Tausiyah Kontemporer Rowi El-Hamzi




Hina

Ada martabat yang hilang dari manusia ketika ia mulai memfitnah.

Seakan lidahnya turun derajat lebih cepat daripada akalnya.

Fitnah itu aneh: ia lahir dari ketidaktahuan, tapi diucapkan dengan keberanian yang berlebihan. Seperti orang berjalan di kegelapan sambil meyakinkan diri bahwa ia sedang melihat terang.

Dalam hidup, ada banyak hal yang boleh tidak kita mengerti. Ada banyak perkara yang tidak harus ikut kita komentari. Namun fitnah—apa pun bentuknya, sekecil apa pun kalimatnya—selalu menjadi cermin yang memantulkan siapa diri kita sebenarnya. Bukan siapa yang sedang kita bicarakan.

Yang memfitnah bukan sekadar melukai orang lain. Ia sedang mengikis kehormatannya sendiri, seolah martabat itu bisa dipertaruhkan demi satu kenikmatan kecil: rasa puas telah menjatuhkan seseorang tanpa perlu berpikir panjang.

Padahal manusia bisa salah. Bisa menilai keliru. Bisa memahami tanpa utuh. Tapi ketika ia memilih memfitnah, itu bukan lagi tentang kesalahan, melainkan tentang kehinaan yang ia pelihara sendiri.

Siapa pun kita—setinggi apa jabatan, serapi apa penampilan,

sebanyak apa pengikut di media sosial— tetap hina bila senang memfitnah. Sebab kehormatan bukan ditentukan oleh posisi, melainkan oleh cara kita menjaga kebenaran dari mulut kita sendiri.

Dan kadang, cara paling sederhana menjaga harga diri adalah dengan menahan satu kalimat yang seharusnya tidak diucapkan.

 

***

Maos Jugan

 

HARI GURU NASIONAL

Jangan pernah menanyakan hal yang jawabannya sudah jelas.

Kalau di sebuah ruangan tertulis besar-besar: “Dilarang merokok di sini.” Lalu ada yang bertanya, “Kalau merokok di sana bagaimana?” Itu bukan cerdas, bukan kritis, bukan argumentatif. Itu hanya kebingungan yang dibungkus gaya sok logis. Atau, lebih jujurnya: kebodohan komunikasi.

Ada orang yang ketika melihat aturan, tidak membaca maksudnya. Ia sibuk mencari celah, bukan memahami pesan. Sibuk membantah, bukan mengerti. Padahal aturan itu dibuat untuk memudahkan, bukan untuk dipelintir.

Pertanyaan yang salah bukan karena tidak ada jawabannya, tapi karena sebenarnya tidak perlu ditanyakan.

Kalau dilarang di sini, maka otomatis jawabannya: pindahlah ke tempat yang memang boleh.

Tidak perlu pura-pura tidak paham. Tidak perlu tampil dengan logika yang sebenarnya tidak logis.

Dalam hidup ini, banyak masalah bukan muncul dari kurangnya ilmu, tapi dari cara kita bertanya.

Dan benar kata guru-guru: argumen yang baik lahir dari niat yang baik. Argumen yang buruk lahir dari hati yang ingin membantah, bukan ingin mengerti.

 

SELAMAT HARI GURU


***

Maos Jugan

*** 

Saya pernah membaca komentar seorang netizen yang serius sekali:

“Penceramah itu harus bersertifikat, biar ceramahnya teruji ilmunya.”

Betul, tentu saja. Kita sangat ingin semua yang bicara itu benar. Bahkan kalau bisa, setiap kalimat yang keluar dari mikrofon harus terjamin mutunya, seperti produk makanan yang ada label BPOM-nya.

Tapi lucunya, di saat yang sama, tidak ada satu pun yang memeriksakan pencernaan netizen yang menerima ceramah itu. Padahal pencernaan opini jauh lebih sering keracunan daripada pencernaan makanan.

Dan kalau mau konsisten, seharusnya bukan hanya penceramah yang harus bersertifikat. Netizen yang komentar pun mestinya wajib ikut ujian nasional. Minimal tes logika dasar sebelum diizinkan menulis status. Agar tidak sembarang menuduh, tidak mudah tersinggung, dan tidak buru-buru merasa paling benar.

Sebab kadang yang salah bukan ceramahnya, tapi telinga pendengarnya. Kadang yang rusak bukan isi khotbahnya, tapi pikiran pembacanya.

Bayangkan kalau setiap status harus melewati proses sertifikasi:

cek fakta, cek akhlak, cek niat, cek emosi. Mungkin timeline akan jauh lebih sepi, tapi hati kita akan jauh lebih damai.

Tapi ya begitulah netizen. Mereka ingin semua orang diuji… kecuali dirinya sendiri.

Dan di situlah persoalan itu sebenarnya bermula.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak