Healing, Jalan Terjal & Berbatu

cerpen, sastra & bahasa madura, sumenep, the soul of madura, oksigen terbaik madura, gerbang salam, pamekasan, api tak kunjung padam, the epicentrum of madura, sampang, bangkalan


Pagi itu, setiap hari kamis aku menempuh perjalananan sekitar lima puluh kilometer untuk tiba di rumah asalku. Aku pulang setiap hari kamis hanya untuk mengaji dan menabur bunga di atas kuburuan para sesepuh, kakek-nenek dari ibu dan suadara-saudaranya, kakek-nenek dari bapak dan juga saudara-saudaranya. Dengan cara seperti itu, aku juga bisa sungkem pada ibu menjelang malam jum’atnya.

Pagi itu, aku mengabarkan pada atasan, sebenarnya bukanlah atasan, melainkan orang yang dianggap memimpin tempat kerja ini, aku akan berangkat pulang. Ia seperti hari-hari biasanya yang cuek. Ia menyahut dengan anggukan kepala tanpa melihat padaku. Itu merupakan hal wajar dan biasa saja. Aku pun berangkat dengan motor kesayangan.

Aku tidak melintasi jalan pantai selatan yang merupakan jalan utama, tapi aku selalu mencari jalan baru, berliku dan berbatu di pedalaman kabupaten ujung pulau ini. Aku merasakan getaran dahsyat jika aku tahu bahwa suatu jalan bisa tembus ke suatu area, tentu saja aku menikmati perjalanan ini dengan lebih gronjal-gronjol. Seperti hari itu, aku memilih lurus ke utara dari tempat kerjaku, jalan itu sangat berliku dan berbatu, aspalnya sudah romping di sana-sini. Mungkin pandemilah yang menyebabkan jalan ini tak kunjung diperbaiki. Padahal pemandangan dari jalan ini sungguh hijau dan menakjubkan.

Maos jugan

Kau pasti tahu, bahwa kabupaten ujung pulau ini disebut sebagai kabupaten miskin, dengan kekayaan alam lepas pantai yang dinikmati investor itu. Warga daratan tak begitu banyak mendapatkan bagi hasilnya, tapi warga kepulauan yang berada di sekitar pulau ini juga tak mendapatkan apa-apa. Listrik susah, bahan bakar untuk melaut juga susah dan mahal-mahal. Belum lagi bahan baku untuk bertahan hidup. Tapi haruskah kami selalu protes, nanti kami dibilang hanya bisa protes, ayo kerja, kerja, kerja, bukan protes, protes, es.

Aku lebih tiga kali melintasi jalan ini, lurus ke utara akan berjumpa pada jalan berkelok, penuh lika-liku, tanjakan-tikungan-tajam-tinggi dan tidak beraspal, dan lapisan aspal yang sudah tidak layak disebut menyamankan jalan. Belum lagi ditambah air sawah yang luber, aku kemudian tahu bahwa jalan ini menjadi jalan utama orang-orang untuk beraktivitas ke sawah, ladang dan kebun tanpa mengenal lelah, jalan yang amburadul, dan yang penting pertanian tetap hidup dan menghidupinya. Oh ya… jika kalian melintasi jalan ini, setelah tiba di atas tanjakan-tikungan-tajam-tinggi itu, kalian berhentilah sebentar, menoleh ke belakang, kalian akan menyaksikan keindahan. Yap. Bentul. Ini adalah emperan surga. Hahaha. Sepanjang mata memandang, kalian akan melihat panorama keindahan alam, ya tentu saja alami. Tidak dibuat-buat. Awal-awal aku tiba di bumi Sekar ini, aku seperti melihat gambar-gambar panorama alam yang biasanya berada di almanak, sebuah almanak yang lengkap, mulai tanggalan masehi, hijriyah, jawa, yang juga terdiri atas wuku, weton, pasaran yang terdiri, pahing-legi-pon-wage-kliwon. Cobalah kalian jalan-jalan pikiran kalian segar. Healinglah ke pedesaaan.

Kali ini aku mencoba jalan baru, menurut orang-orang, jalan belok kanan akan tembus pada jalan di timur sana, yang juga lurus dengan arah pintu gerbang yang arah kiri, di dekat pelabuhan-pasar ikan. Iya inilah jalanku, jalan berliku, berbatu, katanya sudah diaspal. Tapi lihatlah, batu-batu sebesar genggaman tangan baru saja aku lintasi dan itu sepanjang jalan, sedikit sekali yang aman, maksudnya teraspal. Jalan ini juga berkelok. Ada tanjakan tipis-tipis. Aku terus melaju dengan motor ini. Sesekali ban belakang tidak bisa berjalan, karena licin, atau terpleset. Inilah keseruannya. Jalan yang telah terkelupas asplanya cukup panjang, mungkin sekitar dua kilometer atau bahkan lebih.

Wah. Ada air mengalir. Bukan aliran sungai. Atau mungkin seperti inilah sungainya. Alirannya deras. Tapi tempatnya mengalirnya begitu sempit. Di pinggir jalan itu, ada telaga, seperti sumur, dengan luas lingkaran nyaris seperti lingkaran di tengah lapangan sepak bola. Saat itu ada orang sedang memandikan motornya. Ahhh enak sekali orang ini. Memandikan motor tidak perlu buang air di kamar mandinya. Minimal tidak harus memompa air yang menghabiskan listrik. Tapi jalan masih tidak beraspal. Mungkin karena ini sangat jauh dari pusat kecamatan, maksodnya juga jauh dari “kecamatan kota” sehingga di pedalaman tidak dianggap penting.

Maos jugan

Tak jauh dari sumber air itu, aku memilih jalur belok kiri, karena jalan mengarah ke selatan. Pasti ini lurus dengan pintu gerbang baratnya pelabuhan-pasar ikan. Aku tidak boleh ke jalan itu. Terlalu nyaman. Ini adalah tanjakan pertama yang cukup dahsyat. Jalannya licin. Tanah liat yang terkena hujan akan membuat jalan licin. Pengendara harus waspada tingkat tinggi. Ban belakang kembali monyer, nyaris aku dibuat frustasi. Akhirnya bisa nanjak. Dan kembali pada jalan beraspal seadanya, sehingga nyaris tak terlihat aspalnya. Ada batu besar. Besar banget. Berada di kanan kiri jalan. Batu itu besar banget. Tidak hanya sebesar tubuhku. Sepuluh kali lebih besar dari tubuhku. Ahhh goblok. Jika kamu punya kamar, 3x4 meter, nah sekitar seperti itu besarnya. Bayangkan sendiri. Penuh pohonan di sekitarnya. Akhirnya terkesan angker banget. Ngeri. Tapi karena hari ini masih siang. Iya jadinya tidak tahuk akan adanya hantu. Cuma takut saja. Karena samping kirinya adalah lembah yang curam. Sepertinya air tadi, yang mengalir deras, sepertinya mengalir dari ketinggian sini. Ini ada jalan menanjak. Tidak belok. Lurus, tidak beraspal. Sisi timurnya. Ada air mengalir deras. Bening. Aku tidak tahu. Apa ini mengalir sepanjang tahun lalu mencipta senjarah. Karena aku baru melintas sekarang ini. Sungguh.

Aku berkendara sembari menoleh ke kiri jalan, wah. Ternyata hamparan surga. Hijau. Dan penuh pemandangan yang indah. Aku terus melaju. Sampai tak terasa aku sudah dekat rumah. Ya di pasar Gapura. Aku rencana mau melihat seorang perempuan tua yang berjualan jendol keliling yang wadahnya disunggi di atas kepalanya. Jam 6 pagi biasanya ia menunggu angkutan yang melintas dari barat menuju arah timur; desaku. Tapi malah cerita jalan berliku, kareppe piye koe.

 

Madura

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak