Sajak Puitika Rowi El-Hamzi



Tentang Harta yang Mengalir

Harta yang benar-benar kita miliki, barangkali bukan yang kita simpan di lemari besi, bukan pula yang kita pamerkan dalam angka rekening. Ia justru yang kita lepaskan. Yang kita sedekahkan.

Sebab apa yang kita genggam, sejatinya sedang menunggu waktu untuk lepas. Entah dicuri, entah dibagi, entah ditinggal mati. Tapi yang kita berikan — diam-diam ia menetap. Tidak di dunia, tapi di catatan langit.

Kita sering takut miskin karena memberi. Padahal, justru di situlah kekayaan disembunyikan. Sedekah bukan kehilangan, tapi semacam transaksi rahasia: kita menyerahkan yang fana untuk membeli yang abadi.

Kelak, di saat semua yang kita simpan di dunia tak bisa ikut, hanya yang kita sedekahkan yang akan datang menjemput.

Dan mungkin di sana, kita akan tersenyum, karena bekal kita cukup. Āmīn

 

***

 

Belajar Membuat Perempuan Tenang

Nak, anak laki-laki itu, jangan apa-apa kau ceritakan pada ibumu. Bukan karena rahasia, tapi karena cinta. Agar kegagalanmu tidak membuatnya bersedih. Agar kelemahanmu tidak membuatnya terluka. Ibumu sudah terlalu lama menampung cemas. Ia tak perlu lagi menanggung milikmu.

Tugasmu, Nak, adalah membahagiakannya. Itu tanggung jawab laki-laki — menjadikan perempuan tenang bersamamu. Sebelum kau menikah, belajarlah dulu dari caramu menjaga ibumu.

Kalau hatimu gundah, datanglah ke bapakmu. Karena urusan laki-laki diselesaikan dengan sikap, bukan air mata. Biarkan ibumu tetap tenang, duduk di ruang doa, menyebut namamu pelan, tanpa tahu betapa keras hidup telah mengujimu.

 

***

Maos jugan

 

Jika Kau Disukai

Nak, kalau kau disukai orang, bersyukurlah. Tapi jangan cepat berbangga. Karena yang mereka sukai mungkin bukan seluruh dirimu, melainkan bagian kecil yang tampak, yang kadang menipu. Ingat, masih banyak sisi dari dirimu yang mereka belum tahu—dan di sanalah kekuranganmu bersembunyi, menunggu waktu untuk dikenali.

Dan kalau kau tidak disukai, sabarilah. Jangan buru-buru menuduh dunia tidak adil. Lihatlah ke dalam dirimu, barangkali memang ada yang perlu diperbaiki. Tak apa. Setiap hati yang menolakmu sedang mengajarimu untuk tumbuh.

Jangan sakit hati. Sebab hidup bukan tentang disukai atau tidak. Tapi tentang bagaimana tetap menjadi baik, bahkan ketika tidak ada yang memujimu.

 

***

 

Adab

Ada kalimat yang sering kita dengar dan terlalu sering kita salah pahami: “Anggap saja rumah sendiri.” Kalimat yang tampak ramah itu sebenarnya adalah ujian bagi adab. Ia bukan izin untuk bebas, tapi kepercayaan yang menuntut kepekaan. Dan di situlah banyak orang gagal.

Tuan rumah berkata “anggap rumah sendiri,” tapi yang datang lupa bahwa rumah itu tetap milik orang lain. Ia keluar masuk kamar, membuka lemari, mengambil minum tanpa pamit, seolah keramahan tadi berarti bebas. Padahal di balik kata “anggap sendiri”, ada kesopanan yang justru harus lebih dijaga.

Begitu juga dengan murid pada gurunya. Ketika guru berkata, “kita teman saja,” itu bukan penurunan derajat, tapi bentuk kasih. Dan kasih, jika tidak dipahami dengan adab, bisa berubah jadi kebodohan. Murid yang memperlakukan gurunya seperti teman tongkrongan, lupa bahwa ilmu lahir dari hormat. Tanpa hormat, yang tersisa hanya debat — dan ilmu menjauh.

Orangtua pun begitu. Ketika mereka mengalah, bukan berarti kalah. Mereka sedang menurunkan ego agar kita naik derajat. Tapi kita seringkali menanggapinya dengan kelancangan. Ngelunjak. Seolah kasih sayang itu bukan pengorbanan, melainkan kewajiban.

 

***

Maos jugan


Ganteng yang Hilang di Cermin

Laki-laki itu mestinya ganteng, bukan cantik.

Tapi entah sejak kapan, kata ganteng terdengar ketinggalan zaman. Sekarang yang ramai adalah skincare for men, lip balm for him, eyebrow trimming, dan segala macam hal yang membuat lelaki tampak lebih lembut dari kenyataan. Hingga kadang, di kaca, ia tidak lagi terlihat gagah — tapi malah cantik.

Padahal ganteng itu bukan soal kulit mulus, tapi tentang ketegasan. Tentang cara ia menatap dunia tanpa berlebihan, tanpa dibuat-buat. Wajah yang barangkali kusam, tapi punya cerita. Tangan yang mungkin kasar, tapi tahu cara bekerja.

Kita sedang di masa ketika lelaki takut terlihat lelaki. Mereka bersembunyi di balik krim malam dan filter kamera. Barangkali bukan karena ingin cantik, tapi takut dibilang tidak merawat diri. Ironisnya, justru di situ ia kehilangan jati dirinya: merawat kulit tapi lupa menjaga wibawa.

Perawatan diri tentu tak salah. Tapi ketika semua jadi berlebihan — alis dirapikan, bibir dipoles, bahkan langkah dibuat anggun — ada sesuatu yang hilang. Mungkin itu yang dulu disebut karisma, atau sekadar kewajaran.

Ganteng itu bukan hasil poles. Ia lahir dari sikap. Dari ketenangan, keberanian, dan ketulusan yang tak bisa dibeli di toko kosmetik. Lelaki sejati tak perlu cantik. Ia cukup menjadi dirinya sendiri — dan dari situ, kegantengan menemukan maknanya.

 

***

 

Langkah Kaki

Yang tampak mungkin biasa. Hanya jalan kaki. Santai. Tapi di setiap langkahnya, ada sesuatu yang diam-diam menua di dalam diri. Orang lain hanya melihat gerak tubuh yang pelan, napas yang sedikit berat, dan baju yang basah oleh keringat. Padahal di kepalanya sedang berisik—seperti pasar pagi yang tak pernah bubar. Ada yang menawar, ada yang memaksa, ada yang marah, ada yang diam dan menatap. Semua suara itu bukan untuk orang lain. Tapi untuk dirinya sendiri.

Ia berjalan untuk menenangkan, tapi yang tenang justru tubuhnya, bukan pikirannya. Di dalam kepala, ada debat yang tak selesai antara harapan dan kenyataan, antara masa lalu yang belum rampung dengan masa depan yang belum tentu datang. Kadang seperti dua pedagang yang saling curiga di dalam pasar, saling berebut ruang, saling menaikkan harga pikiran.

Barangkali itu sebabnya orang yang tampak tenang belum tentu sedang damai. Kadang ketenangan hanya cara agar dunia tidak tahu betapa gaduh isi kepalanya. Keringat itu bukan hanya tanda lelah, tapi juga cara tubuh mengalirkan hal-hal yang tak bisa diucapkan. Dan rambut mulai susah tumbuh normal.

Dan jalan kaki menjadi bentuk ibadah yang tak dinyatakan. Bukan karena ia sedang menuju ke masjid, tapi karena di setiap langkahnya, ia sedang berusaha berdamai dengan dirinya sendiri—yang sering menolak diam, tapi ingin didengarkan.

 

***

 

Bungbung Kosong

Ada orang yang, karena ingin terlihat tegas, justru memperdengarkan kebodohan. Bahasanya tinggi, semangatnya menyala, tapi pikirannya tersandung di kakinya sendiri.

“Jangankan orang, malaikat Izrail saja kalau ganggu kiai, saya lawan,” katanya. Sebuah kalimat yang, jika dipikir sebentar saja, sudah runtuh oleh logikanya sendiri. Ia ingin menunjukkan cinta pada guru, tapi yang tampak malah kesombongan menantang malaikat—makhluk yang bahkan para nabi tunduk kepadanya.

Yang lain berkata dengan luka di hatinya, “Jangankan disuruh orang tua atau guru untuk balikan sama mantan, disuruh Nabi pun saya tidak mau.” Mungkin ia ingin menunjukkan keteguhan. Tapi yang keluar justru kalimat yang menusuk kesadaran: bahwa ia menolak kebenaran sebelum datang. Nabi tidak mungkin menyuruh tanpa perintah Tuhan. Ia menutup diri dari kebijaksanaan bahkan sebelum kebijaksanaan itu bicara.

Manusia sering tergelincir bukan karena makna, tapi karena mulut.

Dalam upaya menekankan sesuatu, ia menabrak yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Dan di situlah letak tragiknya: semakin keras ingin dianggap benar, semakin jelas tampak kebodohannya.

Ada kalimat-kalimat yang terlalu besar untuk keluar dari mulut manusia kecil. Tapi justru di zaman ini, manusia kecil berlomba-lomba memakainya—demi dianggap besar.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak