Hina
Ada martabat yang hilang dari manusia ketika ia mulai
memfitnah.
Seakan lidahnya turun derajat lebih cepat daripada akalnya.
Fitnah itu aneh: ia lahir dari ketidaktahuan, tapi diucapkan
dengan keberanian yang berlebihan. Seperti orang berjalan di kegelapan sambil
meyakinkan diri bahwa ia sedang melihat terang.
Dalam hidup, ada banyak hal yang boleh tidak kita mengerti.
Ada banyak perkara yang tidak harus ikut kita komentari. Namun fitnah—apa pun
bentuknya, sekecil apa pun kalimatnya—selalu menjadi cermin yang memantulkan
siapa diri kita sebenarnya. Bukan siapa yang sedang kita bicarakan.
Yang memfitnah bukan sekadar melukai orang lain. Ia sedang
mengikis kehormatannya sendiri, seolah martabat itu bisa dipertaruhkan demi
satu kenikmatan kecil: rasa puas telah menjatuhkan seseorang tanpa perlu
berpikir panjang.
Padahal manusia bisa salah. Bisa menilai keliru. Bisa memahami
tanpa utuh. Tapi ketika ia memilih memfitnah, itu bukan lagi tentang kesalahan,
melainkan tentang kehinaan yang ia pelihara sendiri.
Siapa pun kita—setinggi apa jabatan, serapi apa penampilan,
sebanyak apa pengikut di media sosial— tetap hina bila senang
memfitnah. Sebab kehormatan bukan ditentukan oleh posisi, melainkan oleh cara
kita menjaga kebenaran dari mulut kita sendiri.
Dan kadang, cara paling sederhana menjaga harga diri adalah
dengan menahan satu kalimat yang seharusnya tidak diucapkan.
- MENU LALAMPAN.COM
- Download Kamus Bahasa Madura
- Oca’ Pangalemma Anggota Badan
- Kamus Bahasa Madura Ejaan Baku (1973)
HARI GURU NASIONAL
Jangan pernah menanyakan hal yang jawabannya sudah jelas.
Kalau di sebuah ruangan tertulis besar-besar: “Dilarang
merokok di sini.” Lalu ada yang bertanya, “Kalau merokok di sana bagaimana?”
Itu bukan cerdas, bukan kritis, bukan argumentatif. Itu hanya kebingungan yang
dibungkus gaya sok logis. Atau, lebih jujurnya: kebodohan komunikasi.
Ada orang yang ketika melihat aturan, tidak membaca maksudnya.
Ia sibuk mencari celah, bukan memahami pesan. Sibuk membantah, bukan mengerti.
Padahal aturan itu dibuat untuk memudahkan, bukan untuk dipelintir.
Pertanyaan yang salah bukan karena tidak ada jawabannya, tapi
karena sebenarnya tidak perlu ditanyakan.
Kalau dilarang di sini, maka otomatis jawabannya: pindahlah ke
tempat yang memang boleh.
Tidak perlu pura-pura tidak paham. Tidak perlu tampil dengan
logika yang sebenarnya tidak logis.
Dalam hidup ini, banyak masalah bukan muncul dari kurangnya
ilmu, tapi dari cara kita bertanya.
Dan benar kata guru-guru: argumen yang baik lahir dari niat
yang baik. Argumen yang buruk lahir dari hati yang ingin membantah, bukan ingin
mengerti.
SELAMAT HARI GURU
- Puisi Madura:Cangka Asela
- Esai:Sakola’an Tombu Nyenna
- Pidato: Membiasakan Berbahasa Madura di Rumah
- Carpan: Andharun || Helmy Khan
Saya pernah membaca komentar seorang netizen yang serius
sekali:
“Penceramah itu harus bersertifikat, biar ceramahnya teruji
ilmunya.”
Betul, tentu saja. Kita sangat ingin semua yang bicara itu
benar. Bahkan kalau bisa, setiap kalimat yang keluar dari mikrofon harus
terjamin mutunya, seperti produk makanan yang ada label BPOM-nya.
Tapi lucunya, di saat yang sama, tidak ada satu pun yang
memeriksakan pencernaan netizen yang menerima ceramah itu. Padahal pencernaan
opini jauh lebih sering keracunan daripada pencernaan makanan.
Dan kalau mau konsisten, seharusnya bukan hanya penceramah
yang harus bersertifikat. Netizen yang komentar pun mestinya wajib ikut ujian
nasional. Minimal tes logika dasar sebelum diizinkan menulis status. Agar tidak
sembarang menuduh, tidak mudah tersinggung, dan tidak buru-buru merasa paling
benar.
Sebab kadang yang salah bukan ceramahnya, tapi telinga
pendengarnya. Kadang yang rusak bukan isi khotbahnya, tapi pikiran pembacanya.
Bayangkan kalau setiap status harus melewati proses
sertifikasi:
cek fakta, cek akhlak, cek niat, cek emosi. Mungkin timeline
akan jauh lebih sepi, tapi hati kita akan jauh lebih damai.
Tapi ya begitulah netizen. Mereka ingin semua orang diuji…
kecuali dirinya sendiri.
Dan di situlah persoalan itu sebenarnya bermula.
