Cerpen: Resep Lodeh dari Surga || Muhtadi Z.L

Cerpen: Resep Lodeh dari Surga || Muhtadi Z.L Jember-Jawa Timur
Resep Lodeh dari Surga || Muhtadi Z.L

Cerpen: Muhtadi.ZL*

Cerpen. Lalampan.com—1447|| Barangkali, menurutku, sampai detik ini, masakan lodeh nenek masih tetap yang terlezat. Setiap kali makan lodeh, baik di warteg, di rumah saudara, di kondangan, dan di manapun, belum ada lodeh yang menandingi kelezatan lodeh nenek. Aku tidak tahu, apa memang lidahku kadung bersatu dengan lodeh nenek, atau memang masakan orang lain tidak bisa menyamai kelezatan lodeh nenek. Aku tidak tahu pasti resep apa yang nenek pakai, tapi yang jelas, jika ada pertanyaan lodeh siapa yang paling lezat, aku akan berucap keras-keras kalau lodeh nenek-lah yang paling lezat!

Beberapa kali, tidak jarang aku menemani nenek masak lodeh ketika bertamasya ke rumahnya. Dalam dapur, tangan nenek amat telaten dalam mengiris dan mengucek setiap bahan-bahan untuk membuat lodeh. Di dekat nenek tidak terlalu jauh, aku hanya membantu mengambil setiap bahan yang nenek pinta sesuai tempatnya.

“Nak, ambilkan kunyit dan kemiri di tomples dalam lemari gantung di ponjok itu,” pinta nenek sambil menunjuk lemari gantung berwarna silver.

Aku mengangguk cepat-cepat, melaksanakan perintah nenek. Di awal-awal, aku tidak mengerti dan tidak tahu apa itu kemiri, jahe, kunyit, serai, daun salam, ketumbar, lada, lengkuas, dan sebaginya, aku tidak tahu itu. Sebelum akhirnya, aku terbiasa dengan nenek di dapur, dan kerap kali dipintai tolong untuk mengambil bumbu dengan segala macam-macam namanya. Sehingga aku tidak hanya tahu bawang merah dan bawang putih saja. Di usiaku yang masih menginjak pubertas, aku masih belum terbiasa dengan alat dan bumbu di dapur. Pasalnya, di rumah, ibu tidak pernah—bahkan amat jarang—meminta bantuanku ketika ia memasak. Dan, aku lebih sering menghabiskan waktu dalam kamar, karena ibu sanggup meladeni kegiatan memasaknya di dapur.

Maos jugan

“Ini, Nek, kemiri dan kunyitnya.” Aku mengulurkan tangan berisi lima butir kemiri dan tiga buah jahe dalam plastik bening.

“Cucu nenek sudah hafal bumbu dapur, yaaa.” Puji nenek karena bahan yang aku ambil sesuai dengan yang nenek pinta.

Mendengar pujian nenek, tentu membuatku senang tiada terbayang. Sebab, ketika masih berseragam putih-merah, aku tidak tahu sama sekali nama-nama bumbu dapur, kecuali bawang putih. Ibu tidak pernah mengajarkanku, atau bahkan menyuruhku untuk mengambilkan bahan atau juga menyuruh membeli bumbu. Mungkin itu yang membuat ibu kecewa terhadapku saat ia menyuruhku untuk membeli lengkuas, tetapi ketika sampai di tangan ibu malah jahe. Antara ingin memarahiku dan menyuruhku kembali ke toko untuk menukar kembali, di wajah ibu tanpak sekali guritan itu.

Pada akhirnya, ibu sendiri yang kembali ke toko untuk menukar jahe pada lengkuas, dan ia memintaku untuk menjaga dapur. Di atas talenan, irisan bawang putih—dan bumbu yang lain yang aku tidak tahu namanya—tertumpuk rapi. Di samping talenan sudah ada cobek yang di atasnya ada garam, micin dan bulat-bulat kecil seperti ukuran biji jambu warna krem kering tidak tersusun sempurna. Persis di atas talenan, ada pisau bermata tajam dengan gagang kayu yang sedikit lapuk termakan usia. Sedikit terhalang cobek, ada tiga batang daun yang kucium baunya sangat harum. Tak lama kemudian, ibu sudah di ambang pintu dapur dengan sedikit terengah-engah melawan langkahnya.

Teringat kejadian itu, aku merasa tidak berguna untuk ibu. Tetapi ketika mendengar pujian nenek, dalam batok kepalaku ingin sekali aku membantu ibu di dapur untuk mengambilkan bahan-bahan ketika ibu hendak memasak. Di samping membantu, aku juga ingin membuktikan bahwa aku juga berguna untuk ibu di dapur. Dan juga, aku ingin sekali mengatakan kepada ibu kalau aku sudah nyaris hafal nama-nama bumbu dapur setelah beberapa kali membantu nenek memasak. Akan tetapi, setiap kali mencicipi masakan nenek, terutama lodeh, lidahku seolah tidak menemukan lagi cita rasa yang mampu menandingi lodeh buatan nenek. Apa nenek memang punya resep khusus yang itu tidak ada yang tahu termasuk ibu?

“Dalam memasak, kita butuh ketenangan hati, Nak.” Entah karena apa, atau nenek bisa membaca guritan wajahku, sehingga nenek berkata demikian. “Bukan hanya itu saja, kita itu tidak boleh lupa untuk mendahului dengan bismillah. Dan, kalau bisa dalam keadaan suci,” lanjut nenek setelah aku menengadah melihat bibir keriputnya.

Aku yang masih baru menginjak sekolah menengah pertama, tentu masih belum paham bentul apa yang nenek ucapkan. Tetapi, entah karena apa, aku merasakan apa yang nenek utarakan itu. Entah ini dalam kesadaranku atau di luar alam bawah sadarku, aku tidak tahu betul. Akan tetapi, apa yang nenek utarakan aku merasakan saja tanpa mengerti bagaimana maksudnya.

“Apakah untuk menemukan cita rasa yang lezat, kita perlu suci, membaca basmalah disertai ketenangan hati, sebagaimana orang-orang salat seperti yang guru-guru agama jelaskan, Nek?” aku mencoba memperjelas ketenang hati yang nenek maksud.

Nenek tidak langsung menjawab, ia masih menyelesaikan ulekan antara garam, micin, kunyit, ketumbar, lada, cabe besar, bawang putih-merah, yang semuanya nenek haluskan dalam satu cobek. Kulihat, nenek pelan-pelan sekali menguleknya, dan juga, sedari tadi nenek tidak sekalipun menggunakan tangan yang kiri dalam mengupas, memotong dan mengulek bumbu. Aku hanya bertanya pada diri sendiri, apakah demikian setiap kali orang-orang memasak, tidak menggunakan tangan kiri.

“Benar sekali, Nak, kunci untuk membuat makanan yang lezat, di samping bumbunya harus segar, kesucian hati dan ketenangan pikiran juga sangat diperuntukkan. Bukan hanya itu, agar rasanya lebih terasa, etika memasak juga tidak boleh di langkahi. Seperti yang nenek katakan di awal.” Setelah tangan nenek selesai mengulek, ia mulai menghadapku dan menuturkan apa yang menjadi pertanyaanku.

Lagi-lagi aku dibuat tercenung setelah mendengar penuturan nenek, utamanya saat nenek berkata etika dalam memasak yang itu menjadi jembatan untuk kelezetan sampai pada lidah penyecapnya. Aku mencoba menghubungkan setiap gerak-gerik tangan nenek yang sedari tadi tidak sama sekali menggunakan tangan yang kiri. Sesekali, kulihat bibir keriput nenek terkatup-katup samar sekali. Entahlah apa yang nenek baca aku tidak tahu, yang jelas tak ada suara yang keluar dari bibir nenek.

“Kebaikan itu tidak boleh salah menjalankan, Nak.” Ujar nenek singkat setelah menangkap tanya pada garis di wajahku.

“Maksud nenek, untuk kebaikan apapun, meski bukan yang tergaris kuat secara syariat itu harus dilakukan dengan etika, Nek” aku mencoba bertanya dari hasil belajarku.

Sebenarnya, aku tidak teramat paham apa yang dimaksud syariat. Akan tetapi, seingatku—mengingat apa yang guru keagamaan jelaskan—sesuatu yang terikat kuat kepada setiap penganutnya. Dalam benakku, syariat itu aturan kuat yang mewajibkan seseorang untuk melaksanakannya. Begitu yang kuingat dari apa yang guru agama sampaikan.

Kembali aku mengamati setiap kali nenek melakukan apapun, karena aku tidak ingin ketinggalan setiap sesuatu yang nenek lakukan. Terutama dalam hal ini, membuat masakan yang kuterka itu lodeh. Makanan favoritku. Pelan-pelan, nenek mengambil wajan yang digantungkan pada tembok dapur, setelahnya ia meletakkan di atas kompor lalu menyalakan dan menuangkan minyak sedikit. Sorot mata nenek amat tajam memperhatikan setiap cairan minyak di atas wajan. Aku tidak tahu betul mengapa nenek sampai sebegitunya dalam memasak. Apakah dengan begini yang membuat masakan nenek menjadi super lezat?

Maos jugan

“Iya benar, Nak. Kebaikan, meski tidak di atur syariat, itu juga harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan baik juga.” Setelah tangan kanannya memegang spatula, nenek menjawab pertanyaanku.

Nenek sangat hati-hati dalam memasak, sedikitpun tidak ada tangan kiri nenek yang menyentuh setiap langkah-langkah memasaknya. Setelahnya, nenek menggoreng bumbu yang sudah diulek rata di atas cobek tadi setelah memastikan bahwa minyak di wajan benar-benar panas. Semuanya nenek tuang tanpa menyediakan sisa, meski ada sedikit kerak yang tersangkut, nenek menambahkan air secukupnya pada cobek untuk kemudian di tuang ke atas wajan yang sudah panas.

Tiba-tiba, ruangan dapur menjadi penuh akan aroma bumbu yang nenek goreng dalam keadaan halus. Hidungku yang sangat rentan aroma apapun, tidak luput menjadi sengatan dari keharuaman bumbu yang nenek goreng. Setelah sedikit membolak dan mengaduk bumbu di wajan yang sudah sedikit ditumpahi air itu, nenek melangkah ke kran air, dan menadahnya pakai gelas besar. Lalu menungkannya pada wajan yang warnanya sedikit berubah kecokelatan.

“Nak, ambilkan terong dan kacang panjang di kulkas.”

Aku langsung bergegas menuju kulkas untuk mengambil sayur yang nenek maksud. Sekarang, pelan-pelan aku mulai sadar kalau nenek akan membuat lodeh terong dan kacang panjang. Dalam kepalaku, lodeh terong saja sudah lezat begitu apalagi masih ditambahi kajang pajang. Setelah kubuka kulkas, di dalamnya terdapat dua ikat kacang pajang dan satu plastik terong.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil terong dan kacang panjang sesuai dengan permintaan nenek. Dan, menghantarkannya pada nenek yang kuterka memang sedang menunggu dua bahan utama ini. Sesampainya di nenek, terong dan kacang panjang sudah dalam keadaan bersih alias sudah aku cuci.

Lalu, terong dan kacang panjang itu nenek buat bentuk sederhana saja, tidak memipih dan juga tidak menajam. Setelah selesai memotongnya, bersamaan dengan wajan yang sudah mendidih, tanpa berpikir panjang, nenek langsung menuangkan potongan terong dan kacang panjang itu.

“Kalau kuahnya masih belum panas, jangan dituangkan dulu terong dan kacang panjangnya.” Ujar nenek setelah menungkan dengan tangan kanan.

“Kenapa memang, Nek, kalau kuah belum panas dan bahan utama di masukkan?”

“Ketika nanti masak, ciri khas dari bahan itu akan sirna karena terlalu lama berendam dalam air, kalau sangat panas paling hanya butuh waktu 10 menit untuk kemudian bahan itu mateng dengan sempurna dan itu tidak menghilangkan cita rasa khas terong dan kacang panjang itu, Nak.” Nenek memegang kedua bahuku sambil menatap mataku dengan lamat.

Aku mengerti sekarang, kenapa masakan ibu, atau masakan warteg itu kurang lezat. Dan, kurasa nenek juga tahu kalau masakan yang tidak menerapkan etika itu tidak akan sempurna masakanya. Aku hanya menerka saja, kepastian yang sesungguhnya ada pada setiap lidah pencicipnya.

“Memangnya, nenek tahu dari mana kalau memasak itu ada etikanya?” aku bertanya setelah nenek mencicipi satu tetes kuah pakai spatula.

“Kau jangan bilang siapa-siapa, termasuk ibumu.” Aku mengangguk mantap. “Nenek tahu itu dari mimpi saat nenek masih di Mekah dulu.” Aku terdiam dan kembali ingat kalau nenek pernah melaksanakan rukun haji.

 

Gedangan, 20/08-13/10/2024/12.27

—cerita untuk Husnul Khotimah yang terkasih—


*Penulis merupakan Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa yang sekarang menetap di Gedangan Sukogidri Ledokombo Jember dan merupakan Mahasiswa Aktif Universitas Islam Negeri KH. Acmad Siddiq (UINKHAS) Jember. Menulis Artikel, Opini, Esai, Resensi, Cerpen dan Puisi yang sudah termuat di pelbagai media daring dan luring.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak