Lalampan.com—1447. Esai: Belajar Membangun Konflik Sederhana || Redaksi Lalampan.com
Angin pagi masih membawa butir-butir garam ketika Rafi
menemukan sepatunya yang terkubur setengah di pasir. Ia ingat janji ayah:
“Bawakanlah ikan, Nak. Sekolah menunggumu.” Tapi di telapak tangannya kini
hanya tersisa sekotak dosa kecil — dompet ayah yang sobek, berisi beberapa
lembar uang lusuh. Ia tahu, dengan uang itu seharusnya bisa membeli umpan untuk
melaut, bukan membayar sepatu sekolah yang talinya sudah putus. Di depan Rafi,
laut tampak diam, seolah sedang menimbang nasibnya juga.
Di sinilah konflik bermula — bukan dari peperangan besar,
bukan pula dari bentrokan dua kekuatan besar. Konflik sederhana lahir dari hal
kecil: sebuah keinginan yang terhalang sesuatu. Dalam kasus Rafi, keinginannya
sederhana: ingin sekolah tanpa membuat ayah kecewa. Tapi laut, kemiskinan, dan
waktu membuat tujuannya tak mudah tercapai.
Tenet 1 – Tujuan dan Hambatan:
Setiap konflik, betapapun kecilnya, berakar pada satu tokoh dengan satu tujuan
yang jelas, lalu dihalangi oleh satu rintangan yang kuat. Tujuan tanpa hambatan
hanyalah keinginan, dan hambatan tanpa tujuan hanyalah kebisingan.
Rafi memandang laut yang mulai beriak. Angin bertiup semakin
kencang, menggulung rambutnya yang kusut. “Mungkin aku bisa menjual sesuatu di
pasar,” pikirnya. Tapi di rumah tak ada yang bisa dijual selain buku pelajaran
— dan buku itu satu-satunya harta yang membuatnya merasa setara dengan
teman-teman di sekolah. Di sinilah konflik menguat: bukan lagi tentang laut,
tapi tentang pilihan. Menjual buku berarti mengkhianati mimpinya sendiri. Tidak
menjual berarti ayah tak bisa membeli bahan bakar untuk melaut.
Maos jugan
- MENU LALAMPAN.COM
- Download Kamus Ini Sekarang
- Oca’ Pangalemma Anggota Badan
- Bakto Loppa se Abajanga || Fendi Chovi
Tenet 2 – Berikan Pilihan:
Konflik menjadi hidup ketika tokoh dihadapkan pada dua atau lebih pilihan
sulit. Pilihan inilah yang memperlihatkan siapa sebenarnya tokoh itu. Tanpa
pilihan, cerita hanya bergerak satu arah, seperti kapal tanpa kemudi.
Langit mendung menggantung seperti penantian. Rafi menggenggam
dompet ayahnya semakin erat. Ia berjalan ke pasar, berharap ada keajaiban. Tapi
pasar pagi itu sepi. Satu-satunya pedagang yang masih bertahan menatapnya iba,
namun tetap berkata, “Tidak bisa, Nak. Aku tak bisa meminjamkan uang lagi.”
Dalam cerita, momen seperti ini disebut titik tekanan pertama — saat tokoh
mulai menyadari bahwa dunia tidak berpihak padanya.
Tenet 3 – Eskalasi Bertahap:
Konflik tidak boleh statis. Tekanan harus meningkat secara wajar: kecil di
awal, lalu makin berat. Dua hingga tiga peningkatan cukup untuk cerita
sederhana. Dalam kisah Rafi, tekanan bertambah: dompet kosong, langit gelap,
dan harapan menipis.
Hujan turun pelan, lalu deras. Rafi berteduh di bawah atap
bambu bersama seorang kakek yang sedang memperbaiki jala sobek. Dari kakek itu,
ia belajar satu hal penting: setiap masalah memiliki simpul, dan setiap simpul
butuh kesabaran untuk diurai. Dalam menulis, adegan seperti ini menjadi ruang
jeda — tempat pembaca dan tokoh merenung. Dalam konflik sederhana, jeda
dibutuhkan agar emosi tidak meledak terlalu cepat.
Tenet 4 – Ritme Ketegangan:
Seperti ombak, konflik perlu pasang-surut. Setelah tekanan, beri ruang tenang
agar pembaca sempat bernapas, lalu naikkan lagi ketegangan. Ritme ini membuat
cerita alami dan manusiawi.
Ketika hujan berhenti, Rafi menatap laut yang memantulkan sisa
cahaya sore. Ia melihat sesuatu terapung di kejauhan — karung berisi ikan kecil
yang mungkin terlepas dari perahu nelayan lain. Ia berlari ke arah air, terjun
setengah basah. Ombak menggulung pergelangan kakinya, dingin seperti rasa
takut. Tapi di situlah ia membuat keputusan: mencoba meski peluang kecil.
Itulah inti konflik — keberanian untuk bertindak meski hasilnya belum pasti.
Maos jugan
- Puisi Madura:Cangka Asela
- Esai: Sakola’an Tombu Nyenna
- Pidato Bahasa Madura: BAJENG AJAR MANDAR DADDIYA ORENG SE POJUR
Tenet 5 – Tindakan Nyata:
Konflik bukan sekadar pikiran dan perasaan. Tokoh harus melakukan sesuatu
yang menunjukkan bagaimana ia menghadapi masalahnya. Tindakan kecil bisa
menjadi klimaks yang kuat jika diisi makna.
Rafi berhasil menarik karung itu. Di dalamnya hanya ada
beberapa ikan kecil, tapi cukup untuk makan malam. Ia tersenyum, bukan karena
berhasil, melainkan karena berani mencoba. Inilah resolusi sederhana yang
memuaskan: bukan kemenangan besar, tapi perubahan kecil yang bermakna. Ia
pulang, membawa ikan di tangan dan keyakinan baru di dada.
Tenet 6 – Resolusi yang Masuk Akal:
Akhiri cerita dengan konsekuensi logis dari tindakan tokoh. Jika ia berjuang,
beri hasil yang sepadan. Jika ia menyerah, beri rasa kehilangan yang pantas.
Pembaca lebih menghargai kejujuran daripada keajaiban tiba-tiba.
Cerita Rafi tampak kecil, tapi di situlah kekuatan konflik
sederhana: ia dekat, bisa terjadi di mana saja, dan mudah membuat pembaca
merasa “itu bisa jadi aku.” Konflik yang baik tidak perlu ledakan; cukup sebuah
keputusan yang lahir dari kebutuhan yang mendesak dan hati yang berani
mengambil risiko.
Tenet 7 – Jadikan Stakes Personal:
Taruhan tidak harus menyelamatkan dunia. Kadang hanya makan malam, kepercayaan
seorang ayah, atau keberanian untuk berkata jujur. Semakin personal, semakin
mengena.
Untuk menulis konflik sederhana, penulis cukup mengingat lima
langkah utama:
1. Ciptakan
tokoh dengan tujuan yang jelas.
2. Hadirkan
satu hambatan nyata.
3. Bangun
pilihan sulit.
4. Naikkan
ketegangan perlahan.
5. Akhiri
dengan keputusan yang memberi makna.
Langkah-langkah itu bisa diterapkan dalam cerita anak SD,
remaja SMP, atau bahkan cerita pendek dewasa. Intinya sama: manusia yang
berjuang mencapai sesuatu meski dihadang kesulitan. Konflik sederhana bukan
berarti dangkal — ia justru paling jujur.
Di tepi laut yang mulai tenang, Rafi menyalakan lampu kecil di
dermaga. Cahaya itu goyah diterpa angin, tapi tak padam. Begitulah konflik
sederhana: ia tidak perlu memecahkan langit, cukup menyalakan satu cahaya di
dalam hati pembaca.
Tenet 8 – Makna di Ujung Cerita:
Setelah konflik selesai, beri satu pantulan makna. Tidak perlu moral eksplisit;
cukup rasa hangat atau penyesalan yang tersisa. Pembaca tidak harus diberi
pelajaran, cukup diberi renungan.
Dan seperti laut yang tak pernah berhenti berombak, latihan
menulis pun tak pernah selesai. Penulis yang mahir membangun konflik sederhana
sedang belajar memahami manusia: bagaimana ia menginginkan sesuatu, bagaimana
ia gagal, dan bagaimana ia bangkit kembali.
Maka, saat Anda menulis cerita berikutnya — entah tentang anak
yang kehilangan dompet, gadis yang takut tampil di panggung, atau petani yang
menunggu hujan — ingatlah bahwa setiap detik penantian itu adalah konflik.
Tulis dengan jujur, dengan mata yang memperhatikan hal kecil, dan hati yang
tahu bahwa kehidupan sehari-hari pun bisa setegang badai di laut.
Karena sejatinya, konflik sederhana bukan sekadar tentang pertentangan, tetapi tentang keberanian memilih, kehilangan, dan menemukan arti di antara keduanya. Seperti Rafi yang akhirnya tahu: laut memang bisa menelan apa saja, tetapi juga bisa memantulkan cahaya dari langit — selama seseorang berani menatapnya dengan mata terbuka.
