Sebuah
Perjalanan dalam Bingkai Identitas dan Spiritualitas
"Deru
Dua Arus," sebuah kumpulan puisi yang terbit pada tahun 2021, hadir
sebagai suara yang mengalir deras, merangkum pergulatan batin, ingatan masa
lalu, dan kepekaan terhadap semesta. Dari halaman-halaman yang tersaji, buku
ini bukan sekadar kumpulan bait yang terangkai indah, melainkan sebuah peta
perjalanan jiwa yang membedah identitas, spiritualitas, dan eksistensi manusia
dalam balutan citraan yang kuat dan memukau. Dengan gaya yang kaya akan
metafora dan simbolisme, penyair mengajak pembaca menukik ke dalam
lapisan-lapisan makna yang tersembunyi, seolah membuka tirai realitas menuju
dimensi yang lebih dalam.
Penyair
dalam "Deru Dua Arus" adalah seorang penjelajah yang gigih. Ia tidak
hanya mengamati, tetapi juga merasakan, meresapi, dan kemudian menuliskannya
dengan kejujuran, tanpa pretensi, namun sarat akan kekuatan. Ambil contoh puisi
"Madura di Pelupuk Mata," sebuah elegi sekaligus ode bagi tanah
kelahiran. Bait-baitnya mengalirkan kerinduan yang mendalam, bahkan hingga ke
detail fisik yang spesifik: "Bibit cemara, benih tembakau, biji semangka,
berlapis besi." Unsur-unsur ini tak sekadar deskriptif, melainkan simbol
dari ketangguhan, kekayaan, dan identitas Madura yang lekat dalam jiwa penyair.
Madura, dalam pandangan penyair, bukan hanya sekadar geografi, melainkan entitas
hidup yang "tersandra doa-doa," tempat di mana tubuh dan roh
bersekutu dalam "wirid Wali Sanga." Frasa ini menguatkan dimensi
spiritual dan akar tradisi yang begitu kental. Ini adalah pembebasan identitas
dari sekadar label geografis, menjadi sebuah esensi spiritual yang tak
terpisahkan. Kerinduan ini bergaung kembali dengan lebih lugas dalam puisi
"Kembali ke Madura," yang menyatakan: "Kembali ke Madura, bekal
ku celurit tua / Hasil tapa di batok-batok kelapa." Ada nuansa kerendahan
hati, kesadaran akan asal-usul yang mendalam, dan penerimaan terhadap warisan
budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Celurit, yang biasanya
diasosiasikan dengan kekerasan, di sini bertransformasi menjadi
"bekal" hasil "tapa," menyiratkan kebijaksanaan dan
kekuatan batin.
Namun,
perjalanan jiwa dalam "Deru Dua Arus" tak selalu mulus. Ada
pergulatan, konflik, atau setidaknya dinamika yang tak henti mengiringi setiap
langkah. Puisi "Surat Kepada Pangeran Solo" adalah salah satu
buktinya. Dengan lugas, sang penyair berbicara tentang "dadaku penuh
bara" dan "perang yang dimulai," bukan dalam konteks pertempuran
fisik semata, melainkan resonansi dari gejolak sosial dan politik yang mungkin
ia saksikan atau rasakan. Ini adalah sebuah kritik halus terhadap kondisi
negeri yang dirasa "bukan negeri Sentoloyo!", sebuah ungkapan
kekecewaan atau setidaknya harapan akan perbaikan. Keberanian ini menunjukkan
bahwa puisi dalam buku ini tidak melulu tentang keindahan personal, tetapi juga
menjadi medium kritik dan refleksi terhadap realitas yang lebih besar,
membuktikan bahwa sastra mampu menjadi corong bagi suara hati masyarakat.
Aspek
spiritualitas adalah benang merah yang sangat kuat, menyelimuti hampir setiap
puisi dan memberikan kedalaman filosofis. "Shalawatan" menghadirkan
dimensi mistis yang kental, di mana puji-pujian tidak hanya diucapkan, tetapi
dirasakan hingga "merangkai cinta / mengalir ke pori-pori jiwa kami."
Ada kerinduan yang mendalam akan Yang Maha Kuasa, diekspresikan melalui
citraan-citraan agung seperti "Iman senyala bulan di langit-pangku
tahta" dan "raga yang berbalut cahaya." Hal ini sejalan dengan
"Catatan Senja Hari" yang mengajak pada perenungan saat matahari
terbenam. Senja di sini bukan hanya akhir hari, melainkan gerbang menuju
introspeksi dan pencarian makna yang lebih tinggi. Burung-burung yang
"menukik ke relung sunyi rohani" menjadi metafora bagi jiwa yang
mencari kedamaian dan kebenaran. Ada rasa penantian yang "gelisah
hati" terhadap "Sang Kekasih," yang menunjukkan adanya proses
kerinduan spiritual yang tak berkesudahan.
Penyair
juga piawai dalam merangkai emosi personal ke dalam bentuk universal,
menjadikan pengalaman pribadi terasa relevan bagi siapa pun. "Ada Yang
Tersisa Dari Perjumpaan Itu" adalah contoh nyata. Pertemuan yang mungkin
singkat namun membekas, meninggalkan "dua pasang mata yang tak sempat
beradu" dan "gelora yang tercekat di runcing fana." Puisi ini
menggambarkan kerinduan yang tak terelakkan, mengubah pengalaman pribadi
menjadi sebuah renungan tentang jejak dan ketiadaan, tentang bagaimana
momen-momen kecil bisa meninggalkan dampak abadi. Demikian pula
"Riwayat," yang dengan tegas menolak narasi pahlawan atau jejak nyeri
yang harus diabadikan. Sebaliknya, puisi ini menegaskan bahwa "Kau dan aku
hanyalah seutas jalan / Kau ujung aku pangkal." Sebuah perspektif yang
menarik tentang hubungan dan sejarah, yang pada akhirnya akan
"menguburkannya tanpa nisan," menunjukkan bahwa esensi ada pada
perjalanan itu sendiri, bukan pada akhir atau pengakuan.
"Sihir
Tengah Malam" dan "Selaut Empedu" membawa kita pada sisi gelap
dan kompleksitas jiwa manusia. Malam bukan hanya waktu, melainkan entitas yang
berdenyut dengan "napas gemintang bercadar-cadar," mengundang rasa
misteri dan keajaiban yang tersembunyi. Sementara "Selaut Empedu"
adalah ekspresi jujur dari kepahitan, rasa muak yang "ditumpahkan ke
mulutku." Namun, di balik kepahitan itu, penyair menunjukkan bahwa ada
pula keindahan yang muncul dari penderitaan, seperti "mekarnya
kelopak-kelopak bunga di puri zikir." Ini menunjukkan bahwa dalam
"Deru Dua Arus," segala spektrum emosi—dari yang paling indah hingga
yang paling pahit—diterima dan diolah menjadi karya seni yang autentik dan
bermakna. Puisi ini mengajarkan bahwa bahkan dari kepahitan pun dapat tumbuh
keindahan spiritual.
Dalam
"Pesan Malam yang Gersang," penyair melukiskan kekosongan dan
kerinduan, sebuah "pesan malam yang gersang; gusur surau-surau di
dada." Ini adalah gambaran tentang kekeringan spiritual atau emosional,
namun ada pula tekad untuk tetap berada dalam "kebaikan sendiri."
Puisi ini menunjukkan adanya pergulatan internal antara kehampaan dan upaya
untuk bertahan. Kemudian, "Membuka Tirai di Akhir Waktu" membawa kita
pada refleksi tentang keberadaan dan pilihan di tengah dinamika waktu. Frasa
"Yuni, aku masih di sini" seolah menjadi jangkar, sebuah pernyataan
eksistensi di tengah berbagai "demonstrasi" dan hiruk-pikuk
kehidupan. Puisi ini menyentuh isu-isu publik seperti "demokrasi, kreasi
anak-anak negeri" dan bahkan nama "Jokowi," menunjukkan bahwa
dimensi politik dan sosial tak luput dari pengamatan penyair, di mana
perjuangan pada akhirnya adalah sebuah ibadah.
Yang
menarik, penyair juga menawarkan sebuah tawaran, sebuah identitas baru, yang
begitu personal namun dapat dirasakan universal. Dalam "Izinkan Aku
Menjadi Secangkir Kopi," ia ingin menyatu dalam keseharian, dalam ritual
yang akrab. Kopi di sini bukan sekadar minuman, tetapi simbol dari keintiman,
perenungan, dan kebersatuan dengan yang lain. "Menyerap ke lekuk pori-pori
lidahmu," adalah ungkapan keinginan untuk melebur, untuk menjadi bagian
dari esensi keberadaan yang lain, sebuah metafora yang indah untuk koneksi
jiwa.
Puisi
"Sekali Hujan di Rongga" adalah eksplorasi tentang persepsi dan
realitas. Hujan di sini tidak hanya fenomena alam, tetapi juga metafora untuk
penglihatan batin, sebuah pemahaman yang mendalam yang melampaui fisik:
"Sekali hujan di rongga, kau berteduh di pelupuk mata / Berkali hutan
kurias sari dupa, kau belokkan badan cerita." Ini adalah tentang bagaimana
peristiwa tunggal dapat mengubah perspektif dan narasi kehidupan.
Dalam
"Titipan Takdir (1)," penyair merenungkan tentang nasib dan kehendak
ilahi. "Diguyur hujan seharian air sungai menguap / ke kelopak
matamu." Ada rasa pasrah dan penerimaan terhadap takdir, namun juga sebuah
penantian. "Sebenarnya, banjir hanyalah titian takdir agar keruh /
keringatmu dengan asin laut." Ini adalah tentang bagaimana cobaan hidup
membentuk dan memurnikan jiwa.
Dan
yang terakhir, "Bagi yang Bertapa" adalah sebuah pengantar pada
kontemplasi. "Dengan, perang dimulai. Tak ada yang bisa sembunyi."
Puisi ini mengundang pembaca untuk masuk ke dalam pengalaman meditasi atau
pertapaan, di mana hiruk pikuk dunia luar harus diendapkan. Proses
"bertapa" ini adalah sebuah upaya untuk memahami realitas yang lebih
dalam, di mana "gelombang rebahan di tengah sawah" menjadi simbol
ketenangan di tengah kekacauan.
Secara
keseluruhan, "Deru Dua Arus" adalah karya yang sangat kaya akan
simbolisme dan kedalaman filosofis. Puisi-puisinya mengajak pembaca untuk
merenung, merasakan, dan mungkin juga mempertanyakan makna eksistensi,
identitas, dan spiritualitas. Dengan bahasa yang kuat, citraan yang memukau,
dan tema-tema yang universal namun terasa sangat personal, kumpulan puisi ini
berhasil menjadi "deru" yang tak hanya didengar, tetapi juga
dirasakan hingga ke relung jiwa, meninggalkan jejak yang tak mudah terhapus. Ia
adalah pengingat bahwa puisi, pada hakikatnya, adalah arus ganda: sebuah
refleksi dari diri dan sebuah suara yang berbicara kepada dunia, sebuah
jembatan antara yang personal dan yang komunal, antara yang tampak dan yang
gaib. Buku ini adalah sebuah undangan untuk sebuah perjalanan batin, yang layak
untuk diselami dan direnungkan.
Biografi
Buku
Judul : Deru Dua Arus
Penulis : Asy’Ari Khatib &
Masmuni Mahatma
Penerbit : Pustaka Aura Semesta
Kota
Terbit : Bandung
Tahun
Terbit : 2021
Tebal : xxiv+88 hlm