Puisi Anak: Pelangi di Langit Indonesia

Puisi anak, Indonesia, Sastra anak, Madura, Indonesia, Sumenep, Jawa Timur

Puisi ini kami terima atau kami posting, barangkali ada yang berminat untuk belajar puisi sejak dini, puisi ini kami sangat sederhana, semoga bermanfaat dan menyenangkan. kritik dan saran selalu kami terima. || Redaksi Lalampan.com


Pelangi di Langit Indonesia

Di langit biru, pelangi tersenyum,
Warna-warni seperti mimpi anak kampung.
Merah berani seperti hati petani,
Kuning cerah seperti matahari pagi.

Hijau lembut seperti sawah di ujung jalan,
Biru laut tempat nelayan bernyanyi.
Ungu manis seperti bunga di halaman,
Dan jingga hangat seperti senyum Ibu.

Pelangi itu berkata lembut,
“Jagalah negeri ini, anak-anak baik.”
Dari Sabang sampai Merauke,
Dari gunung tinggi sampai laut dalam,
Kita bersatu, kita keluarga besar.

Angin membawa pesan sederhana:
Cintailah Indonesia dengan doa dan tawa.
Karena pelangi tak akan hilang,
Selama hati kita penuh kasih sayang.


Maos jugan (Parlo Ekagali)

 

Laut yang Menyimpan Cerita

Aku berdiri di tepi pantai,
Mendengar ombak memanggil namaku.
Katanya, laut punya banyak kisah,
Tentang perahu, nelayan, dan bintang malam.

Ada cerita dari Sulawesi,
Tentang ikan yang pandai menari.
Ada kisah dari Bali,
Tentang nelayan yang rajin berdoa pagi.

Laut berkata lirih,
“Jangan kotori aku, anak kecil.”
“Aku rumah bagi ribuan makhluk,
dan cermin bagi langit yang biru.”

Aku tersenyum,
Lalu menulis janji di pasir pantai:
Aku akan menjaga laut,
Seperti Ibu menjaga rumah kecil kita.
Lalu ombak datang…
dan menghapus janji itu dengan lembut,
agar tumbuh di hatiku selamanya.

  

Gunung yang Menyapa Awan

Gunung itu tinggi,
menyentuh langit dan awan yang lembut.
Setiap pagi ia berbisik,
“Selamat datang, matahari muda!”

Dari lerengnya, pohon-pohon menari,
Burung-burung menulis lagu indah.
Air jernih mengalir seperti doa,
membasuh kaki bumi yang lelah.

Anak-anak di kaki gunung
bermain sambil tertawa.
Mereka percaya,
Gunung itu penjaga kampung mereka.

Ketika kabut datang,
Gunung seperti memakai selimut tebal.
Namun di balik diamnya,
Ia selalu berdoa kepada Tuhan,
Agar tanah subur,
dan manusia selalu bersyukur.

 


 

Bendera di Dadaku

Setiap Senin pagi,
Aku berdiri di halaman sekolah.
Bendera merah putih naik perlahan,
Seperti doa yang terbang ke langit.

Merahnya berani seperti darah pahlawan,
Putihnya suci seperti niat Ibu mencuci.
Aku menatapnya tanpa berkedip,
Rasanya dada ini penuh semangat.

Angin bermain di ujung kainnya,
Seolah berkata, “Teruslah belajar!”
Aku tersenyum kecil,
karena tahu Indonesia sedang melihatku.

Bendera itu bukan kain biasa,
Ia adalah hati seluruh bangsa.
Dan setiap kali aku memberi hormat,
Aku seperti menyalakan cahaya kecil di dalam dada.

 

Parlo Ekagali - Maos Jugan

Petani Menanam Doa

Setiap pagi, Ayah ke sawah,
Membawa cangkul dan harapan baru.
Langit masih biru muda,
Embun menempel di ujung daun padi.

Ayah tidak hanya menanam benih,
Tapi juga doa agar tanah tetap hidup.
Setiap ayunan tangannya,
Seperti menulis surat kepada Tuhan.

Di gubuk kecil, Ibu menanak nasi,
Aku menunggu sambil mengejar capung.
Sawah menjadi tempat belajar kami,
Tentang sabar, syukur, dan kerja keras.

Sore hari, angin membawa kabar,
Tentang padi yang mulai hijau muda.
Ayah tersenyum,
Aku tahu senyumnya bukan untuk dirinya,
Tapi untuk Indonesia yang tetap bernafas.

 

Lagu Pagi di Sekolah Desa

Burung pipit bernyanyi di atap sekolah,
Anak-anak berdiri rapi di halaman.
Suara mereka kecil tapi penuh semangat,
Menyanyikan “Indonesia Raya” dengan bangga.

Guruku tersenyum sambil menatap kami,
Tangan kanannya di dada kiri.
Aku ikut menirukan,
Rasanya seperti jadi bagian besar dunia.

Di belakang sekolah, pohon mangga bergoyang,
Seakan ikut menyanyi bersama.
Angin membawa nada-nada kecil,
Berputar di antara buku dan pensil.

Lagu itu selesai, tapi semangatnya tinggal,
Seperti matahari pagi yang tak mau padam.

  

Sapi Kerapan dan Doa Ibu

Pagi di Sumenep, angin berlari,
di sawah basah, anak-anak bersorak.
Dua sapi gagah siap berpacu,
dengan kalung warna-warni di lehernya.

Di pinggir lintasan, Ibu berdoa lirih,
"Agar anakku jadi pemberani,
bukan karena menang,
tapi karena jujur dan gigih."

Cemeti berayun, tanah bergetar,
sapi-sapi berlari seperti puisi hidup.
Debu menari di bawah matahari,
dan suara tambur jadi irama semangat.

Ketika lomba usai,
semua tertawa bersama.
Karena di Madura,
menang bukan soal hadiah,
tapi tentang cinta pada tanah yang berani.


Pelangi di Langit Indonesia

Di langit biru, pelangi tersenyum,
Warna-warni seperti mimpi anak kampung.
Merah berani seperti hati petani,
Kuning cerah seperti matahari pagi.

Hijau lembut seperti sawah di ujung jalan,
Biru laut tempat nelayan bernyanyi.
Ungu manis seperti bunga di halaman,
Dan jingga hangat seperti senyum Ibu.

Pelangi itu berkata lembut,
“Jagalah negeri ini, anak-anak baik.”
Dari Sabang sampai Merauke,
Dari gunung tinggi sampai laut dalam,
Kita bersatu, kita keluarga besar.

Angin membawa pesan sederhana:
Cintailah Indonesia dengan doa dan tawa.
Karena pelangi tak akan hilang,
Selama hati kita penuh kasih sayang.


 

Laut yang Menyimpan Cerita

Aku berdiri di tepi pantai,
Mendengar ombak memanggil namaku.
Katanya, laut punya banyak kisah,
Tentang perahu, nelayan, dan bintang malam.

Ada cerita dari Sulawesi,
Tentang ikan yang pandai menari.
Ada kisah dari Bali,
Tentang nelayan yang rajin berdoa pagi.

Laut berkata lirih,
“Jangan kotori aku, anak kecil.”
“Aku rumah bagi ribuan makhluk,
dan cermin bagi langit yang biru.”

Aku tersenyum,
Lalu menulis janji di pasir pantai:
Aku akan menjaga laut,
Seperti Ibu menjaga rumah kecil kita.
Lalu ombak datang…
dan menghapus janji itu dengan lembut,
agar tumbuh di hatiku selamanya.

 

 

 


 

Gunung yang Menyapa Awan

Gunung itu tinggi,
menyentuh langit dan awan yang lembut.
Setiap pagi ia berbisik,
“Selamat datang, matahari muda!”

Dari lerengnya, pohon-pohon menari,
Burung-burung menulis lagu indah.
Air jernih mengalir seperti doa,
membasuh kaki bumi yang lelah.

Anak-anak di kaki gunung
bermain sambil tertawa.
Mereka percaya,
Gunung itu penjaga kampung mereka.

Ketika kabut datang,
Gunung seperti memakai selimut tebal.
Namun di balik diamnya,
Ia selalu berdoa kepada Tuhan,
Agar tanah subur,
dan manusia selalu bersyukur.

 


 

Bendera di Dadaku

Setiap Senin pagi,
Aku berdiri di halaman sekolah.
Bendera merah putih naik perlahan,
Seperti doa yang terbang ke langit.

Merahnya berani seperti darah pahlawan,
Putihnya suci seperti niat Ibu mencuci.
Aku menatapnya tanpa berkedip,
Rasanya dada ini penuh semangat.

Angin bermain di ujung kainnya,
Seolah berkata, “Teruslah belajar!”
Aku tersenyum kecil,
karena tahu Indonesia sedang melihatku.

Bendera itu bukan kain biasa,
Ia adalah hati seluruh bangsa.
Dan setiap kali aku memberi hormat,
Aku seperti menyalakan cahaya kecil di dalam dada.

 


 

Petani Menanam Doa

Setiap pagi, Ayah ke sawah,
Membawa cangkul dan harapan baru.
Langit masih biru muda,
Embun menempel di ujung daun padi.

Ayah tidak hanya menanam benih,
Tapi juga doa agar tanah tetap hidup.
Setiap ayunan tangannya,
Seperti menulis surat kepada Tuhan.

Di gubuk kecil, Ibu menanak nasi,
Aku menunggu sambil mengejar capung.
Sawah menjadi tempat belajar kami,
Tentang sabar, syukur, dan kerja keras.

Sore hari, angin membawa kabar,
Tentang padi yang mulai hijau muda.
Ayah tersenyum,
Aku tahu senyumnya bukan untuk dirinya,
Tapi untuk Indonesia yang tetap bernafas.

 


 

Lagu Pagi di Sekolah Desa

Burung pipit bernyanyi di atap sekolah,
Anak-anak berdiri rapi di halaman.
Suara mereka kecil tapi penuh semangat,
Menyanyikan “Indonesia Raya” dengan bangga.

Guruku tersenyum sambil menatap kami,
Tangan kanannya di dada kiri.
Aku ikut menirukan,
Rasanya seperti jadi bagian besar dunia.

Di belakang sekolah, pohon mangga bergoyang,
Seakan ikut menyanyi bersama.
Angin membawa nada-nada kecil,
Berputar di antara buku dan pensil.

Lagu itu selesai, tapi semangatnya tinggal,
Seperti matahari pagi yang tak mau padam.

 


 

Sapi Kerapan dan Doa Ibu

Pagi di Sumenep, angin berlari,
di sawah basah, anak-anak bersorak.
Dua sapi gagah siap berpacu,
dengan kalung warna-warni di lehernya.

Di pinggir lintasan, Ibu berdoa lirih,
"Agar anakku jadi pemberani,
bukan karena menang,
tapi karena jujur dan gigih."

Cemeti berayun, tanah bergetar,
sapi-sapi berlari seperti puisi hidup.
Debu menari di bawah matahari,
dan suara tambur jadi irama semangat.

Ketika lomba usai,
semua tertawa bersama.
Karena di Madura,
menang bukan soal hadiah,
tapi tentang cinta pada tanah yang berani.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak