Sejak muda saya suka membaca tulisan Kiai Mustofa Bisri. Esai
maupun sajaknya. Keduanya seperti dua sisi dari satu napas yang sama: lembut
tapi tegas, sederhana tapi menghunjam. Bahkan dari tulisan-tulisan awalnya,
ketika bahasanya belum seelok sekarang, saya sudah merasakan sesuatu yang tak
bisa saya jelaskan. Mungkin itu yang disebut kejujuran.
Tulisan Gus Mus bukan sekadar bicara tentang agama. Ia bicara
tentang manusia yang beragama. Tentang kesedihan orang kecil, tentang lucunya
pejabat yang kehilangan rasa malu, tentang doa yang terlontar lirih tapi
menggetarkan ruang batin pembacanya. Ia tidak sedang menggurui, tapi juga tidak
sedang berkelakar. Ia seperti orang tua yang duduk di serambi sore, menatap
langit, lalu berkata pelan, “Kita ini hidup terlalu sibuk jadi benar, sampai
lupa jadi baik.”
Dari banyak esainya, saya belajar satu hal: kata bisa menjadi
cermin. Cermin yang kadang memantulkan wajah kita sendiri, yang lama-lama kita
hindari. Karena di sana, ada kesombongan yang terselip di balik kesalehan. Ada
kepentingan yang disembunyikan di balik doa. Gus Mus tidak menuding, tapi
kalimatnya membuat kita menunduk.
Ketika ia menulis tentang negeri ini—tentang korupsi yang
seolah jadi tradisi—ia tidak marah. Ia justru menulis dengan nada sayang.
Seolah seorang ayah menegur anaknya yang salah jalan, bukan dengan bentakan,
tapi dengan air mata yang tertahan. Kalimatnya tidak berapi, tapi membakar.
Kiai Mustofa Bisri menulis bukan untuk memukau, tapi untuk
menyembuhkan. Ia mengajari bahwa kata-kata, bila lahir dari hati yang bersih,
bisa lebih tajam dari pidato siapa pun di mimbar kuasa. Dan barangkali, itu
sebabnya tulisan-tulisannya justru semakin indah ketika dunia makin bising oleh
orang yang pandai bicara tapi miskin rasa.
Membaca Gus Mus, kita seperti diajak kembali mengingat bahwa
kebijaksanaan bukan datang dari kepandaian berbicara, tapi dari kesediaan
mendengarkan—terutama mendengarkan hati sendiri.
