Puisi Senyum Subuh


 

Puisi Senyum Subuh


Wajahmu yang putih tampak sayu oleh warna subuh ketika kita berjalan agak berjauhan pulang dari surau Aku tahu ketika itu kau sedang risau meski kau mencoba menyembunyikan di matamu yang teduh senyummu memaksaku berhenti berjalan sekali memandangmu mengharap subuh pun ikut berhenti

 

Risaukah yang membuat senyummu semakin menawan

Ataukah karena aku terlalu lama menanti

seingatku kau tidak berkata apa-apa

 

Atau tak ada kata-kata yang dapat kutangkap dan aku setiap kali hanya asal berkata Namun hari itu kita seperti bercakap-cakap kini dalam sepi subuhku sendiri Aku melihat senyum seperti senyummu Berkelebat menghentikan langkahku Hatikupun memanggilmu


Nailus sururi Batang Batang Laok


Maos jugan

 

Gadis di Sudut itu

 

Gaun merah, bibir tanpa Gincu, dan aliran darah telah kau tasbihkan sepanjang hari. Belakangan ini aku pelajari bahwasanya duri-duri dalam hati berasal dari rasa iri. Masih terdiam, terbelenggu keputusan, dan rasa bersalah seorang insan.

 

Mungkin mata cabul ini penyebab Tuhan enggan mempertemukan kau dan aku.

Sukarnya mengejawantahkan suatu nalar tanpa mekar. Ini  Sukma menelan kudapan-kudapan angan.

 

Lemahku tujuan sebab doa-doa kian terbantahkan. Sungguh, aku kerap lupa bahwa rencana sang pemilik alam selalu sepadan.

 

Gadis di sudut itu, oh Ilahi.  Sungguh mencekam birahi tatkala perasaan terus dibodohi. Bukan nuansa nan romansa yang ingin kuberbagi, namun keluh kesah mengakar dari berbagai jeritan anak manusia. Tak bisa dimungkiri.

 

 

Puisi Semesta Sudah Tua

 

Guratan menyayat lelahnya Nurani kalbu yang haru biru terberangus hampa.

Tawar dalam senyawa yang biaskan gulita

Gelap bak dosa-dosa pun dianggap jelita.

 

Hingar bingar sore di  kota siratkan jenuhnya semesta perut bumi yang sudah tua dan isi otak kita terus menua dituntut kebutuhan semata.


Maos jugan

 

Mata-mata perlahan terasa lelah:

Tumbal makian dan amarah membuncah.

Istirahatlah ;

Kekecewaan dan harapan usang

Mimpi dan emosi tak sempat tertuang.

 

Rejeki dinobatkan hanya sebatas uang, sebab khawatir akan himpitan utang.

 

Doa serta-merta banyak terbuang

Karena keraguan terus berulang

dan lupa diri hingga terkekang,

Kala Ilahi jadi prioritas terbelakang..

 

Dialog soal mimpi yang telah mati

 

Tatkala kita sedang berdialog soal mimpi yang telah mati, lantas mengapa harus menyalahkan tengiknya ambisi? Kenapa waktu harus disesali? Sebab tugas mimpi memang untuk mengenal hari-hari.

 

 

Dan aku membedah kembali ide tuk membangkitkan cita-cita yang sudah usang sedari dini. Kau diam menanggapi, seolah-olah sedang semadi. Jikalau ini masanya kita membenci diri sendiri, maka kondisi saat ini memacu kita untuk lupa diri. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak