Cara Sederhana Mengajarkan Bahasa Madura di SMP
Lalampan.com || Mengajar itu bukan hanya soal menyampaikan materi, tapi juga
bagaimana kita membuat siswa merasa dekat, merasa akrab, bahkan merasa bermain
dengan apa yang dipelajari. Itulah yang saya lakukan ketika mengajar bahasa
Madura di tingkat SMP. Saya tidak ingin menjadikan pelajaran ini sebagai
sesuatu yang kaku, penuh hafalan, atau sekadar rutinitas formal. Sebaliknya,
saya ingin anak-anak belajar dengan cara yang menyenangkan, praktis, sederhana,
namun tetap mendalam.
Kurikulum yang saya susun bukanlah kurikulum resmi dari
kementerian atau buku tebal dengan daftar panjang kompetensi. Saya menyebutnya
sebagai kurikulum mendalam yang merdeka. Merdeka, karena saya bebas
menentukan langkah sesuai kebutuhan anak-anak. Mendalam, karena meski tampak
sederhana, materi yang saya berikan mengakar pada kesadaran budaya dan
penguasaan bahasa.
Maos jugan
- Menulis Sebagai Jalan Belajar yang Merdeka dan Menyenangkan
- Pimpinan Fatayat NU se-Kecamatan Ganding Dilantik Secara Serentak
- Satu Abad NU dan Haul Gus Dur
- Para Juara Dalam Pekan Rajabiyah & Harlah NU Ke-102
- Entara ka Resepsi 1 Abad NU
Tahun Pertama: Belajar Bermain dengan Kata
Kelas satu saya mulai dengan hal yang paling dekat dengan
kehidupan anak-anak: parebasan (peribahasa), pantun, dan puisi. Mengapa ini
yang saya pilih? Karena bentuk sastra itu dekat dengan kehidupan sehari-hari
mereka. Parebasan adalah kearifan orang tua yang diwariskan lewat bahasa.
Pantun adalah permainan kata yang indah sekaligus lucu. Puisi adalah ruang
bebas untuk mengekspresikan rasa.
Asesmen yang saya buat sederhana. Saya minta mereka mencari
lima parebasan Madura dari orang tua mereka. Dengan begitu, mereka bukan hanya
belajar di kelas, tapi juga belajar dari rumah, dari keluarganya sendiri. Ada
proses silaturahmi bahasa di sana. Lalu, saya minta mereka menulis lima pantun.
Tidak ada aturan kaku, yang penting mereka mencoba merangkai kata dengan rima.
Terakhir, saya beri tantangan membuat satu puisi dalam bahasa Madura, minimal
15 baris.
Hasilnya? Anak-anak senang sekali. Mereka merasa tertantang,
merasa bermain-main dengan kata. Mereka juga mulai sadar bahwa bahasa Madura
tidak hanya untuk berbicara sehari-hari, tapi juga bisa jadi karya seni.
Tahun Kedua: Membaca dan Menganalisis Carpan
Kini, anak-anak itu sudah naik ke kelas dua. Mereka sudah
menyelesaikan tugas tahun pertama, dan saatnya melangkah lebih jauh. Di tahun
kedua, fokusnya adalah carpan—cerita pendek dalam bahasa Madura.
Saya arahkan mereka membaca cerpen-cerpen dari berbagai
sumeber (bisa juga dari lalampan.com atau media lain). Dari sana, mereka
belajar melihat bagaimana cerita dibangun, bagaimana tokoh hidup dalam bahasa
mereka sendiri. Lalu saya ajak mereka menganalisis: siapa tokoh utamanya, apa
konflik ceritanya, bagaimana penyelesaian akhirnya, dan pesan apa yang bisa mereka
ambil.
Analisis ini sederhana tapi penting. Anak-anak belajar untuk
tidak hanya membaca, tapi juga memahami. Mereka mulai mengasah kepekaan melihat
makna di balik teks. Di sinilah pembelajaran mendalam itu terasa.
Tahun Ketiga: Menulis Carpan
Tahun ketiga adalah puncak dari perjalanan kecil ini. Saya
minta mereka menulis cerpen sendiri, dua halaman folio bergaris. Bebas temanya,
bebas tokohnya, bebas imajinasinya.
Tugas ini tidak hanya melatih keterampilan menulis, tetapi
juga melatih keberanian mereka untuk berkarya. Anak-anak yang dulu mungkin
hanya bisa mendengar parebasan dari orang tuanya, kini sudah bisa melahirkan
cerita dari dirinya sendiri. Inilah yang saya maksud: pembelajaran yang
berkesadaran. Mereka sadar sedang berkarya, sadar sedang melestarikan bahasa,
dan sadar sedang mengekspresikan dirinya.
Maos jugan
- Cangka Asela
- Kabhâjjhârânna Ana’ Sè Kakorangan
- Carpan: Durahem Ajuwala Tokona
- Taxi Driver 2: Ajalan Nojju Kaadilan
- carpan: Noles Sorat
Bermain, Menyanyi, dan Menyadari Makna
Saya tidak ingin kelas hanya dipenuhi tulisan di papan. Saya
juga mengajak mereka bernyanyi. Misalnya, pantun Madura yang mereka buat, saya
ajak mereka menyanyikannya.
Contoh sederhana:
Ngapote wa' lajarra etangngale,
Tantona reng majang la padha mole.
Terlihat layar putih, tanda nelayan sudah pulang. Tapi
maknanya jauh lebih dalam. Layar putih itu ibarat kafan putih, tanda seseorang
sudah selesai dengan urusan dunia. Pulang berarti siap menghadap Yang Maha Esa.
Anak-anak pun belajar, bahasa Madura bukan hanya soal bunyi, tapi juga simbol
dan makna.
Mereka mungkin belum berliterasi tinggi, tapi lewat cara ini
mereka sudah mulai terbiasa melihat kedalaman dalam kesederhanaan.
Mengapa Tidak Semua Bentuk Sastra Diajarkan?
Bahasa Madura kaya sekali. Ada pantun, parikan, rora basa,
tembang, dan lain-lain. Tapi saya sengaja tidak mengajarkan semuanya sekaligus.
Anak SMP masih butuh ruang untuk bermain, otaknya masih berkembang, dan mereka
tidak boleh dijejali dengan semua bentuk sekaligus.
Saya mulai dari yang paling menyenangkan: pantun. Dari pantun,
mereka belajar bermain kata, bermain bunyi, bermain makna. Dari sana,
perlahan-lahan mereka bisa melangkah ke bentuk sastra lain yang lebih kompleks.
Mengajar dengan Kesadaran dan Kegembiraan
Bagi saya, inti dari kurikulum mendalam ini ada dua: kesadaran
dan kegembiraan. Kesadaran bahwa belajar bahasa Madura adalah bagian dari
mengenali identitas dan budaya mereka sendiri. Kegembiraan karena prosesnya
selalu menyenangkan, seru, dan tidak membebani.
Di kelas, saya lebih banyak mendengarkan karya anak-anak,
mengapresiasi, lalu memberi masukan kecil. Saya biarkan mereka merasa berhasil
dengan setiap bait pantun, setiap baris puisi, setiap analisis sederhana,
hingga akhirnya setiap cerpen yang mereka tulis.
Penutup
Beginilah cara saya mengajar basa Madura di SMP. Tidak ada
teori rumit, tidak ada metode berlapis-lapis, hanya kurikulum sederhana yang
lahir dari kemauan, pengalaman, dan kecintaan pada bahasa sendiri.
Hasilnya, anak-anak bisa belajar bahasa dengan cara yang
mereka sukai. Mereka belajar tanpa merasa digurui. Mereka menulis, bernyanyi,
bercerita, dan berimajinasi. Mereka tumbuh dengan bahasa, dan bahasa tumbuh
bersama mereka.
Itulah pembelajaran mendalam yang merdeka: sederhana, praktis, menyenangkan, namun penuh makna.
Kami berbagi, barangkali ada yang mau meniru. ha ha ha. Kapan kira-kira belajar carakan?