DENGANMU ATAU TIDAK DENGAN SIAPAPUN
Kini tubuhku gemetar. Air mataku kian
menyungai. Aku sungguh tidak mengerti, bagaimana mereka bisa memperlakukanku
seperti ini. Aku seperti bukan anaknya juga. Aku seperti bukan saudaranya juga.
Kata per kata yang keluar dari mereka menghujam ke dalam relung hatiku, seperti
kemudian menusuk-nusuknya. Aku sekarat sejak beranjak dari ruang tamu itu. Ini
neraka.
Kamu tentu juga tahu. Satu-satunya kebahagiaan
seorang anak adalah diberikan kebebasan memilih pasangan hidup dan jalan
hidupnya sendiri. Lalu, keluarganya memberikan dukungan penuh. Kedua orang tua
dan saudara-saudaranya tidak berdiri menjadi penghambat, apalagi penentang
seperti yang terjadi pada diriku ini. Mereka tak peduli, sebenarnya apa yang
mereka lakukan sudah merenggut jiwaku. Aku sudah mati sebelum nyawa benar-benar
dicabut dari tubuhku.
Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Mereka
memanggilku Azura. Kami tinggal di rumah yang sama. Keluarga kami dikenal
dengan keluarga cemara. Tapi, sejak itu berbeda, keluarga kami tidak baik-baik
saja. Dan, saat itulah kisahku dimulai.
Maos jugan
- Sobung Banne Tadha’
- Oca' se aguna'agi akantha tor parsasat
- Paparegan Madura
- Carpan: Pelak
- Carpan: Durahem Ajuwala Tokona
Aku sudah punya tunangan bernama Devano. Dia
lelaki pilihanku. Aku tulus mencintainya, kendatipun pertunangan kami berjalan
tidak baik-baik saja. Nasibku berbeda dengan saudara-saudaraku. Aku selalu
dibeda-bedakan, bahkan kami berdua direndahkan oleh keluargaku sendiri. Meski
begitu, kami berdua memaksa untuk tetap bersama. Kami berjanji untuk terus
bersama dan saling mencintai.
Hari itu, sore hari, anggota keluargaku
berkumpul di ruang tamu. Bila begini, tentu ada hal penting yang akan
disampaikan atau dibahas. Aku sendiri menghindar untuk bergabung dengan mereka.
Aku memilih berteman sunyi di dalam kamar yang mulai kelabu.
Tapi aku juga yakin, tak lama lagi aku
akan segera dipanggil. Benar saja, pintu kamarku sudah ada yang mengetuk. Itu
pertanda bahwa aku harus segera bergabung dengan mereka di ruang tamu.
“Azura, keluar! Ayah mau bicara sama kamu,”
panggil saudaraku yang tertua.
“Iya, sebentar,” jawabku dari dalam kamar,
kemudian segera aku beranjak pergi ke luar kamar menuju ruang tamu.
Di ruang tamu itu, anggota keluargaku
sudah berkumpul. Aku merasa ada yang tidak beres. Aku seperti akan dihakimi.
Entahlah. Sebelum aku duduk, ayah sudah memintaku duduk di dekatnya.
“Sini, Azura. Duduk dekat Ayah,” pinta
ayah sembari menepuk-nepuk kursi di dekatnya.
Aku pun langsung duduk sesuai permintaan
ayah. Saat itu perasaanku sudah tak enak. Mereka bertanya tentang hubungan aku
dengan tunanganku.
“Gimana kabar tunanganmu yang jelek itu?
Kapan dia akan menikahimu? Lihatlah saudaramu dan iparmu, ganteng dan mapan
lagi. Kamu kapan?” tanya ibu nyerocos begitu saja tanpa jeda.
“Azura, kamu masih mau nunggu lelaki itu?
Buat apa? Lelaki di luar sana banyak yang ganteng dan kaya, buat apa nunggu dia?”
ucap saudara perempuanku yang kedua.
Napasku mulai tidak teratur. Aku sangat
ingin memuntahkan amarah ini, tetapi aku segera menahan diriku. Aku memilih
diam tanpa melawan. Aku masih ingat ayah. Kalau aku melawan, penyakit ayah
mungkin akan kambuh lagi.
“Apa sih yang dipandang dari dia? Kalau
orangnya ganteng dan kaya, masih mending. Tapi dia jelek, tidak punya handphone
iya, penyakitan lagi,” kata ibuku semakin menjadi-jadi.
Napas dan emosiku makin menggebu tak
beraturan. Pikiranku juga sudah mulai mendidih. Aku tak tahan. Aku melawannya. Aku
tidak terima, lelaki yang selama ini menemaniku dicaci maki.
“Sudah, Bu. Sudah. Aku muak mendengar
cacianmu dari tadi. Aku muak dibandingkan oleh kakak-kakakku. Aku cape, Bu. Aku
juga punya hati. Aku sudah dewasa. Ini pilihanku,” ucapku dengan keras.
“Oh, kamu ngelawan ya sekarang sama orang
tua. Kamu enggak mikir apa, yang besarin kamu itu Ibu, yang ngerawat dan kasih
makan kamu itu Ibu. Kurang ajar. Cuma gara-gara lelaki miskin itu ya?” ucap
ibuku sambil menjambak rambutku dan menamparku.
“Eh, kamu berani sama ibumu? Mau jadi apa
kamu, Nak? Dasar anak kurang ajar enggak tahu cara berterimah kasih sama orang
tua. Akan aku batalkan pertunangan ini secepatnya,” ucap ayahku keras.
“Iya, sebaiknya batalkan saja pertunangan
dengan lelaki itu. Lelaki enggak guna gitu. Kalau kamu tetap memilih dia, kamu
pergi dari rumah ini,” ucap ibuku.
Maos jugan
- Peribahasa Madura, Sanja' Kona
- Konsonan Alos & Dhammang
- Nyamana Pesse e Bahasa Madura
- Dhara Campor Mardha, Puisi Madura: Arach Djamali
- Cangka Asela
“Kalian boleh menamparku sekeras mungkin. Kalian
boleh mencaciku dan merendahkanku, bahkan kalian boleh membunuhku, tapi jangan
sesekali kalian merendahkan tunanganku,” ucapku sembari menangis. Aku sudah tak
punya pilihan lagi.
Aku pun segera pergi meninggalkan ruang
tamu dengan air mata. Aku masuk ke kamar, lalu mengunci pintu. Aku menatap ke
arah tembok kamar. Di sana terpajang fotoku dan tunanganku. Aku segera
mengambil dan mendekapnya.
“Kau lelakiku. Jika di dunia ini aku tak
bisa denganmu maka di surga nanti aku akan bersamamu.”
Sejak itu, aku sudah tidak peduli lagi,
seperti apa hidupku ke depan akan berjalan. Aku hanya ingin menjalani semuanya
bersama dengan tunanganku, tidak dengan dengan yang lain.
Putri Atiya Maulidah biasa dipanggil Putri. Lahir pada 24 Februari 2010 di Sumenep. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan di SMP Nurul Jadid Batangbatang. Hobi menyanyi dan travelling.