Masa Kecil 90-an dan Real Food dari Tanah Madura

real food madura, read food, identitas madura, kalcer
anak-anak menikmati real food


Masa Kecil 90-an dan Real Food dari Tanah Madura

ESAI|| Lalampan.com|| 1447|| Di Madura tahun 1990-an, ada satu kebiasaan yang hampir dimiliki oleh setiap anak sekolah dasar: pulang belajar, meletakkan tas, lalu hilang berlarian menuju kebun, semak, atau tegalan di belakang kampung. Tidak ada gawai, tidak ada “scrolling”, tidak ada minuman manis pabrikan yang membanjiri kantong plastik. Yang ada hanya pohon-pohon liar, tanah merah yang hangat, dan buah-buahan lokal yang menjadi “snack sore” generasi itu.

Duwet yang ungu kehitaman, srikaya yang manis dan harum di daratan tinggi, sirsak hutan, apel lokal yang kecil tapi renyah, mangganya yang berserat tebal—semua itu tumbuh begitu saja, tanpa pupuk kimia atau rekayasa pasar. Anak-anak 90-an merasakan sesuatu yang sekarang terdengar mewah: real food yang gratis, melimpah, sekaligus membentuk karakter tubuh dan kreativitas mereka.

Bagi banyak anak Madura waktu itu, pulang sekolah berarti mendengar panggilan alam. Begitu sepatu dilepaskan, baju disampirkan begitu saja, anak-anak langsung menuju kebun di belakang rumah atau menyelinap ke jalan tanah menuju ladang tetangga. Di sanalah dunia kecil mereka terbuka.

Musim duwet selalu menjadi yang paling dirindukan. Pohonnya tinggi, sedikit menyeramkan, tetapi misterius dan memesona. Banyak anak yang hanya berani memungut duwet yang jatuh, sementara yang lebih pemberani memanjat batangnya yang kasar dan kerap dipenuhi semut kecil. Duwet yang matang tidak pernah rapi seperti anggur supermarket. Warnanya kehitaman, lengket, kadang jatuh membekas di telapak tangan. Tapi rasa sepat-manisnya membuat anak-anak 90-an tersenyum lebar, seolah sedang menikmati makanan bintang lima.

Selain duwet, ada srikaya yang tumbuh di daerah tinggi, terutama di beberapa bukit kecil yang menjadi batas kampung. Anak-anak harus berjalan jauh untuk menemukannya, sering kali melewati pematang sawah dan garis bebatuan. Srikaya lokal ini tidak besar, namun aromanya begitu menyengat sehingga bisa tercium dari beberapa langkah. Saat matang, kulitnya merekah sedikit, menandakan isinya siap disantap. Anak-anak biasanya makan sambil duduk di atas batu besar atau rerumputan, dan bijinya ditebar sembarangan—ironisnya, cara sederhana inilah yang membuat pohon-pohon itu terus bertumbuh di masa itu.

Di beberapa tempat, ada pula apel lokal—bukan apel Malang, bukan apel impor—melainkan apel hutan yang kecil, hijau, dan sedikit asam. Rasanya memang tidak semewah buah pasar, tapi bagi anak-anak 90-an, memetik apel yang masih basah oleh embun adalah pengalaman yang tidak bisa dibeli. Bahkan jika hanya dua atau tiga buah yang berhasil didapat, itu sudah cukup untuk membuat sore terasa lengkap.

Buah lainnya datang mengikuti musim. Ada siwalan muda, ada delima kampung, ada nangka kecil yang tumbuh di pinggir hutan kecil. Setiap anak hafal musimnya, hafal siapa pemilik pohonnya, hafal jalan tikus menuju lokasi terbaik. Ingatan kuliner itu bukan dari buku atau internet, melainkan dari tubuh yang berjalan, memanjat, dan mencicipi.

Anak-anak 90-an tidak pernah menyebut apa yang mereka makan sebagai “real food”. Istilah itu baru muncul bertahun-tahun kemudian ketika gelombang makanan cepat saji membanjiri pasar. Tetapi jika ada generasi yang benar-benar memakan makanan asli dari tanah, maka generasi itulah.

Buah-buahan yang mereka makan tidak berbungkus plastik. Tidak dipoles lilin. Tidak disuntik agar tahan lama. Tidak dicuci dengan larutan khusus. Bahkan sering kali masih ada bekas gigitan serangga kecil di permukaannya—yang pada masa itu dianggap sebagai tanda bahwa buah itu benar-benar alami.

Gizi mereka datang dari sumber yang tidak disadari: dari berlari mengikuti musim, dari metabolisme yang berinteraksi dengan tanah dan sinar matahari, dari memakan buah kaya vitamin langsung dari pohonnya. Tanpa sadar mereka memenuhi kebutuhan vitamin C, serat, mineral, dan antioksidan setiap hari, tanpa harus menghafal tabel gizi.

Tubuh anak-anak 90-an bergerak tanpa henti. Pagi sekolah, siang memetik buah, sore bermain bola atau ke sungai. Tubuh mereka menjadi lentur, kuat, dan menyimpan energi yang tampaknya tidak pernah habis. Bahkan jika makan hanya singkong rebus atau nasi jagung, tambahan buah liar itu melengkapi kebutuhan nutrisi mereka.

Dan yang lebih penting: mereka ceria.

Banyak yang tidak menyadari bahwa konsumsi buah secara rutin berpengaruh pada mood dan perkembangan otak. Tidak heran anak-anak generasi itu penuh ide. Mereka bisa menciptakan permainan baru hanya dari pelepah pisang atau batu kali. Imaginasi mereka meledak-ledak, karena otak mereka bergerak bersama alam.

Namun, seperti banyak hal lain di Madura, ingatan ini kini seperti tinggal di pinggir waktu. Pohon-pohon duwet ditebang untuk jalan raya. Tanah tempat srikaya tumbuh dijual untuk pembangunan rumah. Apel lokal semakin jarang terlihat. Buah-buah yang dulu gratis kini digantikan minuman berpemanis dan snack plastik yang mudah dibeli di warung.

Apa yang dulu disebut makanan harian, kini berubah menjadi memori budaya.

Generasi sekarang tumbuh tanpa mengenal musim buah kampung. Mereka tidak lagi tahu kapan duwet matang. Tidak lagi bisa membedakan aroma srikaya yang hampir merekah. Tidak tahu bagaimana rupa apel lokal yang kecil dan asam tetapi segar. Bahkan mungkin tidak pernah memanjat pohon atau bermain di ladang ketika sore.

Perubahan ini tidak sekadar perubahan pangan; ini perubahan ekologi ingatan masa kanak-kanak. Ketika pohon ditebang, sebenarnya yang hilang bukan hanya sumber buah—tetapi ruang imajinasi tempat generasi sebelumnya tumbuh.

Namun kisah ini bukan untuk meratapi masa lalu. Justru ia mengingatkan: setiap makanan lokal adalah pintu menuju budaya dan kesehatan. Generasi 90-an membuktikan bahwa real food adalah bagian penting dari tumbuh kembang anak—dan itu pernah menjadi kekuatan Madura.

Jika buah-buah lokal itu bisa kembali ditanam, dirawat, dan diperkenalkan lagi, kita tidak hanya menghidupkan pohonnya, tetapi juga menghidupkan ulang kreativitas dan vitalitas anak-anak Madura masa depan.

Karena buah-buah itu bukan sekadar makanan. Mereka adalah masa kecil yang jujur, kesehatan yang alami, dan identitas yang pernah tumbuh subur di setiap sudut kampung.

Dan barangkali, di suatu tempat di Madura, masih berdiri satu pohon duwet tua yang menunggu anak-anak berlarian pulang sekolah—seperti dulu. Serta masih banyak buah-buahan yang tidak saya sebutkan. Sangat banyak sekali!!!


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak