Tentang Harta yang Mengalir
Harta yang benar-benar kita miliki, barangkali bukan yang kita
simpan di lemari besi, bukan pula yang kita pamerkan dalam angka rekening. Ia
justru yang kita lepaskan. Yang kita sedekahkan.
Sebab apa yang kita genggam, sejatinya sedang menunggu waktu
untuk lepas. Entah dicuri, entah dibagi, entah ditinggal mati. Tapi yang kita
berikan — diam-diam ia menetap. Tidak di dunia, tapi di catatan langit.
Kita sering takut miskin karena memberi. Padahal, justru di
situlah kekayaan disembunyikan. Sedekah bukan kehilangan, tapi semacam
transaksi rahasia: kita menyerahkan yang fana untuk membeli yang abadi.
Kelak, di saat semua yang kita simpan di dunia tak bisa ikut,
hanya yang kita sedekahkan yang akan datang menjemput.
Dan mungkin di sana, kita akan tersenyum, karena bekal kita
cukup. Āmīn
***
Belajar Membuat Perempuan Tenang
Nak, anak laki-laki itu, jangan apa-apa kau ceritakan pada
ibumu. Bukan karena rahasia, tapi karena cinta. Agar kegagalanmu tidak
membuatnya bersedih. Agar kelemahanmu tidak membuatnya terluka. Ibumu sudah
terlalu lama menampung cemas. Ia tak perlu lagi menanggung milikmu.
Tugasmu, Nak, adalah membahagiakannya. Itu tanggung jawab
laki-laki — menjadikan perempuan tenang bersamamu. Sebelum kau menikah,
belajarlah dulu dari caramu menjaga ibumu.
Kalau hatimu gundah, datanglah ke bapakmu. Karena urusan
laki-laki diselesaikan dengan sikap, bukan air mata. Biarkan ibumu tetap
tenang, duduk di ruang doa, menyebut namamu pelan, tanpa tahu betapa keras
hidup telah mengujimu.
***
Maos jugan
- Puisi Madura:Cangka Asela
- Esai:Sakola’an Tombu Nyenna
- Pidato Bahasa Madura: BAJENG AJAR MANDAR DADDIYA ORENG SE POJUR
Jika Kau Disukai
Nak, kalau kau disukai orang, bersyukurlah. Tapi jangan cepat
berbangga. Karena yang mereka sukai mungkin bukan seluruh dirimu, melainkan
bagian kecil yang tampak, yang kadang menipu. Ingat, masih banyak sisi dari
dirimu yang mereka belum tahu—dan di sanalah kekuranganmu bersembunyi, menunggu
waktu untuk dikenali.
Dan kalau kau tidak disukai, sabarilah. Jangan buru-buru
menuduh dunia tidak adil. Lihatlah ke dalam dirimu, barangkali memang ada yang
perlu diperbaiki. Tak apa. Setiap hati yang menolakmu sedang mengajarimu untuk
tumbuh.
Jangan sakit hati. Sebab hidup bukan tentang disukai atau
tidak. Tapi tentang bagaimana tetap menjadi baik, bahkan ketika tidak ada yang
memujimu.
***
Adab
Ada kalimat yang sering kita dengar dan terlalu sering kita
salah pahami: “Anggap saja rumah sendiri.” Kalimat yang tampak ramah itu
sebenarnya adalah ujian bagi adab. Ia bukan izin untuk bebas, tapi kepercayaan
yang menuntut kepekaan. Dan di situlah banyak orang gagal.
Tuan rumah berkata “anggap rumah sendiri,” tapi yang datang
lupa bahwa rumah itu tetap milik orang lain. Ia keluar masuk kamar, membuka
lemari, mengambil minum tanpa pamit, seolah keramahan tadi berarti bebas.
Padahal di balik kata “anggap sendiri”, ada kesopanan yang justru harus lebih
dijaga.
Begitu juga dengan murid pada gurunya. Ketika guru berkata,
“kita teman saja,” itu bukan penurunan derajat, tapi bentuk kasih. Dan kasih,
jika tidak dipahami dengan adab, bisa berubah jadi kebodohan. Murid yang
memperlakukan gurunya seperti teman tongkrongan, lupa bahwa ilmu lahir dari
hormat. Tanpa hormat, yang tersisa hanya debat — dan ilmu menjauh.
Orangtua pun begitu. Ketika mereka mengalah, bukan berarti
kalah. Mereka sedang menurunkan ego agar kita naik derajat. Tapi kita
seringkali menanggapinya dengan kelancangan. Ngelunjak. Seolah kasih sayang itu
bukan pengorbanan, melainkan kewajiban.
***
Maos jugan
- MENU LALAMPAN.COM
- Download Kamus Ini Sekarang
- Oca’ Pangalemma Anggota Badan
- Bakto Loppa se Abajanga || Fendi Chovi
Ganteng yang Hilang di Cermin
Laki-laki itu mestinya ganteng, bukan cantik.
Tapi entah sejak kapan, kata ganteng terdengar ketinggalan
zaman. Sekarang yang ramai adalah skincare for men, lip balm for him, eyebrow
trimming, dan segala macam hal yang membuat lelaki tampak lebih lembut dari
kenyataan. Hingga kadang, di kaca, ia tidak lagi terlihat gagah — tapi malah
cantik.
Padahal ganteng itu bukan soal kulit mulus, tapi tentang
ketegasan. Tentang cara ia menatap dunia tanpa berlebihan, tanpa dibuat-buat.
Wajah yang barangkali kusam, tapi punya cerita. Tangan yang mungkin kasar, tapi
tahu cara bekerja.
Kita sedang di masa ketika lelaki takut terlihat lelaki.
Mereka bersembunyi di balik krim malam dan filter kamera. Barangkali bukan
karena ingin cantik, tapi takut dibilang tidak merawat diri. Ironisnya, justru
di situ ia kehilangan jati dirinya: merawat kulit tapi lupa menjaga wibawa.
Perawatan diri tentu tak salah. Tapi ketika semua jadi
berlebihan — alis dirapikan, bibir dipoles, bahkan langkah dibuat anggun — ada
sesuatu yang hilang. Mungkin itu yang dulu disebut karisma, atau sekadar
kewajaran.
Ganteng itu bukan hasil poles. Ia lahir dari sikap. Dari
ketenangan, keberanian, dan ketulusan yang tak bisa dibeli di toko kosmetik.
Lelaki sejati tak perlu cantik. Ia cukup menjadi dirinya sendiri — dan dari
situ, kegantengan menemukan maknanya.
***
Langkah Kaki
Yang tampak mungkin biasa. Hanya jalan kaki. Santai. Tapi di
setiap langkahnya, ada sesuatu yang diam-diam menua di dalam diri. Orang lain
hanya melihat gerak tubuh yang pelan, napas yang sedikit berat, dan baju yang
basah oleh keringat. Padahal di kepalanya sedang berisik—seperti pasar pagi
yang tak pernah bubar. Ada yang menawar, ada yang memaksa, ada yang marah, ada
yang diam dan menatap. Semua suara itu bukan untuk orang lain. Tapi untuk
dirinya sendiri.
Ia berjalan untuk menenangkan, tapi yang tenang justru
tubuhnya, bukan pikirannya. Di dalam kepala, ada debat yang tak selesai antara
harapan dan kenyataan, antara masa lalu yang belum rampung dengan masa depan
yang belum tentu datang. Kadang seperti dua pedagang yang saling curiga di
dalam pasar, saling berebut ruang, saling menaikkan harga pikiran.
Barangkali itu sebabnya orang yang tampak tenang belum tentu
sedang damai. Kadang ketenangan hanya cara agar dunia tidak tahu betapa gaduh
isi kepalanya. Keringat itu bukan hanya tanda lelah, tapi juga cara tubuh
mengalirkan hal-hal yang tak bisa diucapkan. Dan rambut mulai susah tumbuh
normal.
Dan jalan kaki menjadi bentuk ibadah yang tak dinyatakan.
Bukan karena ia sedang menuju ke masjid, tapi karena di setiap langkahnya, ia
sedang berusaha berdamai dengan dirinya sendiri—yang sering menolak diam, tapi
ingin didengarkan.
***
Bungbung Kosong
Ada orang yang, karena ingin terlihat tegas, justru
memperdengarkan kebodohan. Bahasanya tinggi, semangatnya menyala, tapi
pikirannya tersandung di kakinya sendiri.
“Jangankan orang, malaikat Izrail saja kalau ganggu kiai, saya
lawan,” katanya. Sebuah kalimat yang, jika dipikir sebentar saja, sudah runtuh
oleh logikanya sendiri. Ia ingin menunjukkan cinta pada guru, tapi yang tampak
malah kesombongan menantang malaikat—makhluk yang bahkan para nabi tunduk
kepadanya.
Yang lain berkata dengan luka di hatinya, “Jangankan disuruh
orang tua atau guru untuk balikan sama mantan, disuruh Nabi pun saya tidak
mau.” Mungkin ia ingin menunjukkan keteguhan. Tapi yang keluar justru kalimat
yang menusuk kesadaran: bahwa ia menolak kebenaran sebelum datang. Nabi tidak
mungkin menyuruh tanpa perintah Tuhan. Ia menutup diri dari kebijaksanaan
bahkan sebelum kebijaksanaan itu bicara.
Manusia sering tergelincir bukan karena makna, tapi karena
mulut.
Dalam upaya menekankan sesuatu, ia menabrak yang lebih tinggi
dari dirinya sendiri. Dan di situlah letak tragiknya: semakin keras ingin
dianggap benar, semakin jelas tampak kebodohannya.
Ada kalimat-kalimat yang terlalu besar untuk keluar dari mulut
manusia kecil. Tapi justru di zaman ini, manusia kecil berlomba-lomba
memakainya—demi dianggap besar.
