Akhir Sebatang Pohon Gayam

Edy Hermawan, Batang Batang, Sumenep Madura, sastrawan, bahasa madura, jawa timur, pulau garam, pulau oksigen

Meski aku dan dia berjarak, kami tetap saling berbagi. Dia mengaliriku kesejukan, sedangkan aku mengiriminya keteduhan. Aku yakin, dia sama bahagianya dengaku menjalani hubungan ini. Sebelum akhirnya, perlahan-lahan suara deru mesin yang meraung-raung itu membuatnya sekarat di depan mataku yang telanjang.

 

Hubungan ini tersebab seorang lelaki paruh baya. Dia membawaku ke sini dan menempatkanku di sini. Aku sepenuhnya percaya kepada lelaki itu. Dia orang baik, tidak akan membiarkanku mati terlantar atau hidup tak berguna.

 

Malam ketika alam tak menabiri bulan dengan kabut awan, lelaki itu menempatkanku –yang tentunya menurutnya tempat yang tepat– di tanah kering kerontang ini. Aneh. Kedengarannya begitu, bagaimana aku bisa hidup di tanah tandus seperti ini, padahal kodratku hidup di tanah lembap bahkan rawa. Tapi, mata dan telinga tak selalu bisa menerjemahkan kebaikan. Banyak kebusukan yang dibungkus kain sutra emas permata. Aku tetap pecaya sepenuhnya kepada lelaki paruh baya itu.

 

Kemudian, lelaki itu bergerak sepuluh langkah ke utara, menghadap kiblat dan bertakbir sebanyak tujuh kali. Aku terkesiap, sebab tak berapa lama, tanah di depan lelaki itu pecah dan retak serupa kilatan petir. Retakan itu kian membesar hingga akhirnya muncul batu terhampar sepanjang lima belas meter. Di atas batu itu berjejer tujuh lubang seukuran kepala manusia. Dari lubang-lubang itu menyembul air, mengalir ke arah selatan dan menyesapi tanah tempatku tegak berdiri.

 

Lubang terbesar berada di deretan paling selatan. Ia menyembulkan air paling banyak dan deras. Itulah lubang mata air yang kusebut sebagai kekasihku, yang mengirimiku kesejukan dan aku, pohon gayam, memberikannya keteduhan.

 

Peristiwa malam itu mengubah wajah tanah tandus kering kerontang ini menjadi tanah kehidupan. Orang-orang dari segala penjuru mulai datang berbondong-bondong dengan berkarung-karung harapan. Mereka menjadikan lubang-lubang mata air sebagai sumber kehidupan. Mereka bercocok tanam dan mulai membangun gubuk tempat tinggal di sekitar. Hingga akhirnya, di sekitarku menjadi kampung penuh keramaian.

 

Aku tak salah memercayai lelaki paruh baya itu. Dia manusia pilihan.

 

***

Maos jugan

 

Orang-orang kampung beranak-pinak dan bercucu-cicit hingga tujuh turunan. Mereka sama bahagianya dengan kami sebagai sepasang kekasih, mata air dan pohon gayam. Kami terus berbagi kesejukan dan keteduhan, seperti mereka kala memaneni tanahnya yang penuh dengan biji-bijian. Bahagia.

 

Tapi, cukup satu turunan saja –yang katanya menemukan kebahagian lain– mampu membuat aku dan kekasihku sekarat selama bertahun-tahun. Tak kunjung selesai. Dan, membuat kami selalu disekap kelaparan dan kesepian. Bahkan sebagian orang kampung tersisih senasib denganku. Mereka turunan ketujuh yang selalu berkoar kemajuan peradaban dan kecanggihan.

 

Aku tak mungkin lupa meski itu hanya kenangan. Pagi saat kabut embun sempurna menghilang, seorang anak kecil dan ibunya berjalan di hadapanku. Anak kecil itu menyembunyikan wajahnya di balik paha kanan ibunya yang mengenakan daster hitam. Aku tahu anak kecil itu meremang. Dia tak mau melihatku atau terlihat olehku.

 

Diceritakan, kalau aku pohon penunggu mata air dan kampung ini. Tak boleh ada orang yang menebangku atau memotong dahan-dahanku. Kalau mereka memaksa menebang, aku akan mengeluarkan darah. Dan, mata air yang berteduh di bawah rerimbunan daun-daunku akan meluapkan air sebesar-besarnya hingga menenggelamkan kampung.

 

Mereka juga menceritakan kepada anak cucu mereka, di dalam tubuhku terdapat ular besar. Tentu, bila aku ditebang maka ular itu akan keluar dan memangsa habis orang kampung karena dianggap mengganggunya.

 

Orang kampung pandai membuat cerita tentangku. Mereka mengulang-ulang cerita itu, mewariskannya kepada anak cucu-cicitnya. Kemudian mereka mempercayainya.

 

Aku tahu mereka berbohong tentangku. Aku tidak punya darah seperti yang diceritakan orang-orang kampung itu. Di dalam tubuhku juga tidak ada ular besar yang dapat memangsa mereka. Juga, lubang mata air itu tidak akan mengeluarkan air melebihi biasanya. Tidak ada. Itu cerita bohong orang kampung.

 

Tapi, bukan soal cerita bohong itu yang peting. Aku sadar, mereka hendak menyelamatkanku dari tangan-tangan jail tak bertanggung jawab. Mereka ingin membebaskanku dari orang-orang yang di dadanya dierami keangkuhan dan kerakusan.

 

Bila cerita itu didengar anak kecil, dia akan meremang dan menyembunyikan diri dariku. Bila cerita itu didengar anak remaja, dia akan memandangku dari jarak jauh. Bila cerita itu didengar anak dewasa, dia mendekatiku tanpa berani mengganggu. Sementara, orang tua mereka terus menceritakan cerita tentangku.

 

***

 

Telingaku membengkak mendengar suara mesin itu meraung-raung. Mula-mula aku tak hirau, tapi lambat laun aku tak tahan. Sebab, raungan mesin itu bukan hanya dari satu arah, melainkan di seluruh penjuru arah di sekitarku. Aku seperti dikepung suara mesin yang terus bertalu-talu, saling bersahutan.


Seorang kakek, yang kutahu namanya Kakek Karto, bertanya kepada lelaki asing yang sedang lewat di hadapanku. Aku tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya.

 

“Itu suara apa?” tanya Kakek Karto.

 

“O, bor air, Kek. Kenapa?” jawab lelaki itu.

 

“Untuk apa?”

“Ya untuk mengambil air yang ada di dalam bumi, yang tak mungkin digali oleh manusia,” jelasnya.

 

“Aneh.” Kakek Karto mendesis tidak mengerti. Pikirnya, bukankah air sudah berlimpah, kenapa mereka masih susah-susah mengambil air ke kedalaman bumi. Tapi rupanya, lelaki itu mendengar desis Kakek Karto dan mengerti kebingungannya.

 

“Tidak aneh, Kek. Ini kemajuan. Orang tidak akan mengambil air lagi di mata air ini. Mereka cukup menadahnya dari tembok-tembok mereka. Bahkan air akan langsung masuk ke kamar mandi mereka,” jelas si lelaki asing itu.

 

Kakek Karto makin bingung. Mengernyit. Kemudian, dia melepas baju untuk segera mandi, sedangkan lelaki asing itu melanjutkan perjalanannya.

 

Sejak itu, setiap hari aku mendengar orang-orang lalu lalang bercakap-cakap tentang mesin bor. Aku pun mengerti, mereka mengebor tanah di pekarangan mereka untuk mendapatkan air dari dalam bumi. Mereka akan menyedotnya dengan pompa air untuk dialirkan melalui pipa kecil ke dapur dan kamar mandi mereka. Kabar terakhir, mereka juga menjualnya ke penduduk kampung ini sehingga mereka tidak perlu lagi susah payah mengambil air ke sumur.

 

Aku pun tersadar kalau sejak itu, lubang-lubang mata air itu perlahan-lahan surut, hingga sekarat tak menyembulkan air lagi bila kemarau. Padahal, sebelum ini tidak pernah terjadi. Meski kemarau panjang melanda, mata air ini tetaplah menjadi sumber kehidupan. Bukan hanya untuk penduduk kampung ini, tetapi juga orang dari kampung-kampung sekitar.

 

Kakek Karto juga jarang terlihat. Sekarang dia juga membeli air dari Haji Rahim, pemilik sumur bor. Meski dia hidup melarat, air tetap kebutuhan nomor satu. Dia harus rela mengeluarkan lembaran rupiah dari kantongnya. Apalagi, mata air di sini –yang gratis– sudah sekarat.

 

Aku menajamkan pandang melalui ujung tubuhku yang menjulang tinggi. Kulihat banyak petani menganggur karena tanahnya kembali tandus dan kering kerontang. Mereka petani yang melarat karena tak punya rupiah untuk mengalirkan air dari bor-bor. Begitu juga dengan hewan ternak. Mereka kelaparan lantaran makin sulit rumput-rumput hijau untuk didapatkan.

 

Inikah yang disebut kemajuan peradaban. Kebahagiaan lain yang diimpi-impikan. Sebagian berjaya, sedangkan yang lain sekarat melarat. Tak ada lagi air gratis. Kekasihku, mata air itu, sudah sekarat.

 

Maos jugan


*** 

Kini, anak-anak kecil itu bukan lagi meremang saat lewat di hadapanku, tapi malah mengambil batu dan melempariku. Orang-orang juga sudah berani memotong-motong dahan-dahanku. Cerita-cerita tentangku sebagai pohon penunggu lenyap dari kepala mereka.

 

“Pohon gayam tidak berguna!” umpatnya.

 

Aku mengerti. Mereka kecewa padaku karena aku tak bisa menjaga lubang-lubang mata air ini. Mereka terlanjur percaya pada kebohongan kalau aku pohon penunggu. Bahwa aku menyimpan ular di dalam tubuhku. Yang kapan saja, bila lubang-lubang mata air itu diganggu maka ular itu akan berang menyerang. Tapi nyatanya, aku tidak mengeluarkan apa-apa. Tetap diam membisu.

 

Mereka tak tahu kalau aku juga sedang dicekam kesepian sebab kekasihku tak lagi mengaliriku kesejukan. Aku kelaparan. Daun-daunku berguguran. Aku pun tak mampu lagi memberikan keteduhan. Aku sama sekaratnya dengan lubang-lubang mata air itu. Sebentar lagi, tak akan lama, aku akan pergi meninggalkan kampung ini untuk selamanya bersama lubang-lubang mata air itu.

 

Aku tak tahu lagi, apakah aku harus bahagia karena mereka dapat melepaskan diri dari cerita-cerita bohong tentangku, atau aku harus bersedih karena mereka hidup saling memeras. Hidup berdasar kenyamanan dan keuntungan pribadi masing-masing.


Sumenep, 2022

Edy Hermawan, lahir di Batang-Batang Sumenep, Januari 1991. Tinggal di kampung halamannya.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak