Meneladani Kepemimpinan Nabi Muhammad

Meneladani nabi muhammad


lalampan.com. 1445. Pemimpin di zaman sekarang, tentu tidak mudah, jika menelisik sejarah, Nabi Muhammad pada masa itu masih harus mengabarkan adanya agama Islam yang penuh rahmat bagi semesta, dimana orang-orang pada masa itu tentu tidak semuanya menerima, penolakan terjadi dimana-dimana. Kemudian setelah hijrah, Nabi Muhammad tidak hanya diterima sebagai pemimpin agama, juga diterima dan diangkat sebagai kepala negara di Yastrib yang kemudian dikenal dengan sebutan Madinah (Madinatul Munawwaroh).

hari ini, pemimpin-pemimpin yang menjadi kepala negara, sudah tidak perlu menjadi pemimpin agama, cukup fokus dalam memimpin negara, memimpin sebuah kawasan, wilayah yang ada penduduknya (ya negara itu sendiri), bisa berbentuk Negara Republik, Negara Kesatuan, Negara Monarki, Gubernur, Bupati, Kepala Desa. Tak perlu lagi memimpin agama. Agama secara lebih spesifik dipasrahkan pada pemuka agama, sepanjang agama-agama yang ada diberi kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai aturan keagamaannya, serta tidak melanggar ketentuan umum, seperti tidak saling membunuh, mencuri, dan menyakiti, karena semua agama melarang hal itu.

Selama menjadi pemimpin, Nabi tidak pernah mengeluh di hadapan publik, seperti kata ruwet atau yang serupa, beliau memilih menangis, melapor langsung kepada Tuhan Yang Esa. Dalam banyak riwayat, Nabi Muhammad selalu memikirkan ummatnya, bagaimana kalau umatnya sengsara?

Maos Jugan

Jika ada sahabat yang tidak terlihat di majelis taklim, atau tidak datang pada waktu shalat berjamaah, Nabi bertanya pada sahabat yang ada. Bentuk pertanyaan tersebut merupakan bentuk perhatian Nabi yang diutarakan. Hal sederhana seperti ini pun sulit ditiru, oleh diteladani oleh pemimpin-pemimpin hari ini. semisal, kepala desa mengurus atau bertanya pergi kemana sajakah warganya, karena banyak sekali warga madura sekarang yang melakukan eksodus ke Jakarta(an), Jogja dan lain sebagainya, mungkin alangkah baiknya, jika pemimpin-pemimpin sekedar menanyakan kabarnya, bagaimana kehidupannya yang di Jakarta, atau tempat lainnya, memastikan keamanan dan kesejahteraan rakyatnya.

Pada saat menang dalam peperangan, serta ada harta rampasan perang, Nabi Muhammad mempersilahkan sahabat-sahabatnya untuk mengambil harta itu, serta membagikannya, Beliau memilih tidak mengambil sepeserpun, mungkin jika pemimpin hari ini bisa dicontoh dengan cara tidak korupsi, cukup menerima gaji yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang. Lebih memikirkan ummat, kata ummat bisa diterjemahkan menjadi rakyat, Nabi juga tidak membeda-bedakan sahabat ketika hendak memberikan bantuan, entah yang telah masuk islam atau bahkan yang telah menghina atau mencacinya.

Hal seperti itu bisa dicontoh, Presiden, Gubernur, Bupati, Kalebun tetap memberikan bantuan, melakukan pembangunan di wilayah-wilayah yang tidak mencoblosnya (di wilayah yang bukan pendukungnya), tetap melakukan pembangunan, seperti pengaspalan jalan, memperbaiki saluran irigasi, agar pertanian bisa tumbuh,  hingga bisa membuat masyarakat bisa sejahtera bersama, bukan hanya pendukungnya saja, sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial. hal-hal seperti itulah yang selalu diupayakan Nabi Muhammad.

Maos Jugan

Nabi juga tetap menyuapi (memberi makan) orang buta yang setiap hari mengoceh, menjelek-jelekkan Nabi, memberi minum bahkan mengelap area mulut dengan sangat lembut dan penuh perhatian serta kasih sayang. Hal ini bisa dapat dicontoh oleh pemimpin-pemimpin hari ini dengan cara memberikan makanan, kesejahteraan bagi mereka yang lemah, tak berdaya, mengupayakan pendidikan yang terjangkau, membangun iklim literasi hingga pelosok desa, sehingga generasi bangsa, generasi/pemuda desa bisa cerdas dan siap serta bermental kuat untuk membangun masa depan desa.

Apa yang terjadi kemudian setelah si buta, yang disuapi Nabi tahu bahwa yang dijelekkan, difitnah adalah Nabi Muhammad SAW, si buta justru malu, kecewa pada dirinya. Si buta mengetahui hal itu setelah Nabi Muhammad meninggal. tentu si buta ingin minta maaf pada Nabi, namun beliau telah tiada.

Nabi hingga akhir hayatnya pun masih memikirkan rakyatnya. Banyak Riwayat menyebutkan bahwa beliau selalu menyebut-nyebut umati-umati yang artinya adalah umatku-umatku, yang bisa ditiru oleh pemimpin hari ini, menjadi pemimpin selalu memikirkan rakyatnya. Seorang pemimpin memikirkan rakyatnya menjelang tidur, bagaimana kalau besok harga sembako melambung tinggi, bagaimana jika daya beli rakyat menurun drastis.

Bisa jadi seorang kalebun berpikir keras, karena merasa tak nyaman pada rakyatnya karena belum mampu memberikan kesejahteraan, jalanan belum diaspal, penerangan jalan belum sempurna, literasi di desa belum hidup, apalagi harga-harga sembako melambung. Tentu berat sekali menjadi pemimpin.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak