Indonesia di Persimpangan, Antara Riuh Perayaan dan Riak Keresahan





Refleksi 80 Tahun Indonesia Merdeka 

(17 Agustus 2025)

"ES-AI"

Di tengah hiruk-pikuk persiapan menyambut Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, negeri ini justru diguncang oleh tanda-tanda keresahan yang sulit diabaikan. Sejak awal Agustus, berita-berita yang berseliweran di media justru lebih banyak berisi tentang kebingungan, kontroversi, dan pergulatan yang seakan menantang arti kemerdekaan itu sendiri. Antara bendera-bendera simbol perlawanan, janji-janji kenegaraan, dan suara rakyat di jalanan, Indonesia tampak seperti sedang berdiri di persimpangan jalan.

Bendera Bajak Laut di Tengah Kemerdekaan

Beberapa minggu terakhir, di jalanan muncul simbol yang tak biasa: bendera bajak laut ala One Piece yang dikibarkan oleh sebagian warga. Fenomena ini bukan sekadar lelucon atau fandom budaya populer, melainkan bentuk kekecewaan simbolik terhadap keadaan bangsa. Mereka seakan ingin berkata: kapal besar bernama Indonesia ini sedang dikuasai para bajak laut, yang sibuk memperkaya diri ketimbang menjaga arah layar menuju cita-cita kemerdekaan. Simbol itu menjadi viral, menjadi perbincangan publik, dan menggelitik kesadaran kita bahwa rakyat kerap lebih cepat menemukan bahasa perlawanan daripada elit politik menemukan jalan solusi.

Maos jugan

Janji Tegas dari Senayan

Di Senayan, Presiden Prabowo Subianto berdiri tegap dalam pidato kenegaraan. Ia berjanji untuk memberantas korupsi, memperkuat pertahanan, dan memastikan Indonesia berdikari dalam urusan pangan serta energi. Kata-kata itu bergema, penuh tenaga, dan disambut dengan tepuk tangan panjang. Namun di balik janji, publik masih menyimpan ingatan panjang tentang bagaimana janji serupa sering kali menguap begitu saja. Pidato itu terasa seperti suluk di tengah kegelapan: penuh harapan, tapi juga penuh pertanyaan. Apakah kali ini janji akan ditepati, atau hanya akan jadi satu lagi catatan di arsip sejarah pidato kenegaraan?

Rakyat yang Gelisah

Tak jauh dari panggung kenegaraan, suara rakyat justru bergema di jalanan. Di Pati, Jawa Tengah, ribuan orang tumpah ruah menolak kenaikan pajak properti yang dianggap mencekik kehidupan mereka. Mereka turun dengan wajah muram, suara serak, dan langkah yang meyakinkan. Kenaikan pajak yang seakan jauh dari rasa keadilan membuat rakyat bertanya-tanya: kemerdekaan macam apa yang kita rayakan jika keseharian justru semakin memberatkan? Demonstrasi itu menjadi cermin bahwa politik anggaran bukan sekadar angka-angka di meja birokrat, tapi denyut nyata di dada rakyat yang berjuang untuk sekadar hidup layak.

Ironi Kemajuan dan Luka Lama

Indonesia juga sibuk menatap masa depan. Rencana pembentukan dana kedaulatan kecerdasan buatan menjadi berita besar. Seolah negeri ini bersiap mengejar zaman, ingin duduk sejajar dengan negara-negara maju dalam perlombaan teknologi. Namun di saat yang sama, luka lama belum juga sembuh. Isu pelanggaran HAM di Papua, sengketa agraria yang tak kunjung selesai, serta kekerasan yang masih dialami sebagian kelompok masyarakat, terus menghantui perjalanan bangsa. Seakan kita membangun gedung pencakar langit di atas fondasi tanah yang retak. Ada optimisme, tapi juga kegamangan yang menyesakkan dada.

“Apakah bangsa ini sungguh merdeka dari ketakutan, dari kerakusan, dari penindasan yang lahir di tanahnya sendiri?”

Pertanyaan itu seakan bergema di hati banyak orang menjelang perayaan 17 Agustus. Sebab di balik merah putih yang dikibarkan, ada rasa yang tak bisa ditutup-tutupi: kegelisahan tentang arah bangsa ini.

Perayaan di Tengah Kontradiksi

Di berbagai kota, panitia 17-an tetap sibuk memasang umbul-umbul, mempersiapkan lomba panjat pinang, hingga mengecat ulang gapura kampung. Tawa anak-anak yang berlatih tarik tambang masih terdengar, musik dangdut untuk persiapan panggung hiburan masih bergema. Namun di sisi lain, orang tua mereka duduk termenung memikirkan cicilan rumah, pajak yang naik, atau harga beras yang tak kunjung turun. Inilah wajah Indonesia: selalu meriah di permukaan, tapi menyimpan kontradiksi yang dalam di hati rakyatnya.

Maos jugan

Refleksi di Tengah Perayaan

Ketika kembang api kemerdekaan menghiasi langit malam, mungkin ada banyak orang yang menengadah sambil berdoa dalam hati. Bahwa negeri ini kelak benar-benar bisa berdiri di atas kaki sendiri. Bahwa janji-janji besar tak hanya jadi orasi, tapi menjelma kebijakan yang adil. Bahwa bendera merah putih tidak hanya berkibar di tiang bambu, tetapi juga di hati rakyat yang merasa terlindungi. Dan mungkin doa yang paling sederhana adalah: semoga Indonesia benar-benar merdeka, tidak hanya dari penjajahan bangsa lain, tapi juga dari segala bentuk penindasan yang lahir dari dalam dirinya sendiri.

Di usia yang ke-80, Indonesia layak untuk berhenti sejenak, bercermin, dan bertanya: sudah sejauh mana cita-cita kemerdekaan itu diwujudkan? Sebab pada akhirnya, sejarah tak hanya dicatat lewat upacara megah, melainkan juga lewat bisik gelisah rakyat kecil yang menunggu jawaban.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak