Alergi Kekuasaan: Tafsir atas Kekuasaan yang Tak Abadi



“Alergi Kekuasaan”: Tafsir atas Kekuasaan yang Tak Abadi

“Segala sesuatu yang naik pasti akan turun. Tapi yang tidak sadar bahwa ia sudah sampai di puncak, akan jatuh bukan karena dorongan lawan, tapi karena terpeleset oleh dirinya sendiri.”

Ada sebuah kisah yang lebih berbahaya dari cerita tentang diktator. Ia bukan tentang penguasa kejam atau tangan besi. Ia adalah kisah tentang penguasa yang tidak bisa melepaskan diri dari panggung, bahkan ketika tepuk tangan telah selesai. Ia adalah drama yang terlalu sering kita tonton, tapi jarang kita renungkan. Drama tentang hasrat akan kekuasaan, yang berwujud elegan di luar tapi berkarat di dalam.

Dari Panggung ke Pidato, dari Tepuk Tangan ke Bisikan Tubuh

Ia telah menjadi jalan panjang nan terjal, bukan hanya duri, tapi paku-paku, batu cadas telah mengantarnya menjadi penguasa kecil di lingkup Kawasan terbatas, naik lebih tinggi perlahan hingga kemudian menjadi Raja Agung di Kawasan yang gemah ripah toto Tentrem Langgem Binareng. Jejak langkahnya diabadikan dalam baliho, buku pelajaran, meme, dan mars pembangunan. Ia bukan sosok biasa: ia pernah menjadi simbol harapan. Harapan rakyat kecil, harapan dari gang sempit dan pasar becek.

Tapi seperti semua simbol, ia mulai menjauh dari makna awalnya. Ia naik terlalu tinggi hingga lupa siapa yang mendorongnya ke atas. Ia berkata: “Saya tidak ingin tiga periode, tapi kalau rakyat meminta….” Padahal, permintaan itu kadang tidak tulus, hanya gema dari pengeras suara yang ia biayai sendiri.

Gatal yang Tidak Bisa Dihapus dengan Kekuasaan

Lalu datanglah gatal itu — sebuah ruam, alergi, penyakit kulit. Ia tidak menunggu polling. Ia tidak takut pada aparat. Ia juga tidak bisa disensor. Tubuhnya, yang selama ini tunduk pada pencitraan, mulai bicara sendiri.

Betapa ironisnya: tubuh yang selama ini hanya dianggap wadah kekuasaan, tiba-tiba menjadi oposisi paling jujur. Ia gatal. Ia tak nyaman. Ia menolak difungsikan. Ia memberi pesan yang lebih keras dari demonstran mana pun: “Cukup.”

Di sinilah makna hidup yang tak bisa dibantah: bahwa kekuasaan bisa mengatur segalanya, kecuali tubuh sendiri. Gatal kecil menjadi sabda besar: kekuasaan adalah panggung sementara, dan panggung sejati adalah kesadaran akan fana.

Alergi Kekuasaan adalah Anugerah

Sebagai santri, hamba belajar bahwa Allah bisa memberi pelajaran melalui jalan yang paling lembut maupun yang paling menyentil. Kadang kita diperingatkan lewat kehilangan. Kadang lewat fitnah. Tapi kadang, peringatan itu hadir dalam bentuk ruam yang tak bisa dihilangkan oleh seluruh protokol medis negara.

Alergi itu bisa jadi adalah rahmat. Semacam jalan pulang. Sebab kekuasaan, jika terus dikejar, akan melahirkan kekosongan. Tapi tubuh tak bisa disuap. Ia adalah penjaga terakhir dari kewarasan seorang penguasa.

Menuju Istirahat yang Hakiki

Hamba hanya santri. Hamba tak punya kuasa untuk menilai pemerintahan. Tapi hamba tahu satu hal: kekuasaan yang tak bisa ditinggalkan adalah candu. Dan candu tidak sembuh dengan pujian, tapi dengan perenungan dan istirahat yang hakiki.

“Ia disebut raja Pulau Padi,” tulis seorang pengamat, “tapi bahkan raja bisa kalah oleh sisik di kulitnya sendiri.”

Itu kalimat yang harus dicatat. Bukan untuk mengejek, tapi untuk diingat bersama. Supaya para penguasa berikutnya tahu: lebih baik mundur dengan kepala tegak, daripada jatuh dengan tubuh gatal.

Semoga ia diberi kesehatan.
Semoga ia menemukan damai, bukan di panggung, tapi di dalam dirinya sendiri.
Semoga kita semua belajar, bahwa hidup bukan soal jabatan, tapi soal batas.

Āmīn.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak