"Ja' Nyorot" Pak Mahfud!!!

Wapres Madura Mahfud MD




"Ja' Nyorot" Pak Mahfud! 

"Pajekjek ma' sodek
Mon badha lendhu ma ta' gunjek"

(Pijakkan kaki dengan tegak
Kalau ada gempa biar tetap berjejak)

Ditulis oleh K.A Dardiri Zubairi.

Kearifan lokal Madura di atas seakan tepat melukiskan Pak Mahfud MD sebagai politisi yang hidup dalam lingkungan birokrasi yang korup. Beliau memancangkan kaki setegak-tegaknya agar tak terseret arus. Tidak oleng. Sebesar apapun godaan korupsi yang menghantamnya. Sebagai orang Madura pak Mahfud telah menjadikan kearifan di atas sebagai laku dan menjadi prinsipnya.

Tak sekedar menjaga dirinya. Beliau termasuk orang yang melawan arus menyuarakan dan membongkar praktek korupsi. Kali ini tentang dugaan transaksi janggal senilai 349 T. Uang sebesar itu jika dibelikan cendol batangkali tenggelam Indonesia. 

Pernyataan beliau rupanya membuat anggota DPR murka. Beliau ditantang ke DPR. Dengan gagah sebagaimana kita saksikan beliau hadir. Meski memperoleh banyak serangan interupsi dan pertanyaan, beliau tetap tenang dan tegas. Dialek Maduranya tetap kental. Sikap tegasnya juga mengguncang. Sebagai orang Madura beliau telah mengamalkan kearifan "mon kerras paakerres" (kalau keras jadilah seperti keris, tetap berwibawa).

Maos jugan


Sebagai orang Madura, saya paham bagaimana pak Mahfud mengatur ritme narasinya. Jika suaranya meninggi, itu tanda bahwa ada serangan. Semakin ditekan, makin ia menekan. Lakon seperti ini bukan terletak pada tekanan dari luar. Tetapi karena dilandasi oleh spirit kejujuran. Bagi orang Madura selama benar dan jujur tak ada alasan untuk berdiam diri jika diserang. Kejujuran adalah prinsip. Bahkan dibawa mati. Dalam kearifan orang Madura, "Oreng jujur mate ngonjur" (orang jujur itu mati dalam kondisi lurus). 

Mungkin bagi outsider, suara lantang orang Madura berikut dengan sikap tegasnya, bahkan kadang menggunakan diksi yang cenderung tidak lembut, dianggap sebagai "arogan". Bukan saudara-saudara. Ini hanya soal kebiasaan saja. Atau kalau mau agak akademik, soal budaya. Orang Madura dikenal bicara blak-blakan. Apa adanya. Tak ada yang ditutup-tutupi. 

Tapi kalau sudah bicara serius dan ada kesepahaman, pantang di belakang bicara lain. "Mon mera pamera, mon biru pabiru" (kalau merah ya merah, kalau hijau ya hijau). Jadi orang Madura pantang bicara plintat-plintut. Sekarang putih, besok berubah hitam, misalnya.  Di depan bicara "ini",  di belakang bicara "itu". Soal seperti ini tidak ada dalam kamus kebudayaan orang Madura. 

Maos jugan


Nah, Pak Mahfud sebagaimana kita saksikan tetap tegar dengan sikap dan argumennya. Data yang dibeberkan tak berubah. Termasuk data beliau soal besaran transaksi yang mencurigakan yang dianggap berbeda dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, tetap dipertahankan. 

Tentu soal sikap "alabanna" (melawannya) Pak Mahfud bukan melulu harus dibaca dari sudut kebudayaan Madura. Beliau sebagai pakar hukum tentu tahu kenapa dan apa resikonya merilis dugaan kasus "pencucian uang" ini. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa berani ("tatak" atau "bangalan" dalam bahasa Madura) tidak cukup. Ia butuh kejujuran dan ilmu. 

Nah, soal ini nampak sekali dalam jalannya rapat di DPR bagaimana cerdasnya Pak Mahfud merespon pertanyaan anggota DPR yang bertubi-tubi itu. Sesekali beliau mengutip qaidah fiqh, sesekali beliau mengutip diktum hukum latin. Semua pembicaraannya jelas, argumentatif, logis, yang dibungkus dengan keberanian, tegas, bahkan terkesan garang. 

Saya tak punya hak menafsir jauh maksud hati Pak Mahfud blak-blakan soal ini. Jika ada yang menafsir sebagai usaha mencari panggung jelang 2004, atau biar tidak digeser dari kabinet, atau dianggap mau menggeser Sri Mulyani, ya hanya Allah dan Pak Mahfud yang tahu. 

Yang saya tahu, republik ini butuh sosok seperti Pak Mahfud. Di republik yang penuh tipu-tipu dan korup perlu ada orang yang bersikap tak biasa; berani dan siap menghadapi resiko. Makanya saya mau bilang, "ja' nyorot" (jangan mundur) pak Mahfud! 

Tapi saya sadar, Pak Mahfud manusia. Sebagai manusia, beliau punya keterbatasan. Apalagi hanya seorang diri. Tak adil tugas besar seperti melawan korupsi kita timpakan sama beliau sendiri, bukan? Terus? Ya nikmati saja lakon ini sebagai hiburan. 

Matorsakalangkong

Sumenep, 1 April 2003
K.A Dardiri Zubairi.

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak