Di ujung timur Pulau Madura, ada sebuah kota yang tak banyak bicara, tapi penuh makna: Sumenep. Kota ini tidak mengejar gemerlap seperti destinasi-destinasi lain di tanah air. Ia memilih jalannya sendiri—tenang, bersahaja, tapi punya daya tarik yang tumbuh dari kedalaman nilai dan tradisi.
Dan dari sanalah muncul satu filosofi tua, namun kini
kembali hidup dan menguat: “Amolja’agi Tamoy”, yang dalam bahasa Madura berarti
memuliakan tamu.
Bukan Sekadar Sopan, Tapi Soal Martabat
Bagi masyarakat Sumenep, tamu bukan hanya orang luar
yang datang berkunjung. Tamu adalah rezeki, berkah, bahkan dalam banyak
pandangan, dianggap sebagai utusan Tuhan. Maka melayani tamu dengan sepenuh
hati bukan sekadar sopan santun, tapi soal harga diri. Ketika seorang warga
menyuguhi tamunya dengan tangan sendiri, menyiapkan tikar terbaik di ruang
tamu, atau sekadar mengantar ke ujung jalan dengan senyum, itu adalah bentuk
dari memuliakan hidup.
Maos Jugan
- Puisi-Puisi Jufri Zaituna
- Kabhâjjhârânna Ana’ Sè Kakorangan
- Warung Maduara, Kenapa 24 Jam
- Sobung Banne Tadha’
- Konye’ Gunong Monggu Kerrong ka Omba’
Di sinilah letak kekhasan Sumenep dalam menyambut
wisatawan, terutama mereka yang datang untuk berziarah, mencari ketenangan,
atau sekadar menyambung napas spiritual. “Amolja’agi Tamoy” menjadi fondasi
yang tak tertulis, tapi terasa di setiap sudut.
Hospitality yang Berakar, Bukan Sekadar Dipelajari
Dalam dunia pariwisata modern, keramahan bisa
diajarkan melalui pelatihan, disusun dalam modul, dan diuji dalam sertifikasi.
Tapi di Sumenep, keramahan adalah naluri. Ia tumbuh dari cara orang tua
mengajarkan anaknya menyapa orang asing, dari kisah-kisah dalam langgar dan
langgar kecil, dari tradisi masyarakat yang sejak dulu tak pernah membiarkan
tamu pulang dalam keadaan lapar atau tersesat.
Pengelola homestay, penjual oleh-oleh, tukang ojek,
hingga anak-anak di pojok kampung—semuanya seolah punya kode etik yang sama: buat
tamu merasa tenang dan diterima. Tak ada keramaian yang berlebihan, tak ada
keramahtamahan yang dibuat-buat. Yang ada adalah keikhlasan yang bisa
dirasakan, bahkan sebelum kata disampaikan.
Suasana yang Menenangkan Jiwa
Wisata religi membutuhkan sesuatu yang tak bisa
disediakan oleh brosur atau promosi digital: keteduhan jiwa. Dan itulah yang
ditawarkan oleh Sumenep. Jalan-jalan kecil yang sunyi, udara yang bersih dari
bising, hingga keramahan yang tak mengganggu tapi menjaga—semuanya menciptakan ruang
kontemplasi yang alami.
Warga Sumenep tahu batas. Mereka tahu kapan harus
diam, kapan cukup tersenyum, dan kapan perlu memberi jalan tanpa harus
bertanya. Itu bukan hasil pelatihan hospitality modern, tapi hasil perenungan
budaya yang hidup sejak lama.
Maos jugan
- Akhir Sebatang Pohon Gayam
- Obur Pornama Kaaddhangan Ondhem
- Orasi Lathif di Tengah Ngobrol Pemikiran
- Puisi Madura: Tase’ Tadha’ Omba’, Faidi Rizal Alief
- Buku Sastra se Ngaolle Tandha Pangesto
Benar bahwa infrastruktur wisata terus dibenahi: akses
jalan diperbaiki, homestay semakin bersih dan tertata, informasi wisata semakin
mudah diakses. Tapi yang lebih penting adalah mentalitas masyarakatnya yang
ikut tumbuh. Banyak dari mereka kini mulai memahami bahwa menerima tamu berarti
juga menerima kepercayaan. Bahwa melayani bukan berarti merendahkan diri, tapi
justru mengangkat derajat.
Pemerintah, tokoh adat, dan pelaku pariwisata lokal
kini mulai menyatu dalam satu semangat: membuat wisata religi di Sumenep
menjadi pengalaman yang tidak hanya dilihat, tapi juga dirasakan dan dibawa
pulang.
Lebih dari Sekadar Kunjungan: Ini Perjalanan Jiwa
Orang datang ke Sumenep bukan hanya untuk melihat
tempat. Mereka datang untuk mencari rasa. Dan rasa itu muncul dari pengalaman
yang menyentuh: dari cara disapa, dari teh manis yang disuguhkan tanpa diminta,
dari tanya-jawab kecil yang penuh empati di emper rumah.
Sumenep tak menawarkan pariwisata mewah. Yang ia
tawarkan adalah perjalanan pulang yang berbeda. Pulang dengan hati yang lebih
ringan, lebih tenang, dan kadang, lebih mengerti tentang hidup.
Penutup: Ketika Tradisi Menjadi Masa Depan
Di tengah dunia pariwisata yang sering kali mengejar likes,
rating, dan ulasan daring, Sumenep berdiri dengan tenang dan percaya diri. Ia
tak ikut menjual keramahan sebagai komoditas. Ia menghidupinya.
Dan dengan "Amolja’agi Tamoy" sebagai napasnya, Sumenep tak hanya siap menjadi tujuan wisata religi. Ia siap menjadi tuan rumah spiritualitas. Tempat di mana tamu bukan hanya dihormati, tapi juga dimuliakan—seperti saudara yang lama tak pulang.