Cerpen Lubang Batu

cerpen, sastra madura, bahasa madura, mat  toyu


“Ini hanya membuang-buang uang! Katanya dengan kloset ini, bisa nyaman, tak bau. Bagaimana bisa bau tai kalau tak bisa bertai. Aku sudah duduk sekitar satu jam diatas toilet ini, tapi aku juga belum bisa bertai. Seakan-akan tertutup sendiri dan tak mau mengeluarkan tai. Aduh. Sampai panas lubang pantatku, masih saja tak bisa. Ini harus di laporkan pada Pak Kades, bagaimana jika seluruh orang desa tak bisa bertai? Bagaimana nasib mereka? Pasti akan menyebabkan penyakit yang lebih berbahaya.” Mad Tenge mengerutu sendiri karena dirinya tak bisa bertai. Mad Tenge mencoba toilet baru. Toilet hadiah dari Kepadal Desa untuk rakyatnya.


“Aku harus pindah ke jamban, biar bisa bertai.” Lelaki itu berjalan keluar dari kamar mandinya. Menuju Jamban yang masih belum beratap. Empat sisinya dari anyaman bambu. Tak ada tempat air di sampingnya.


Ia berjongkok santai, tainya terjun tanpa gangguan. Ia merasakan kenikmatan, merasa membebaskan diri dari belenggu kloset. Ia merasa membuang beban hidup yang paling menumpuk. “Ini pekerjaan paling ikhlas. Habis membuangnya, aku tak ingat atau bahkan tak merasa kehilangan setumpuk tai. Inilah keikhlasan yang paling utama. Akh, lepaslah segala sakit perutku. Legalah perutku.”


***


Maos jugan


Siang itu, seorang ingin berkencing di kamar kecil masjid. “Aku ingin berkencing di tempat pengencingan yang baru.”


“Ini apa namanya?” tanyanya pasa seorang yang ingin mengambil wudhu.“Tidak usah bertanya. Langsung gunakan saja. Aku juga tak tahu. Pak Kades tak pernah menjelaskan apa ini dan apa itu. Pak Kades memberi ini, biar kita-kita ini nyaman. Tidak harus lari ke tegalan sana untuk bertai. Ayo cepat, Khatib sudah berfatwa.”


“Aku belum kencing. Kayaknya kita dipaksa kencing berdiri.” Mad Tenge yang bersarung kesulitan kencing dan tak biasa kencing berdiri. Ia mengangkat sarung bagian depannya. “Ehm kalau begini cara kencingnya, bisa kelihatan semua anuku, pahaku, dan kebawah. Pindah akh…” ia jongkok. Kencing. Suaranya hening.


“Bagaimana dengan anak kita? Pasti akan kencing sambil tengkurap. Hahaha.”


“Sesuai dengan kondisi zaman.”


***


Kebiasaan orang desa adalah jika matahari tenggelam di balik awan, orang-orang akan menyelam di balik selimut. Ketika matahari terbit, terbit pula keinginan bertai. Seperti Pagi itu Mad Tenge ingin bertai. Sebelum memiliki jamban ia bertai di bawah pohon sekitar rumahnya. Kadang, berlindung pada pohon kelapa. Sehabis  menggelontorkan semua kotoran yang ada dalam perutnya. Iapun tenang. Iapun kaget melihat seorang perempuan bejalan santai di depan sejauh lima puluh meter. Ia merasa, perempuan itu tak melihat dirinya sebab perempuan itu tak menoleh dan berjalan dengan santai. Tapi perempuan itu terlihat senyam-senyum seorang diri.


Ia cepat berlari. Lari ke kamar mandinya. Ia kaget lagi pada apa yang dilihatnya.


“Iya ya. Ini ada kloset. Kenapa aku harus bertai kesana!!! Aku masih lupa kalau ada kloset disini. Ini kan pemberian Pak Kades dengan Gratis. Harus cepat dipasang, biar desa cepat bersih dan bebas dari kotoran.” Begitu saran Pak Kades.


“Kloset ini sudah lama, tapi aku tak biasa memakai ini. Kalau pagi-pagi, merasa harus ke pekarangan, membuang taiku kesana.


Ini harus dibongkar. Apa gunanya kalau tak dipakai.”


***


Pak Kades kaget setelah mendengar gosip-gosip  tentang kloset yang dipasang di rumah warga-warga dengan hanya mengganti uang semen satu sak itu tak berfungsi. Banyak warganya yang tidak bisa bertai diatas kloset itu. Ada yang merasa terkena sihir tetangganya, karena benar-benar tidak bertai. Perutnya kembung dan tak bisa kentut, sampai harus dioperasai.


 “Setolol apa sih rakyatku, sehingga tak bisa menggunakan kloset? Mana bisa desa ini terpilih menjadi desa kalpataru kalau rakyatnya tak bisa bertai diatas kloset dan selalu saja menggunakan jamban yang bau tainya menabrak hidung.”


“Harapannya, dengan kloset itu, desa ini menjadi bersih, pantai ini menjadi bersih, tidak menjadi pembuangan tai. Malu donk pada turis-turis yang datang, menikmati pantai ini tapi banyak tainya.” Pak Kades menggerutu di pinggir pantai. Di atas pasir putih.


***


Mereka tetap menggunakan Jamban. Sebelum ada Jamban, orang-orang desa itu sering bertai di bawah pohon, belakang kandang sapinya (ditumpuk dengan tai sapi), kencing di abu dalam dapurnya (bekas pembakaran kayu ketika memasak). Katanya untuk pupuk. Disanalah tempat berlindung dari penglihatan orang-orang. Tapi dengan pola pikirnya yang baru mereka membuat jamban. Dengan berjongkok, terjun tai manusia ke bawah sana: sebab lubang yang lebih besar telah disediakan di kedalaman jamban. Ada yang membuat jamban di atas laut dengan jembatan sekitar lima puluh meter dari daratan. Seperti jembatan yang mengapung. Empat sisinya tertutup kain, atau anyaman bambu, atau anyaman daun kelapa. Orang-orang datang kesana. Jongkok. Tainya akan disambut ikan-ikan. Ada pula yang bertai sambil bersantai. Mereka berkumpul tiga sampai empat orang di pasir pantai diantara pohon-pohonan pantai. Bertai sambil berbincang seputar ikan-ikan, laut dan jala. WC yang disediakan Pak Kades tidak digunakan sebagaimana mestinya. Bagi mereka yang dekat dengan sungai, mereka akan menghanyutkan di sungai. Perangkat desa menjadi panik. Seluruh rakyatnya tak bisa menggunakan kloset. Hanya  perangkat desa saja yang bisa dan merasa bangga setelah mendapat bantuan kloset. GRATIS.


***


Maos jugan


Pak Kades berkeinginan pantai ini dijual dengan dicicil, paling tidak selama 24 jam dapat terjual seharga 500ribu rupiah. Siapa tahu jika pantai ini dipoles dan dijadikan salah satu tempat pariwisata, pastilah dengan harga 10000 perorang yang ingin masuk, pantai ini akan menghasilkan lebih dari 500ribu selama 24 jam. Inilah penjualan yang tidak menghilangkan dan merusak alam. Pikirnya. Tapi melihat tingkah rakyatnya yang tak membersihkan kloset-kloset bantuannya, Pak Kades menjadi ragu untuk melanjutkan harapannya. Padahal dengan itu pula, Pak Kades berharap bisa menambah pemasukan, kemakmuran desa akan lebih bertambah, dan nama desa menjadi terangkat berkat perjuangan dirinya. Sehingga dengan mudah ia bisa terpilih lagi pada pemilu desa yang akan datang. Begitu pula dengan program kloset yang diberikan dengan cuma-cuma, tak lain adalah mengambil hati warganya. Tapi warganya tak mengindahkan apa yang telah direncanakan. Sungguh tak masuk akal. Ini diluar kendalinya.


“Kendala ini di luar kendaliku.” Ia hanya bisa mengusap wajahnya. Lesu. Bahkan istrinya terasa tak cantik lagi.


Ia memanggil beberapa warga dari setiap dusun. Orang-orang yang diambil adalah orang yang telah ingin sekali bertai. Sangat kebelet ingin. Tapi disuruh ditahan. Bahkan disana diberi obat yang langsung bisa mencret. Di kamar mandi desa telah disedikan kamar kecil yang ada kamera CCTV untuk melihat benarkah orang desa tak bisa bertai diatas kloset. Tak hanya itu, orang-orang yang terpilih itupun adalah orang-orang yang benar-benar jujur, sehingga mereka yang terpilih hidup di kantor kelurahan selama 24 jam lebih untuk mengatur makan dan bisa bertai dan mereka juga dibayar.


Pada hari yang telah ditentukan, sepuluh orang datang mewakili dusun masing-masing. Pagi mereka makan dengan lahapnya. Karena memang disuruh untuk tidak makan karena di kelurahan akan diberikan makanan terenak yang belum mereka makan selama hidupnya. Dalam makanan itulah diberi obat agar cepat mencret.


Ada yang belum selesai makan langsung menanyakan WC. Pak Kades bangga. Tapi sebelum tiba di kamar mandi, mencretnya tak dapat ditahan lagi. Berjatuhan dalam perjalanan menuju kamar mandi yang padahal hanya beberapa meter.


“Yang lain lanjutkan! Jangan terpengaruh pada yang lain.”


“Saya tak kuat pak! Saya tak kuat menahan sakit perut!”


“Istirahat dulu!” Perintah Pak Kades.” Tapi orang-orang buas itu merasa tak akan mendapat makanan jika berhenti. Sebab mereka merasa belum kenyang. Mereka ingat pesan kiai pada sebuah ceramah, makanlah sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang.


Ini kesempatan yang tak datang untuk kedua kalinya. Sapa suruh mengundang kami hanya untuk makan seperti ini.


Merekapun istirahat. Merokok. Santai. Bergurau. Bermain domino. Poker dan skak. Grambol. Mereka semua tenang, tapi tiba-tiba mereka semacam aduan kentut. Setiap orang merasa kalah jika tak berkentut.


“Adduh. Punyaku ikut!”


“Cepat! Kebelakang.” Tapi lagi-lagi, sebelum tiba di kloset mereka telah mengeluarkan mencretnya. Ada yang tercecer dari depan hingga belakang.


Tahan. Teriak pak kades. Tapi tak ada yang mendengar. Semuanya mencret dihalaman kantor Pak Kades. Tai mencret itu bertaburan disana-disini memenuhi lantai kantor kades dan halaman-halamannya. Pak Kades merasa percobaan itu gagal.


“Hilang uangku yang dua miliyar untuk membangun desa menjadi desa bersih. Dua miliyar hilang begitu saja. Orang-orang desa tolol. Kolot. Memalukan. Dasar edan! Dua miliyar hilang untuk membeli kloset yang tak berguna apa-apa.


Dimana aku akan mencari ganti sebesar itu? Hutangku banyak sekali.” Ia menangis di ruangannya. Tak terlihat di kamera CCTV orang jongkok ataupun duduk untuk bertai. Ia bangun bermaksud ingin pulang, dari pada marah-marah, kesel pada semua orang dan benci yang tak berujung. Melangkah dengan runyam dipikirannya.


Setiba di teras kantor desa ia terpeleset karena licin keramik yang telah penuh tai mencret itu. Saat mau bangun, ia terpeleset lagi. seluruh orang tertawa melihat baju DINAS-nya berlumuran tai. Kuning!


 

Yogyakarta 2012

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak