Gotong Royong: Modal Sosial yang Sering Cuma Jadi Poster
Orang Madura itu punya satu nilai yang mahal—gotong royong.
Sayangnya, sekarang sering cuma jadi nama spanduk di gapura. Dulu, kalau bangun
rumah, yang angkat kayu rame-rame. Sekarang? Panggil tukang, yang penting
beres. Padahal, gotong royong itu bukan cuma soal kerja bareng, tapi juga soal
rasa punya, rasa tanggung jawab.
Bayangin, misalnya, satu kampung rame-rame bersih-bersih.
Bukan cuma kalau ada tamu gubernur, tapi karena sadar: kalo selokan mampet,
yang kena demam berdarah ya warga juga. Kalau lapangan desa penuh rumput liar
dan plastik gorengan, yang sakit mata ya kita-kita juga.
Gotong royong itu kayak nasi dan lauk: nggak heboh, tapi kalau
hilang bikin hidup nggak sedap.
Kebersihan: Mahal kalau Nunggu Petugas, Murah kalau
Bareng-Bareng
Kebersihan itu bukan proyek negara, tapi proyek bersama. Kalau
nunggu semua ditangani pemerintah, ya bisa-bisa kita udah pindah alam duluan.
Di banyak desa, kadang membersihkan selokan aja harus nunggu surat edaran.
Padahal, kalau warga satu RT patungan tenaga buat nyapu jalan,
pungut sampah, dan tanam pohon, hasilnya nggak cuma desa jadi cantik. Tapi juga
bikin tubuh sehat dan hati senang. Iya, hati senang—karena bersih itu menular,
kayak semangat tapi bukan kayak utang.
Dan percaya atau tidak, desa bersih itu bisa menarik rejeki
juga. Wisatawan senang mampir. Investor bisa melirik. Bahkan tetangga desa bisa
iri.
Buah Gratis: Rejeki yang Jatuh dari Pohon
Coba bayangkan: siang bolong, anak-anak pulang sekolah, lewat
halaman balai desa, langsung metik pisang. Bukan nyuri, tapi memang dibolehkan.
Karena pohonnya ditanam rame-rame di tanah publik.
Buah gratis itu bukan soal kenyang perut aja, tapi juga simbol
kemakmuran. Nggak perlu izin, nggak pakai kupon, yang penting jangan serakah.
Dan ini bisa dimulai dari halaman sekolah, pinggir jalan, bahkan kuburan pun
bisa rindang kalau ditanami pohon buah.
Selain bikin adem, pohon-pohon ini juga bisa jadi tabungan
vitamin buat warga yang susah beli buah di pasar. Gratis, sehat, alami, dan
bikin desa tampak keren di Google Maps (kalau drone lewat).
Peradaban Itu Bisa Dimulai dari Buang Sampah ke Tempatnya
Kita ini kadang terlalu sibuk bahas “peradaban digital”, “AI”,
dan “generasi emas”, padahal buang sampah aja masih asal lempar. Lalu heran
kenapa got mampet, nyamuk betah, dan sakit batuk nggak kelar-kelar.
Padahal, di kitab mana pun—dari agama sampe buku
kesehatan—kebersihan itu disebut penting. Bahkan disebut “sebagian dari iman.”
Tapi kadang kalah sama kebiasaan jelek yang udah dianggap biasa.
Coba mulai dari hal kecil: jangan buang plastik kopi ke sawah.
Jangan numpuk botol Aqua di depan rumah. Dan, kalau bisa, jangan nyapu halaman
tapi buang sampahnya ke kebon tetangga.
Langkah-Langkah Gaya Madura Banget Tapi Visioner
- Gotong
Royong Tiap Minggu, Nggak Cuma Tiap Musim Pemilu
Bikin kegiatan bersih-bersih tiap Sabtu pagi. Diiringi musik dangdut koplo juga nggak apa-apa, yang penting selokan bersih. - Tanam
Pohon Buah, Jangan Pohon Plastik
Pisang, pepaya, mangga, jambu—semua bisa tumbuh di tanah Madura yang tabah. Ajak anak-anak sekolah nanem bareng. Nanti mereka bisa cerita ke anak cucunya: “Pohon mangga itu, aku yang tanem waktu SD.” - Edukasi
Lewat Ceramah, Meme, dan Lomba Ngocok Sampah
Sosialisasi jangan cuma lewat spanduk. Bisa lewat pengajian, grup WA, TikTok, bahkan lomba kebersihan antar-RT. Hadiahnya jangan cuma piring cantik—kasih bibit pohon juga. - Posting
Kegiatan, Jangan Cuma Selfie
Dokumentasi gotong royong dan panen buah bisa jadi konten keren di Instagram desa. Siapa tahu masuk berita nasional. Lebih baik viral karena bersih daripada viral karena rebutan bansos.
Penutup: Peradaban Itu Dimulai dari Hal Kecil, Bukan Dari
Jakarta
Desa yang bersih, sejuk, dan subur buah itu bukan mimpi. Tapi
juga bukan sulap. Semua bisa dimulai dari niat kolektif, tenaga gotong
royong, dan ide sederhana.
Kalau satu desa bisa menjaga kebersihannya dan bikin buah
gratis jadi tradisi, maka kita udah satu langkah lebih maju dari yang sibuk
debat di TV tapi buang sampah sembarangan.
Dan ingat:
“Kalau kamu tidak menanam buah untuk orang lain, jangan heran
kalau desa tetap gersang dan hati tetap kering.”
Mulailah dari selokan rumah sendiri. Sisanya akan ikut rapi
dengan sendirinya.