Di berbagai sudut Madura, kita masih
sering menyaksikan ladang-ladang kering yang menantang ketabahan petani. Musim
kemarau panjang bukan hal baru, dan bagi masyarakat Madura, bertahan di tanah
tandus adalah bagian dari tradisi hidup yang diwariskan secara turun-temurun.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, sesuatu yang dulu biasa menjadi luar
biasa. Tanaman-tanaman lokal seperti suwek, talas, porang, dan berbagai jenis
umbi lainnya kini mulai hilang dari lahan dan meja makan. Di tempat mereka,
beras dan nasi menguasai hampir seluruh ranah konsumsi pangan. Padahal, sejarah
Madura membuktikan bahwa orang-orang di tanah garam ini pernah hidup sehat dan
kuat tanpa sepenuhnya bergantung pada nasi.
Tulisan ini adalah ajakan untuk
merehabilitasi budaya pangan lokal Madura—sebuah refleksi tentang pentingnya
memulihkan keberagaman sumber pangan di tengah krisis harga beras dan ancaman
krisis iklim. Di saat banyak keluarga semakin sulit membeli beras, kita
seharusnya kembali kepada akar kita sendiri: kepada bumi Madura yang pernah
mendidik warganya hidup dari umbi-umbian, jagung, dan hasil alam yang
bersahaja, namun kaya gizi.
Warisan Pangan Leluhur yang
Terpinggirkan
Sebelum hegemoni nasi menancap
dalam-dalam ke pola makan bangsa ini, masyarakat Madura memiliki sistem pangan
yang jauh lebih beragam. Umbi-umbian seperti suwek, talas, ketela, bahkan
porang—yang kini lebih dikenal sebagai bahan ekspor mahal—dulu adalah bagian
penting dari kehidupan sehari-hari. Tak hanya dijadikan makanan pokok pengganti
nasi, bahan-bahan ini juga diolah menjadi aneka kudapan dan sajian khas yang
kaya rasa dan penuh makna budaya.
Namun sejak masa Orde Baru,
pemerintah pusat mendorong nasionalisasi beras melalui program swasembada
pangan. Beras menjadi simbol kemajuan, dan mereka yang tidak makan nasi
dianggap tertinggal. Padi pun menjadi satu-satunya tanaman yang dianggap layak
dikembangkan, meski realitas iklim dan tanah di Madura tak selalu mendukungnya.
Akibatnya, terjadi pemusatan
orientasi pangan pada beras. Tradisi pangan lokal terpinggirkan. Pengetahuan
tentang mengolah porang agar tidak gatal, atau mengolah suwek agar tidak pahit,
mulai terlupakan. Bahkan dalam banyak keluarga, menyebut talas atau ubi sebagai
makanan utama dianggap sebagai penanda “kemiskinan.” Sebuah ironi, karena
justru makanan-makanan lokal inilah yang dulu menyelamatkan Madura dari
paceklik dan bencana kelaparan.
Krisis Beras dan Ketergantungan
Pangan
Kini, ketika harga beras melambung
tinggi, kita menyaksikan dampak dari ketergantungan pangan yang berlebihan.
Data dari berbagai media menunjukkan lonjakan harga beras hampir setiap tahun,
terlebih pada masa transisi musim. Pemerintah mungkin menstabilkan harga
melalui impor atau subsidi, tetapi solusi itu tidak menyentuh akar persoalan:
hilangnya kedaulatan pangan lokal.
Ketika seluruh masyarakat terlanjur
bergantung pada beras, sedikit saja gangguan pada pasokan atau produksi akan
berdampak luas. Kita menjadi tidak tahan guncangan. Padahal, dulu masyarakat
Madura tak hanya makan nasi, tapi juga makan dengan jagung titi, suwek kukus,
talas rebus, dan berbagai olahan porang yang menyehatkan.
Mengapa kita tidak kembali ke akar?
Mengapa kita tidak menjadikan masa sulit ini sebagai momentum untuk
menghidupkan kembali budaya pangan kita sendiri?
Budaya Makan sebagai Cermin Identitas
Makanan bukan hanya soal kebutuhan
perut. Ia juga menyangkut identitas, nilai, dan cara pandang. Apa yang kita
makan, bagaimana kita memasaknya, dan bagaimana kita memaknainya—semua adalah
bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, menghidupkan kembali pangan lokal
bukan semata urusan logistik atau ekonomi, melainkan juga gerakan budaya dan
pemulihan martabat.
Orang Madura dikenal sebagai
masyarakat yang keras, tangguh, dan hemat. Tradisi itu lahir dari lingkungan
yang menantang dan ketersediaan pangan yang terbatas. Namun dari keterbatasan
itulah lahir kreativitas dan ketahanan. Umbi-umbian yang ditanam di ladang
gersang, lalu diolah dengan berbagai cara untuk menjadi makanan yang lezat dan
bergizi—itulah wujud nyata dari kearifan lokal.
Kita tidak perlu malu makan talas
atau suwek. Justru itulah kebanggaan kita. Masyarakat yang sanggup hidup dengan
pangan dari tanah sendiri adalah masyarakat yang berdaulat. Saat dunia resah
karena ancaman krisis iklim, Madura bisa menjadi contoh bagaimana masyarakat
bisa bertahan dengan kearifan lokal yang kuat.
Gerakan Rehabilitasi: Dari Ladang ke
Meja
Untuk merehabilitasi budaya pangan
lokal Madura, dibutuhkan langkah-langkah kolektif yang bisa dimulai dari
lingkup kecil:
1.
Revitalisasi Pengetahuan Tradisional
Lakukan pendokumentasian resep dan cara mengolah pangan lokal seperti suwek,
porang, talas, dan jagung. Wawancarai para sesepuh, hidupkan kembali
cerita-cerita dapur di masa lalu, dan jadikan itu sebagai bahan edukasi
generasi muda.
2.
Budidaya dan Pendampingan Petani Lokal
Dukung petani untuk kembali menanam umbi-umbian lokal. Pemerintah desa, lembaga
pendidikan, atau organisasi budaya seperti Lesbumi dapat menjadi penggerak
utama.
3.
Festival Pangan Lokal
Adakan acara tahunan yang merayakan pangan lokal. Selain memperkuat ekonomi,
festival ini juga membangun kembali rasa bangga terhadap pangan asli Madura.
4.
Pengembangan Produk Olahan Modern
Kembangkan produk kekinian berbahan dasar pangan lokal. Contohnya: keripik
suwek, brownies talas, tepung porang untuk mie sehat, dan sebagainya. Dengan
kemasan menarik dan strategi pemasaran yang tepat, produk ini bisa menembus
pasar luas.
5.
Kampanye Budaya Pangan Alternatif
Gunakan media sosial, literasi sekolah, bahkan khutbah dan pengajian untuk
menyampaikan pesan bahwa tidak makan nasi bukanlah hal yang memalukan—justru
menunjukkan kemandirian.
Penutup: Dari Refleksi ke Tindakan
Rehabilitasi budaya pangan lokal
Madura adalah jalan menuju ketahanan dan kemandirian. Ini bukan sekadar
nostalgia, tetapi juga strategi bertahan menghadapi masa depan. Dunia sedang
menghadapi tantangan besar dalam pangan, energi, dan air. Madura yang tandus
telah membuktikan ketangguhannya selama berabad-abad melalui makanan-makanan
yang sederhana, namun kuat dan bergizi.
Kini saatnya kita kembali menghidupkan kekayaan itu. Tidak untuk menolak beras, tapi untuk tidak bergantung sepenuhnya padanya. Kita perlu menyadari bahwa makan talas atau suwek bukan berarti mundur, tapi justru sebuah lompatan budaya: kembali ke kearifan yang pernah membuat kita kuat.