CERPEN MENIPU TUHAN

Syarwini Syair Menipu Tuhan

lalampan.com. Lelaki setengah baya itu tampak sangat bahagia setelah ke sekian kalinya ia berhasil menipu Tuhan. Hari itu ia benar-benar merasa puas. Pasti Tuhan sangat jengkel padanya, justru karena itulah ia merasa dendamnya kepada Tuhan terlampiaskan.

Sebelum suara tilawah melantun dari corong masjid sebagai penanda salat jum’at, ia sudah mandi dan memakai baju putih-putih, melingkarkan surban di kepala dan sajadah di bahu. Di dalam pikirannya, ia bayangkan Tuhan telah bersiap dengan buku catatan amal dan pensil warna di tangan untuk menuliskan satu amal baik yang akan ia lakukan: salat jum’at.

Setelah azan kedua berkumandang, ia ambil sepeda ontel merek Ruth peninggalan Belanda dan mengayuhnya menuju masjid yang berjarak tidak lebih dari 200 meter. Jamaah di masjid tua kampung Ares Tengah sudah hampir penuh. Ia sandarkan sepedanya di bawah pohon asam yang rindang. Dengan kepala tertunduk ia berjalan ke serambi masjid, mengambil tempat dekat pintu utama, menghampar sajadah, menariknya kembali, lalu pulang disertai tawa kecil yang sempat ditangkap beberapa kuping jamaah.

Lalu ia kembali bayangkan betapa Tuhan sangat kesal kepadanya karena sudah mengira kalau ia akan salat jum’at, padahal sekedar pura-pura saja. Menurut perhitungannya, dendamnya kepada Tuhan masih belum selesai.

“Man Sunardi itu kenapa? Sudah sinting dia?” tanya seorang jamaah.

“Tidak tahu. Sejak ia gagal lagi panen garamnya seminggu lalu, perilakunya jadi aneh,” jawab jamaah yang lain.

“Kata Man Punabi, ia lagi berantem dengan Tuhan,” timpal Sukiman.

“Husss, lagi khotbah tuh, jangan ngomong terus!” bentak seseorang yang lain dengan agak keras.

“Hei, ja’ nger-enger. Keluar kalau mau ngobrol!” bentak Marsuto tak kalah garang.

Suasana masjid menjadi sedikit riuh. Untung saja si tukang khotbah tetap khusyu tak peduli suasana. Kiai Maddasin, selaku tetua kampung dan guru ngaji yang disegani tiba-tiba berdiri menatap ke arah jamaah yang riuh. Usai salat jum’at, para jamaah membawa pulang pikirannya masing-masing tentang Sunardi yang bertingkah konyol di masjid yang katanya sedang berperkara dengan Tuhan.

Sejak hari itu, kabar mengenai Sunardi yang hendak membalas congoco Tuhan tersebar ke seluruh kampung. Dan sampai pula kabar kurang mengenakkan itu ke telinga Kiai Maddasain, dan tentu saja membuatnya geram.

“Apa kabar itu benar?” Tanya Kiai Maddasin kepada Punabi, tetangga dekat Sunardi yang dipanggilnya malam itu usai salat isya. Berdasarkan kabar pula, Punabi dianggap yang paling tahu tentang keanehan Sunardi yang terjadi belakangan.

“Lerres Kiai. Sunardi sendiri yang bilang kepada saya kalau dia sedang ingin membalas Tuhan yang telah menipunya,” jawab Punabi penuh ta’zim.

“Menipu bagaimana?”

“Saya kurang tahu juga, Kiai!”

Kiai Maddasin menarik napas agak berat. Hatinya panas dingin. Giginya bergeretak menandakan ia marah mendengar kebenaran kabar tentang Sunardi yang hendak menipu Tuhan. Ia putuskan bahwa besok pagi sebelum masuk waktu duha, ia akan menanyakan langsung kepada Sunardi.

“Tuhan kok dibuat permainan,” gumamnya.

Sesuai rencana, sebelum matahari merangkak setinggi tombak, Kiai Maddasin sudah berada di pekarangan rumah Sunardi. Dilihatnya Sunardi sedang memberi makan ayam-ayamnya di samping rumahnya. Ia ingin segera melampiaskan amarahnya kepada si petani garam yang sok berlagak itu.

Tapi, seketika langkahnya berhenti. Ia tiba-tiba teringat bahwa dirinya masih memiliki hutang garam satu kwintal kepada Sunardi. Sudah hampir setahun tapi belum pula ia lunasi. Ragu-ragu mulai menyergap hatinya, dan beberapa detik kemudian ia memalingkan badan.

Ternyata, berurusan dengan hutang jauh lebih menakutkan dari pada berurusan dengan Tuhan.

 

*****

 

Kabar mengenai Sunardi ini sudah kutemukan pangkal mulanya. Berdasarkan hasil investigasi yang saya himpun, saya akan menceritakan bagaimana asal mula lelaki petani garam itu punya dendam kesumat kepada Tuhan dan berkali-kali ia berusaha menipuNya. Tapi tidak sekarang, lain waktu saja.

 

Candi, 01 Juni 2023

 

Keterangan:

Man : Paman/Om

Ja’ nger-enger : Jangan ramai

Congoco : Ngerjain

Lerres : Benar

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak