ceruk realitas. Sehingga kerja pengamatan berarti juga mengurai hal-hal yang tadinya tidak tampak menjadi nampak.


Maos jugan

 

Sebagaimana Tabun dan pertemuan bersama orang-orang dari lintas profesi, lintas usia, lintas disiplin. Mulai dari Kiai, dosen atau  guru, seniman, pedagang antik, pedagang emas, petani, tukang pos, sopir, mebel, mahasiswa, anak jalanan, mereka akan mengelar diskusi tanpa canggung sekalipun berbeda latar belakang. Sebab kelenturan, mereka seperti masuk dalam peleburan bersama, mengalir di setiap percakapan, sederhana namun penuh filosofis. Kelenturan dalam setiap percakapan terjadi, bukan hanya karena keakraban yang mendasari, tetapi mungkin disebabkan oleh kesadaran akan pentingnya saling berbagi hal-hal yang mereka amati dari keseharian, bertukar gagasan, ilmu dan pengetahuan.

 

Melalui pengamatan Kiai, misalnya, referensi mengenai keagamaan saya bisa bertambah sekian persen, dari dosen atau guru, saya seperti terus diteguhkan bahwa pendidikan itu penting, dari seniman, saya terus belajar memaknai keberagaman sebagai esensi dari kreativitas yang membawa pengalaman batin pada khazanah yang lebih luas, pada dimensi tak terbatas, dari pedagang, saya menjadi tahu perputaran ekonomi di tengah gempuran produk-produk yang dihasilkan oleh tangan kapitalisme, dari petani, nafas saya seperti terus bertambah dua kali lipat pada setiap detiknya dan itu adalah sisi penting dari hidup, dari sopir, saya mensyukuri bahwa ia telah membantu percepatan dalam menempuh jarak, dari anak jalanan, saya seperti diajak untuk pulang mengenal asal usul, sebab mungkin mereka yang hidup di jalanan adalah korban dari pertikaian orang tua mereka, karena anak jalanan tidak sepenuhnya buruk dan pantas mendapat klaim negatif, dari mahasiswa, saya belajar untuk melihat dan mengenal diri sendiri, menyadari bahwa pendidikan adalah hak seluruh manusia, sekalipun miskin.

 

Setiap malam, pertemuan itu berlangsung, membahas apa saja dari hal yang remeh-temeh, dari keseharian hingga persoalan serius. Di sana kami duduk bersila, melingkar, sesekali menekuk lutut dan mensejajarkan dengan dagu, kadang juga berselonjor. Tentu setiap pembahasan yang berlangsung dapat mencipta nuansanya sendiri. Seperti yang terus berulang, pembahasan biasanya mengarah pada isu-isu yang berkembang dan masih hangat untuk direspon, lalu kami mendiskusikan hingga malam cukup larut. Akibatnya kabar atau informasi begitu cepat bergulir secara merata, dan menjumpai setiap kalangan. 

 

Tabun sebagai rumah K. Turmedzi Djaka sekaligus tempat saya belajar, berproses di Kesenian, saya mempersempit fokus pada bidang seni teater dan membatik. Pertama-tama, saya mengenal teater dari seorang kawan bernama Lathif Kobhung ketika masih sekolah menengah ke atas. Entah kebetulan atau tidak, Lathif Kobhung merupakan murid dari Sangat Mahendra, untuk menyambung sanad keilmuan secara lebih dekat di bidang teater, kemudian saya melanjutkan belajar ke Sangat Mahendra, keingintahuan akan teater diperkuat dengan cara membaca buku referensi seputar teater dan dilengkapi dengan mengikuti beberapa gelaran workshop dalam sebuah acara.

 

Sedangkan batik, saya belajar dari K. Turmedzi Djaka. Pada awalnya saya hanya melihat ketika beliau sedang membatik, semakin sering melihat, semakin kuat dan tumbuh keinginan untuk belajar. Sebab batik yang ditekuni sangat berbeda dari batik pada umumnya. Namanya batik kontemporer, sebuah pengembangan dari batik konvensional. Selain unik dan mempunyai ciri khas tersendiri juga mempunyai corak yang dekontekstual, melepaskan diri dari kultural-tradisional. Yang saya pahami dari perbincangan bersama K. Turmedzi Djaka, batik kontemporer tidak dimaksudkan untuk menggeser pasar batik konvensional. Justru hadirnya batik kontemporer, akan mempertegas atau memperkuat identitas batik konvensional. Sebab batik kontemporer dan batik konvensional memiliki pasar tersendiri.

 

K. Turmedzi Djaka, menawarkan cita rasa baru, perwajahan baru dalam desain kreatif batik kontemporer. Dengan populernya batik kontemporer menandakan bahwa dalam perkembangannya, batik bisa dipakai dan dinikmati oleh siapa saja, termasuk anak-anak muda.


Maos jugan

 

Di Indonesia, mengenakan batik secara geografis memang lebih sesuai dan cocok dibanding dengan mengenakan jas yang relatif memungkinkan munculnya rasa gerah sebab temperatur alam yang panas. Bersamaan dengan pertengahan paruh waktu tahun 2009 ketika batik diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia, menyebabkan rasa ingin tahu banyak orang terhadap batik meningkat tinggi hingga ingin memiliki dan mengenakan batik secara langsung. Selain sebagai industri, batik menjadi subjek pendidikan dan penciptaan. Dua hal yang berbeda dalam penciptaan batik secara bersamaan telah mewarnai dinamika pasar, yaitu gairah membatik sebagai karya seni murni telah dibuat berdasarkan kebutuhan pribadi, sedangkan batik dalam target industri sudah bermunculan di mana-mana.

 

Sejauh ini, pilihan fokus terhadap bidang seni teater dan membatik, telah mewarnai proses saya di kesenian. Melalui batik perputaran hidup saya terbantukan, terlebih mencukupi kebutuhan sehari-hari, bertahan hidup di kesenian dan memenuhi biaya kuliah. Batik dalam hidup saya seperti juga nafas yang menggerakkan laju hidup. Setiap kali terjepit, setidaknya mencegah dari kondisi yang menghimpit.

 

Selamat menempuh tahun baru, semoga kita semua lepas kekang dari hutang, mampu menutup hutang yang lama. Hahaha...

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak