Keruntuhan Identitas, Keruntuhan Dinamika: Luka Panjang Sebuah Bangsa

Luka panjang Bangsa, Indonesia, Penjajahan Belanda,


Sebuah Esai Reflektif || Mat Toyu


Lalampan.com || Ada satu luka yang sulit disembuhkan oleh bangsa ini: luka karena kehilangan dirinya sendiri. Luka itu tidak kasat mata, tidak berbekas darah atau luka sayatan, tetapi terasa dalam denyut kehidupan sehari-hari. Luka itu bernama   keruntuhan identitas  , atau setidaknya,   keruntuhan dinamika  . Sebuah dinamika yang mestinya tumbuh, berputar, dan berdenyut, justru membeku karena terlalu lama terjebak dalam cengkeraman kebodohan yang disengaja.

Bangsa ini bukan hanya dijajah secara fisik, tetapi juga dijajah jiwanya. Selama berabad-abad, rakyat Nusantara dipaksa untuk diam, patuh, dan takut. Perlawanan memang ada, tetapi selalu ditekan dengan kekerasan yang lebih besar. Perlahan-lahan, keberanian itu hilang. Dan bersama dengan hilangnya keberanian, hilang pula daya hidup bangsa ini.

Bahasa Luka yang Panjang

Sejarah mencatat dengan jelas: Belanda datang melalui VOC sejak 1602. VOC, meski menyebut dirinya perusahaan dagang, sejatinya adalah alat kolonialisme. Ia memiliki tentara, mencetak mata uang, membuat perjanjian politik, bahkan menggulingkan kerajaan. Sejak saat itu, sebuah babak panjang penjajahan dimulai.

VOC, lalu disusul pemerintah kolonial Belanda, tidak hanya menguasai tanah dan hasil bumi, tetapi juga membentuk struktur sosial baru: penguasa di atas tak tersentuh, rakyat di bawah tak boleh bersuara. Perlawanan hanya dibayar dengan pengasingan, hukuman mati, atau pembantaian. Pendidikan hanya untuk segelintir orang; kebodohan dipelihara agar rakyat tak pernah sadar akan kekuatannya.

Itulah strategi penjajahan: membunuh bahasa keberanian.

Kita sering mendengar pepatah: bahasa menunjukkan bangsa. Dan dalam konteks ini, bahasa bukan sekadar kata-kata, melainkan juga bahasa jiwa, bahasa keberanian, bahasa perlawanan. Ketika bahasa itu dipatahkan, bangsa kehilangan cara untuk menyebut dirinya sendiri.

Inilah akar dari   keruntuhan identitas  . Bangsa yang dipaksa bungkam, akhirnya tidak tahu lagi siapa dirinya.

Identitas yang Diremukkan

Identitas sebuah bangsa tidak hanya terletak pada bendera, lagu kebangsaan, atau simbol-simbol resmi. Identitas yang sejati terletak pada kesadaran kolektif: rasa memiliki, rasa berharga, rasa percaya diri sebagai sebuah komunitas besar yang bernama bangsa.

Selama penjajahan, identitas itu diremukkan. Bangsa ini dipaksa untuk merasa kecil, tidak berdaya, tidak punya harga. Rakyat diadu domba, disekat-sekat oleh garis ras, etnis, dan kelas sosial. Bahasa daerah dianggap rendah, bahasa penjajah dijadikan simbol modernitas. Nilai-nilai lokal dipinggirkan, sementara nilai-nilai kolonial dipaksakan sebagai ukuran kemajuan.

Akibatnya, bangsa ini kehilangan pijakan. Di satu sisi, ia dipaksa melupakan akar budayanya. Di sisi lain, ia tidak sepenuhnya diterima sebagai bagian dari dunia kolonial. Ia terombang-ambing di tengah, tanpa identitas yang jelas.

Itulah keruntuhan yang paling menyakitkan: keruntuhan menjadi diri sendiri.

Dinamika yang Mandek

Bangsa yang sehat adalah bangsa yang dinamis. Ia bergerak, ia berdebat, ia berubah, ia beradaptasi. Dinamika sosial membuat sebuah bangsa hidup. Tetapi di bawah penjajahan, dinamika itu mandek.

Kenapa? Karena setiap gerak menuju perubahan ditindas. Perlawanan di Aceh berlangsung puluhan tahun, tetapi selalu dipatahkan dengan kekerasan. Pemberontakan di Jawa, Bali, Kalimantan, Maluku, semuanya dibungkam. Setiap kali ada dinamika, ia segera dihentikan.

Bangsa ini akhirnya terbiasa diam. Terbiasa menunduk. Terbiasa menerima. Terbiasa takut.

Inilah yang disebut sebagai keruntuhan dinamika. Sebuah bangsa yang mestinya bergerak, justru dibuat membeku. Tidak lagi berani melompat, bahkan tidak lagi berani melangkah. Yang tersisa hanyalah kebiasaan bertahan hidup, tanpa keberanian untuk bermimpi lebih.

Mentalitas yang Tersisa

Luka itu tidak berhenti ketika Proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan memang mengembalikan tubuh bangsa, tetapi jiwa bangsa masih membawa trauma panjang.

Takut pada penguasa.   Meski berganti wajah, rasa takut itu masih ada. Rakyat terbiasa melihat penguasa sebagai sosok yang tidak bisa disentuh, padahal seharusnya penguasa adalah pelayan rakyat.

Takut berbeda.   Trauma diadu domba membuat rakyat segan untuk berbeda pandangan. Padahal perbedaan adalah energi dinamika yang sehat.

Takut mencoba.   Selama berabad-abad diajarkan untuk diam, rakyat menjadi enggan mengambil risiko. Lebih aman bertahan, meski di bawah penindasan, daripada mencoba melawan.

Inilah warisan kolonial yang masih hidup hingga kini. Keruntuhan identitas dan dinamika itu tidak serta merta pulih hanya dengan kemerdekaan. Ia butuh waktu, butuh kesadaran, butuh keberanian baru.

Jalan Pulang ke Diri Sendiri

Bagaimana sebuah bangsa bisa pulih dari keruntuhan itu?

Pertama, dengan   mengingat  . Ingatan adalah senjata melawan lupa. Sejarah penjajahan tidak boleh dikecilkan, apalagi dihapus. Ketika ada yang berkata, “Indonesia hanya dijajah 35 tahun,” sesungguhnya itu bukan sekadar kesalahan hitung, tetapi sebuah upaya untuk mengaburkan luka panjang. Ingatan yang kabur hanya akan membuat kita mengulang penderitaan.

Kedua, dengan   menemukan kembali bahasa keberanian . Bahasa ini bukan sekadar susunan kata, tetapi keberanian untuk bersuara, melawan ketidakadilan, menyebut yang salah sebagai salah, menyebut yang benar sebagai benar. Bahasa yang jernih akan melahirkan pikiran yang jernih, dan pikiran yang jernih akan melahirkan keberanian.

Ketiga, dengan   merawat dinamika sosial  . Bangsa ini harus berani berdebat, berani berbeda, berani bergerak. Dinamika adalah tanda sebuah bangsa hidup. Tanpa dinamika, bangsa akan membeku, dan pembekuan itu adalah awal dari keruntuhan baru.

Keberanian yang Hilang, Keberanian yang Harus Dicari

Keruntuhan identitas dan dinamika pada akhirnya bermuara pada satu kata:  keberanian. Penjajahan selama berabad-abad membuat bangsa ini kehilangan keberanian. Dan tugas kita hari ini adalah mencarinya kembali.

Keberanian untuk percaya pada diri sendiri.

Keberanian untuk melawan ketidakadilan.

Keberanian untuk bangga pada bahasa dan budaya sendiri.

Keberanian untuk menatap penguasa tanpa takut, karena penguasa sejati hanyalah pelayan rakyat.

Tanpa keberanian, bangsa ini hanya akan menjadi bayangan dari dirinya sendiri. Tetapi dengan keberanian, bangsa ini bisa berdiri tegak kembali, menatap dunia dengan kepala tegak, bukan dengan wajah menunduk.

Penutup: Menolak Keruntuhan Baru

Sejarah telah memberi kita pelajaran pahit: berabad-abad keruntuhan identitas dan dinamika. Tetapi sejarah juga memberi kita harapan: bangsa ini bisa bangkit, bisa merdeka, bisa menemukan dirinya kembali.

Maka tugas kita sekarang adalah menolak keruntuhan baru. Jangan biarkan bangsa ini kembali kehilangan identitasnya karena lupa sejarah. Jangan biarkan bangsa ini kembali mandek karena takut berbeda. Jangan biarkan bangsa ini kembali diam karena kehilangan keberanian.

Bangsa ini harus hidup dengan dinamika yang sehat, dengan identitas yang jelas, dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Itulah cara kita menyembuhkan luka panjang penjajahan. Itulah cara kita menjadi bangsa yang benar-benar merdeka.

Karena pada akhirnya, kemerdekaan bukan hanya soal bendera yang berkibar, tetapi soal jiwa yang bebas. Jiwa yang berani. Jiwa yang tahu siapa dirinya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Dukung Kami merawat "Bahasa dan Budaya Madura" di lalampan.com.

Dukung karya kami dengan traktir Sacangker Kopi/Jindhul. Setelah dukungan, Paduka Yang Mulia bisa membaca dan juga berpartisipasi ikut merawat & melestarikan bahasa & budaya Madura.

Trakteer Kopi Sacangker

Formulir Kontak