Meski Hujan, Kopi dan Sastra Tetap Menyala: Peluncuran Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon di Malatè Artspace


Meski Hujan, Kopi dan Sastra Tetap Menyala: Peluncuran Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon di Malatè Artspace

Sumenep. Lalampan.com. 1447 — Hujan turun perlahan, seperti membisikkan dingin di antara suara gesekan dedaunan. Namun, di dalam sebuah ruang kecil di Cangkir Café, Jalan Siwalan No. 21, kehangatan justru tumbuh: dari percakapan yang mendalam, aroma kopi yang mengepul, hingga tepuk tangan lembut yang menandai lahirnya sebuah karya baru.

Hari itu, Jumat siang (31 Oktober 2025), Malatè Artspace kembali menghadirkan acara Ruang Malatè Vol. 11 — peluncuran buku puisi terbaru karya Romzul Falah, bertajuk Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon (dan Balada Orang-Orang Batuputih). Acara ini bukan sekadar peluncuran buku, melainkan juga perayaan atas semangat yang tak padam — meski hujan menepi di luar jendela.

Begitu acara dimulai, suasana di ruangan lantai pertama terasa seperti dapur ide yang sedang mengepul. Cangkir demi cangkir kopi berganti tangan; para hadirin duduk, menyimak penuh perhatian — guru, mahasiswa, seniman, jurnalis, juga beberapa pegiat budaya yang datang dari berbagai penjuru Sumenep.

Hujan boleh turun, tapi di ruangan itu kata-kata telah menyala.

Sosok M. Faizi, penyair dan budayawan Madura, hadir sebagai pembicara utama. Dengan gaya tutur khasnya yang tenang dan dalam, ia membuka pembacaan buku dengan kalimat yang menjadi pembuka diskusi sore itu:

“Membaca pertama adalah membuka lapisan pertama, dan membaca kedua menyingkap lapisan yang lebih dalam.”

Dari pembukaan seperti itu, pembicaraan mengalir — seperti sungai yang mencari muara. Faizi mengurai makna di balik puisi-puisi Romzul: tentang kesunyian balai desa, tentang hantu-hantu yang sebenarnya kenangan sejarah, dan tentang luka kolonial yang disimpan dalam bahasa yang lembut, tapi tajam.

Ia menyebut bahwa Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon menampilkan “sadisme dan sinisme secara subtil, tanpa harus menampilkan kekerasan secara vulgar.” Puisi-puisi itu menyentuh, tanpa menggurui. Menggigit, tanpa melukai.

Romzul Falah, penyair muda asal Batuputih, menjelaskan bahwa buku ini lahir dari keresahan terhadap ingatan kolektif masyarakat Madura yang kerap dilupakan. Ia menulis dengan latar tempat yang dekat dengan kehidupannya sendiri — balai desa, kampung pesisir, hingga sisa-sisa masa pendudukan Jepang di tanah Madura.

Bagi Romzul, bahasa bukan sekadar alat ekspresi, tetapi juga alat perlawanan. Ia ingin menunjukkan bahwa bahasa Madura dan pengalaman lokal tidak bisa direduksi hanya menjadi “hiasan etnografi”, melainkan harus dihidupkan kembali dalam karya sastra.

“Saya ingin menulis dari tanah sendiri. Karena hanya dari tanah itu, puisi bisa punya pijakan,” ujarnya singkat, sambil tersenyum di antara riuh tepuk tangan hadirin.

M. Faizi menambahkan bahwa unsur kedaerahan dalam karya Romzul tidak berhenti sebagai ornamen. Buku ini, lanjut Faizi, adalah bentuk perlawanan terhadap homogenisasi budaya, di mana segala sesuatu kini cenderung diseragamkan oleh arus globalisasi.

Diskon 11% dan Tanda Tangan Penulis: Hadiah dari Hari Hujan

Menariknya, bagi mereka yang hadir langsung di acara peluncuran itu, Malatè Artspace memberikan kejutan kecil: diskon 11% bagi setiap pembelian buku di hari itu saja. Lebih dari itu, pembeli juga mendapatkan tanda tangan langsung dari penulisnya, Romzul Falah — sebuah kenang-kenangan hangat yang mungkin tak bisa didapat di kesempatan lain.

Salah satu pengunjung, seorang mahasiswa dari kangean, mengaku datang jauh-jauh hanya untuk bisa memiliki buku itu.

“Saya ingin buku ini dengan tanda tangan penulisnya. Karena yang begini bukan hanya soal isi buku, tapi soal cerita di baliknya — datang, bertemu, dan merayakan kata,” ujarnya sambil menunjukkan halaman buku yang sudah bertanda tangan tinta hitam.

Bagi Romzul sendiri, momen memberi tanda tangan di sela hujan yang telah reda terasa istimewa. “Setiap tanda tangan bukan sekadar simbol,” katanya, “tapi rasa terima kasih saya pada pembaca yang masih percaya pada sastra.”

Ruang Malatè Vol. 11 bukanlah acara besar dengan panggung megah. Tapi justru di ruang kecil semacam itu, sastra menemukan rumahnya. Lampu kuning temaram, denting sendok beradu gelas, dan aroma kopi robusta menjadi saksi bahwa tradisi membaca dan berdiskusi masih hidup di Sumenep.

Malatè Artspace, sejak awal berdirinya, memang dirancang sebagai ruang alternatif bagi seniman dan penulis muda untuk tumbuh. Ia tak hanya menggelar peluncuran buku, tapi juga diskusi budaya, lokakarya penulisan. Tempat ini menghidupkan kembali semangat berkesenian yang tidak bergantung pada institusi besar, tetapi berakar dari inisiatif warga — dari bawah, dari hangatnya pertemuan, dari cinta terhadap bahasa dan sastra.

Di akhir acara, saat hujan telah reda dan langit mulai sedikit cerah, beberapa pengunjung enggan pulang. Mereka tetap duduk, menyeruput kopi yang mulai dingin, membicarakan puisi, masa depan sastra serta sastra Madura, dan harapan agar buku-buku lokal tidak hanya dibaca, tetapi juga dihidupi.

Hujan yang mengguyur Sumenep tidak memadamkan api yang menyala di dada mereka. Di ruang kecil itu, sastra bukan sekadar teks, tetapi peristiwa sosial — sebuah perjumpaan antara kata dan kenyataan, antara kopi dan kenangan.

Balai Desa dan Hantu-Hantu Nippon akhirnya bukan hanya buku, melainkan bukti bahwa di tanah Madura, bahasa masih hidup dan menolak padam.

Dan di tangan orang-orang seperti Romzul Falah dan komunitas Malatè, kata masih punya nyala — bahkan di tengah hujan.

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak