Cerpen Anak: Awan dan Bulan



Awan dan Bulan

Cerpen-anak-lalampan.com. 1447. Pagi itu, matahari baru saja muncul di balik perbukitan kecil di kampung mereka. Embun masih menempel di rumput, dan ayam-ayam mulai berkokok dari halaman rumah tetangga. Di sebuah rumah hijau pucat yang berada di tepi jalan desa, dua kakak-beradik sedang bersiap berangkat sekolah.

Awan adalah anak kelas empat SD, berwajah cerah dengan rambut sedikit acak. Ia membawa tas yang tampak berat karena penuh buku. Di tangan kanannya ia menggenggam satu buku cerita yang tadi malam ia baca sebelum tidur.

Bulan, adiknya yang duduk di kelas tiga SD, sangat berbeda. Ia bertubuh kecil dan suka tersenyum, tetapi kalau melihat buku, ia langsung menguap. Tas sekolahnya ringan karena hampir tidak pernah diisi buku apa pun—kecuali buku tugas yang wajib dibawa.

“Bulan, sudah?” teriak Awan dari teras.

“Sudah!” Bulan muncul sambil berlari kecil, sepatu belum sepenuhnya terikat.

Awan menggeleng. “Sepatu kamu itu, kalau tidak diikat nanti jatuh.”

“Ah, tidak apa,” jawab Bulan sambil melompat-lompat kecil. “Yang penting cepat sampai sekolah.”

Awan tertawa kecil. Adiknya memang selalu ingin cepat berangkat, tetapi bukan karena semangat belajar. Bulan ingin cepat sampai sekolah karena ia suka bermain dengan teman-temannya di halaman sebelum bel masuk berbunyi.

Mereka berjalan bersama melewati jalan kecil yang dipenuhi pohon jambu dan mangga. Burung-burung bertengger di dahan, dan bau tanah basah menemani langkah mereka.

Awan membuka buku ceritanya sambil berjalan. Ia sudah terbiasa membaca sambil melangkah pelan.

“Kak, kamu kok baca terus?” tanya Bulan sambil menyibakkan rambutnya yang ditiup angin.

“Karena seru. Ini tentang anak yang pergi mencari bintang yang hilang,” jawab Awan bersemangat.

“Bintang lagi… kemarin kamu baca tentang planet. Besok kamu baca tentang apa? Matahari pindah rumah?” Bulan terkekeh.

Awan tak tersinggung. “Membaca itu membuat otak kita jalan, Bulan. Kamu harus coba.”

Bulan langsung mencibir manja. “Aku lebih suka main bola. Bola juga bikin otak jalan.”

“Kalau bolanya lari sendiri, iya,” jawab Awan sambil tertawa.

Bulan mendorong bahu kakaknya pelan. “Sudah ah, jangan ganggu. Aku tidak suka baca. Membosankan.”

Awan menutup bukunya sebentar. “Mungkin kamu belum menemukan buku yang tepat.”

“Tidak akan ada buku yang tepat untukku, Kak,” kata Bulan mantap. “Yang aku suka itu permainan, bukan huruf.”


Maos jugan

***

Sesampainya di sekolah, halaman sudah ramai. Anak-anak berlari mengejar bola, sebagian bermain lompat karet, sebagian lagi duduk berkelompok sambil membicarakan film kartun terbaru.

Bulan segera bergabung dengan kelompok yang bermain bola plastik.

Awan duduk sendirian di bangku dekat taman kecil sekolah dan membuka bukunya lagi. Ia membaca sambil sesekali tersenyum, imajinasi berkelana ke langit luas.

Tak lama kemudian, bel berbunyi.

Guru kelas empat, Bu Citra, masuk dengan senyum cerah. “Selamat pagi, anak-anak!”

“Selamat pagi, Bu!”

Seperti biasa, pelajaran pertama adalah membaca. Anak-anak diminta membuka buku cerita masing-masing dan membaca selama lima belas menit.

Awan langsung siap. Ia bahkan tampak lebih bahagia daripada saat istirahat.

Di sisi lain sekolah, di kelas tiga, Bulan mulai berkeringat. Pelajaran pertama adalah pelajaran yang paling tidak ia sukai: membaca pemahaman.

Pak Daus, guru kelasnya, membagikan lembar bacaan pendek. “Anak-anak, hari ini kita belajar memahami teks. Baca pelan-pelan, kemudian jawab pertanyaan yang ada di bawahnya.”

Bulan memandang kertas itu seperti melihat monster. Huruf-hurufnya terasa menari dan menumpuk.

Teman sebangkunya, Ida, sudah mulai membaca. “Bulan, ayo…”

“Aku tidak bisa kalau disuruh baca banyak,” gumam Bulan.

Pak Daus mendekat. “Bulan, coba dulu. Bacanya sedikit saja. Tidak perlu cepat.”

Bulan mencoba, tetapi baru dua baris, kepalanya terasa penuh. Ia menunduk.

“Pak… boleh aku dengar saja? Tidak usah baca?”

Pak Daus tersenyum lembut. “Boleh nanti kita baca bersama. Tapi kamu harus berusaha dulu, ya.”


Maos jugan

***

Jam istirahat tiba. Awan langsung mendatangi Bulan yang duduk termenung di dekat tangga.

“Kamu kenapa?” tanya Awan.

“Aku tadi disuruh baca teks panjang. Susah sekali, Kak.” Bulan menendang pasir dengan ujung sepatu. “Aku benar-benar tidak suka membaca. Kenapa harus ada pelajaran itu?”

Awan duduk di sampingnya. “Dulu aku juga tidak langsung suka membaca. Tapi lama-lama jadi kebiasaan.”

“Aku tidak mau,” kata Bulan cepat. “Aku tidak akan suka membaca selamanya.”

Awan terdiam sejenak. Lalu ia mengeluarkan satu buku kecil bergambar anak mendaki gunung.

“Coba lihat ini.”

“Tidak mau.”

“Ini bukan cerita panjang. Hanya empat halaman. Banyak gambarnya.”

Bulan menoleh ragu. “Banyak gambarnya?”

Awan mengangguk. “Banyak sekali.”

Bulan menarik buku itu. Ia membukanya pelan. Di halaman pertama hanya ada sebuah kalimat pendek: “Raka ingin melihat puncak gunung pertamanya.”

Sisanya adalah gambar Raka membawa ransel.

Bulan membaca kalimat itu, dan untuk pertama kalinya ia tidak merasa pusing.

“Ini… lumayan,” ujarnya pelan.

Awan tersenyum. “Kan?”

Bulan melanjutkan halaman kedua. Ada tiga kalimat pendek. Ia membaca perlahan, bibirnya bergerak.

Tanpa ia sadari, ia telah membuka halaman ketiga.

“Kak…” katanya. “Ternyata membaca… tidak selalu menyeramkan.”

“Tuh kan,” kata Awan bangga. “Kamu hanya perlu mulai dari yang kecil.”

“Tapi jangan yang panjang-panjang,” kata Bulan cepat.

Awan tertawa. “Tenang saja. Kamu bisa naik satu langkah setiap hari.”

***

Sepulang sekolah, Bulan menceritakan pengalaman itu pada Ibu.

“Ibu! Ternyata aku bisa membaca sedikit. Kakak kasih aku buku pendek.”

Ibu terharu. “Wah, itu bagus sekali, Bulan. Apapun yang kamu lakukan, kalau pelan-pelan, pasti bisa.”

Bulan tersenyum bangga. “Aku masih tidak suka buku besar. Tapi buku kecil… mungkin aku bisa coba.”

Awan yang mendengar itu langsung datang membawa dua buku kecil lainnya. “Aku punya banyak buku kecil lain! Kita baca bareng setiap sore!”

Bulan menatap tumpukan buku itu. “Tapi jangan terlalu banyak dulu, Kak…”

Awan mengangguk. “Satu saja tiap hari. Kita mulai dari yang paling mudah.”

Bulan tersenyum lebar. “Oke.”

***

Malam itu, di teras depan, suara jangkrik terdengar jelas. Awan dan Bulan duduk berdampingan. Awan membaca bukunya sendiri, sementara Bulan memegang buku pendeknya.

Ia membaca pelan, kadang berhenti, kadang bertanya arti kata pada kakaknya. Tapi ia tidak menyerah.

Ketika selesai satu buku, Bulan menutupnya dengan wajah puas.

“Aku selesai, Kak!”

Awan mengacungkan jempol. “Hebat!”

Bulan bangga bukan main.

Dan sejak hari itu, meski tetap lebih suka bermain bola, Bulan punya kebiasaan baru setiap malam: membaca satu cerita kecil.


Palalangan, Jumadil Awal 1447.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak