Menulis Sebagai Jalan Belajar yang Merdeka dan Menyenangkan

Upaya meningkatkan literasi siswa dengan cara menulis hal-hal sederhana di sekitar kita


Menulis Sebagai Jalan Belajar yang Merdeka dan Menyenangkan

Lalampan.com – 1447. Pendidikan sering kali dipersepsikan sebagai proses menghafal teori (dalam hal ini adalah teori sosial), mengerjakan soal, dan mengulang pelajaran yang seakan terpisah dari kehidupan nyata. Siswa duduk di bangku kelas, mencatat, mendengar, lalu diuji seolah-olah dunia luar tidak pernah hadir dalam kehidupan mereka. Namun, ada pendekatan yang lebih merdeka dan menyenangkan: menjadikan menulis sebagai inti dari proses belajar. Bukan menulis sebagai beban, melainkan menulis sebagai jalan untuk memahami kehidupan, masyarakat, dan diri mereka sendiri.

Di sebuah Madrasah Aliyah di pedesaan, pendekatan ini diterapkan dengan sederhana tetapi mendalam. Siswa diajak menulis tentang kehidupan yang mereka alami dan saksikan setiap hari. Tidak ada tekanan untuk menghafal teori sosiologi yang panjang dan rumit. Tidak ada kewajiban membaca buku teks setebal ratusan halaman hanya untuk menjawab pertanyaan ujian. Sebaliknya, mereka diminta untuk menulis esai sederhana, dua paragraf sehari atau 25 baris dalam satu hingga dua jam. Dari kebiasaan kecil itu, mereka diarahkan untuk menghasilkan karya utuh sepanjang semester: laporan atau esai dengan panjang 4 hingga 8 halaman.

Bagi kelas satu (kelas X), tugas menulis diarahkan pada tradisi tasyakuran kehamilan (peret kandhung). Mereka menuliskan bagaimana keluarga dan masyarakat merayakan hadirnya kehidupan baru. Siswa merekam doa-doa, makanan yang dihidangkan, simbol-simbol budaya dalam proses pelaksanaanya, serta nilai yang terkandung di dalamnya. Hasil tulisan itu bukan hanya tugas akademik, melainkan juga catatan sosial-budaya yang berharga.

Bagi kelas dua (kls XI), fokus penulisan diarahkan pada acara/kegiatan yang disebabkan oleh kematian, yaitu peristiwa atau aktivitas sosial selama tujuh hari. Mereka mengamati bagaimana keluarga dan masyarakat merespon duka. Mereka mencatat tradisi tahlilan, doa bersama, pembagian makanan, dan simbol-simbol yang menyertai kematian. Siswa belajar bahwa kematian bukan hanya peristiwa biologis, melainkan juga peristiwa sosial, penuh dengan makna kebersamaan dan solidaritas.

Sedangkan bagi kelas tiga (kls XII), tugas menulis diarahkan pada cara orang tua memenuhi kebutuhan dasar: Sandang, Pangan, dan Papan. Siswa menggali cerita dari keluarga mereka sendiri: bagaimana ayah mencari nafkah, bagaimana ibu mengatur keuangan, bagaimana keluarga memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka merasakan langsung betapa sulitnya mencari uang, betapa beratnya perjuangan orang tua. Dari pengalaman itu, siswa belajar menghargai kerja keras sekaligus menumbuhkan motivasi untuk bersekolah lebih sungguh-sungguh.

Pendekatan semacam ini jelas berbeda dengan model pembelajaran konvensional. Alih-alih mengejar hafalan teori rumit (yang kemungkinan tidak jelas), siswa justru diarahkan untuk menulis dengan jujur, merefleksikan pengalaman nyata. Tugas ini pun fleksibel: kelas akhir bahkan mendapat keringanan tidak perlu hadir di sekolah selama sebulan (4x pertemuan), karena waktu belajarnya diarahkan khusus untuk menulis di luar kelas. Belajar menjadi lebih nyata, lebih dekat dengan kehidupan, dan lebih menyenangkan.

Yang menarik, tugas menulis ini tidak hanya berguna untuk mata pelajaran sosiologi, melainkan juga bisa berfungsi sebagai tugas pelajaran lain (bisa untuk bahasa Indonesia). Melalui penugasan ini, siswa belajar menulis laporan penelitian sederhana. Struktur tulisan mereka mengikuti kaidah laporan: pendahuluan, tujuan, metode (misalnya wawancara dengan orang tua atau pengamatan langsung), hasil temuan, dan simpulan. Dengan demikian, satu tugas dapat menghasilkan nilai ganda—sekaligus sosiologi dan bahasa Indonesia.

Lebih dari sekadar nilai, hasil tulisan siswa dapat menjadi  portofolio sekolah. Kumpulan tulisan mereka dapat dijilid menjadi buku yang menunjukkan bahwa siswa madrasah di desa juga mampu menulis, mampu melakukan penelitian sederhana, dan mampu menghasilkan karya. Ini bisa menjadi bukti nyata ketika pengawas sekolah datang, bahwa proses belajar di kelas bukan sekadar rutinitas, tetapi juga menghasilkan produk nyata.

Esensi terpenting dari kurikulum menulis ini adalah   pembelajaran yang merdeka. Siswa tidak dipaksa menghafal teori Sosiologi yang rumit, jauh dari keseharian mereka, tetapi diarahkan untuk memahami. Mereka tidak dijejali teori abstrak, tetapi dilatih menyelami realitas. Mereka tidak sekadar mendengar guru berbicara, tetapi diberi ruang untuk menuliskan pengalaman mereka sendiri. Inilah pembelajaran yang humanis, menyenangkan, dan relevan dengan kehidupan.

Lebih jauh lagi, pendekatan ini menanamkan karakter. Dengan menulis tentang perjuangan orang tua, siswa belajar menghargai kerja keras. Dengan menulis tentang tradisi kematian (mulai hari pertama, kedua, lo'-tello' hingga to'-petto'), siswa belajar empati terhadap duka. Dengan menulis tentang tasyakuran kehamilan tujuh bulanan (peret kandhung), siswa belajar mensyukuri kehidupan. Semua itu adalah nilai-nilai yang sulit didapat hanya dari membaca buku teks atau menghafal teori sosial.

Menulis, dalam konteks ini, bukan hanya keterampilan bahasa, tetapi juga sarana untuk membentuk kesadaran sosial. Siswa belajar bahwa ilmu pengetahuan tidak berdiri di ruang hampa, melainkan selalu terkait dengan kehidupan sehari-hari. Mereka belajar bahwa sosiologi bukan sekadar teori tentang masyarakat, melainkan juga pengalaman mereka sendiri sebagai bagian dari masyarakat itu.

Bagi guru, metode ini juga menyenangkan. Tidak ada lagi wajah murung karena siswa sulit memahami teori. Tidak ada lagi suasana kelas yang kaku. Yang ada adalah percakapan hangat, wawancara siswa dengan orang tua, observasi tradisi di masyarakat, dan akhirnya laporan yang ditulis dengan bahasa sederhana. Guru hanya perlu membimbing, memberi arahan, dan mengapresiasi karya siswa.

Mungkin ada yang bertanya: bagaimana dengan teori? Bukankah siswa tetap perlu memahami teori sosiologi? Jawabannya, teori akan hadir dengan sendirinya. Ketika siswa menulis tentang kebutuhan dasar, guru dapat memperkenalkan teori Maslow tentang hierarki kebutuhan. Ketika siswa menulis tentang kematian, guru dapat memperkenalkan konsep solidaritas sosial dari Émile Durkheim. Ketika siswa menulis tentang tasyakuran kehamilan (peret kandhung), guru dapat menjelaskan teori fungsionalisme tentang peran ritual dalam masyarakat. Teori tidak dipaksakan, melainkan diperkenalkan secara alami, sesuai dengan pengalaman nyata siswa.

Di sinilah letak keindahan metode ini:   teori lahir dari pengalaman, bukan pengalaman yang dipaksa tunduk pada teori.

Pada akhirnya, pendekatan menulis ini adalah bentuk nyata dari semangat merdeka belajar. Siswa diberi kebebasan untuk berekspresi, diberi ruang untuk memahami kehidupan, dan diberi kesempatan untuk menghasilkan karya. Mereka tidak hanya mengejar nilai, tetapi juga mengasah keterampilan yang akan berguna sepanjang hidup: keterampilan menulis, berpikir kritis, dan memahami masyarakat.

Dan yang tak kalah penting, melalui tulisan-tulisan itu, siswa menyadari betapa berharganya perjuangan orang tua mereka. Mereka belajar menghargai kehidupan sejak dalam kandungan, hingga akhirnya kembali ke Sang Pencipta. Mereka belajar bahwa pendidikan bukan hanya soal ijazah, tetapi juga soal menjadi manusia yang lebih peka, lebih bijak, dan lebih bersyukur.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Dukung Kami merawat "Bahasa dan Budaya Madura" di lalampan.com.

Dukung karya kami dengan traktir Sacangker Kopi/Jindhul. Setelah dukungan, Paduka Yang Mulia bisa membaca dan juga berpartisipasi ikut merawat & melestarikan bahasa & budaya Madura.

Trakteer Kopi Sacangker

Formulir Kontak