Cerpen Robohnya Kandang Sapi

carpan, sastra madura, mat toyu, cerpen madura


“MUSIM hujan akan segera datang. hah. Pasti makanan kita akan berubah. Tak hanya rumput kering yang disimpan di warung-warung. Pastinya kita-kita akan menjadi gemuk.

Kau masih ingatkah tentang pertemuan kita dulu. Kau melirikku dari tengah sawah. Kau manis sekali. Iya, musim itu tak mungkin datang lagi. Aku tahu itu dan sebentar lagi musim hujan. tapi takkan sama dengan musim-musim yang lalu.”

“Tak apa. Itu tak menjadi masalah. Pastinya, makanan kita akan enak lagi. dan yang lebih menarik, kita akan kembali turun ke sawah. Menginjak-injak tanah. Waw… aku kangen suasana itu. berjalan bersanding bersamamu.”

“Aku tak menyukai itu. Pekerjaan itu sangat berat. Menarik bajak itu berat dan sakit. Huh. Kau justru menyenanginya. Tidak hanya menarik bajak, melainkan dicambuk. Apa kau lupa itu? kau ini aneh. Kita disini sudah sangat berharap manusia tidak lagi menggunakan kita lagi dalam menggarap sawah, tanah dan lain-lain. Kecuali disembelih untuk makan orang-orang berimana. Kau lupa bagaimana setengah hari di sawah, membajak. Ludahmu meleleh dan nafasmu hampir hilang. Dan kita dicambuk.”

“Ach… kau terlalu pesimis. Kau hanya memikirkan susahnya. Kalau semuanya seperti itu, pastilah manusia kebingungan dan tak mau memelihara kita. Tak memotong kuku kita, tak mendandani kita saat pesta pasca panen dalam saronen.[1] Kita sekarang ini kan dalam rangka itu. Patthogan[2] ini bagian kecil dari itukan?”

“Aku sangat berharap musim hujan lebih cepat datang. rumput-rumput akan lebih hijua dengan calattongku, ditambah lagi calattong kalian. Waw. Pastilah rumput menghijau dan gurih. Tak seperti sekarang ini. Aku akan sangat senang membajak sawah untuk menambah kesuburan tanah.”

“Iya, sudah. Semoga saja kamu kuat membajak sawah sendiri. Aku lelah dan pasti, semua disini telah sepakat untuk tidak membajak sawah. Laksanakan sendiri ya!”

“Dasar sapi, maunya makan. tak mau bekerja. Makannya minta dianterin terus. Tak tau berterima kasih. Aku akan bekerja sekuat tenagaku. Sesuai hakikat sapi.” Sapi itu berjingkrak-berjingkrak membuat yang membawanya kaget dan menenangkan.

***

Maos jugan

Sapi memuntahkan rumput yang dikunyahnya. Meski ia tak  bermaksud untuk habis manis sepah dibuang. Ia memuntahkan rumput pahit itu. Ia teramat kecewa, rumput-rumput sarapan paginya tak semanis dulu. Aroma calattong[3] itu tak Ia temukan dalam rumput yang dinikmatinya. Ia sangat hafal bagaimana aroma calattong yang membangkitkan selera makannya. Aroma calattongnya sendiri dapat memberi manfaat bukan hanya untuk dirinya. banyak manusia menggunakan calattong sebagai pupuk sawah yang menyuburkan rumput-rumput, padi, jagung dan palawija, tapi sayang, sekarang hewan berakal itu bertambah cerdik. Mengolah kotoran-kotoran menjadi pupuk dan diawetkan. Sedang calattong tak membutuhkan bahan pengawet tak harus diolah dalam mesin ataupun pabrik. Sapi cukup diantarkan ke tengah ladang untuk makan, menaburkan calattong, menyiramkan kencingnya dan esoknya tanah-tanah akan lebih subur. Ia teramat kecewa, ketika dirinya harus terus terkurung dalam kandangnya. Calattongnya tak tahu dibawa kemana sehingga sapi itu tak lagi menemukan aroma calattongnya sendiri dalam rumput-rumput, batangan padi, dan tanaman-tanaman lainnya.

“Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah.” ia meminta air. Ia melompat-lompat dalam kandang. Menabrak dinding kandang yang terbuat dari anyaman bambu. Ia menaikkan kaki depannya ke atas tempat makan. tempat rumput-rumput. “Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.”  Ia kembali melompat-lompat. Menabrak dinding-dinding kandang yang mengurungnya.

Seorang datang membawa ember berisi air lerre[4] dan memberikannya pada sapinya. Sapi meminumnyam, namun berhenti dan menyemburkan air lerre yang baru saja diminumnya. Dahi lelaki itu berkerut dan memukul dahi sapi. Sapi itu tersedak. Ia berhenti minum. Tercium aroma minyak tanah dalam air lerre itu, aroma besi karatpun melengkapi minuman sapi itu. Ia merasa disiksa oleh pemiliknya. Ia ingin menendang orang yang berdiri di depannya tapi terhalang tempat makannya.

Sapi kembali menyisir keratan-keratan tongkol yang terapung dalam air lerre itu. mengunyahnya. Ia mencoba memakannya. Memaksakan seleranya hidup untuk menenangkan orang yang ada di depannya. Orang itu sedikit tersenyum. Orang itu meninggalkan sapinya dan membawa ember itu. Air lerrenya tak dihabiskan.

“Kenapa sapiku sekarang tak mau makan atau minum. Selera makannya telah hilang. Apa sebabnya? Ini harus dikasih kunyit dan daun bawang. Sejak satu minggu ini, sejak diberi rumput, justru ia semakin tidak mau makan. sebelumnya-sebelumnya hanya makan dadar.[5] Sudah lama juga tak dimandikan.” Gerutunya sambil membelakangi sapi.

Sapi itu kini menekuk kakinya dan istirahat. Kepalanya disandarkan pada tiang tengah kandang itu. Sapi itu masih terlihat lapar. Ia bangkit. Melompat-lompat dalam kandang itu. ia berharap dapat memutus tali yang mengikut lehernya. Ia ingin keluar dari kandang kumuh itu. kandang berasap itu. asap yang menyesakan dada. Tali begitu kuat memgekangnya. Ia belum mampu untuk melepasnya.

“Bu. Bu. Bu.”Orang yang tadi memberinya minum, datang kembali. Sapi itu berhenti melompat di hadapan orang itu. Orang itu mengelus dahi sapinya. Ada air menetes di dua matanya. Nafasnya mendengus keras. Tetesan air dari matanya semakin deras. Deras. Nafasnya semakin mendengus keras. Keras. Elusan orang itupun melembut. Semakin lembut. Lembut.

***

Maos jugan

Musim hujan tiba. Hujan setiap hari melanda. Terik matahari hanya datang diantara hujang-hujan. semenjak hujan melanda. Orang-orang mengubah aktifitasnya. Mulai menguliti kacang. Memasuki gudang laas[6] di samping rumahnya. Orang-orang hendak menyemai bibit padi. Ada yang menguliti kacang tanah untuk segera ditanah pada musim ini.

Sapi itu terlihat bahagia. Ia akan kembali menikmati pohon padi, kacang tanah dan kacang hijau. Tingkahnya lebih tenang. Ia berselera memakan apapun yang dihidangkan orang yang memeliharanya. Meminum setiap air yang disajikannya. Iapun berharap dapat kembali menginjak tanah-tanah yang akan ditanami padi dan kacang ataupun palawija. Ia berpikir, inilah waktunya menaburkan calattong dan menyiramkan kencingnya.

Dalam pikirannya, bergelayut makanan beraroma calattongnya sendiri. manis. Gurih. Lezat. Ketika selera makannya meningkat, tubuhnya gemuk dan sapi itu akan disembelih sebelum hari lebaran tiba dan itulah yang sangat diharapkan. Menjadi santapan orang-orang yang merayakan pesta lebaran. Meski di malam takbir sapi tak merasakan gema takbir yang bertalu beriringan dengan beduk, ia begitu bahagia menjadi santapan orang-orang yang merayakan kemerdekaan. Daging-dagingnya menjadi daging orang-orang yang beriman, yang selalu memuja kebesaran Sang Pencipta.

Sekarang ia sangat berharap, orang yang selalu datang dengan rumput, air lerre segera mengeluarkan dirinya agar ia cepat menaburkan calattong dan menyiramkan kencingnya di sawah-sawah agar tanaman cepat subur, padi subur, kacang-kacang juga subur. Ia menunggu orang itu datang membawa tali. Tapi, orang itu tak kunjung datang. bahkan untuk sekedar melihatnya. Ia mendengus. “Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh” ia terpaksa memanggil. Ia biarkan dirinya dicaci, dibilang cerewet, sebab pagi ini ia benar-benar ingin menginjak tanah.

“Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhh” ia kembali bersuara. Namun orang itu tak kunjung datang. Ia terpaksa mendengus. Ia ingin rasanya mendobrak kandang. Ia hanya mengangkat kakinya dan menaruhnya di tempat makannya. Ia kembali mendengus. Tapi tak lama ia menurunkan kakinya. Ia tergeletak tiduran di lantai kandang.

Sapi itu melihat langkah kaki menuju kandang.  Sapi itu berdiri. Ach… orang itu datang tanpa apa-apa. Sapi melenguh kecewa. Sapi itu mundur. Melompat ke depan hampir menyeruduk tubuh orang itu. orang itu memukul dahinya. Ia mendengus keras. Marah.

“Kenapa sapi ini?” orang itu tak menemukan cara untuk menenangkan. Orang itu mengambil rumput hampir kering dan memberikannya. Sapi itu tak memakannya. Tak ada selera. Ia tahu. Dalam rumput itu tak ada rasanya lagi. Lebih hambar dari yang lalu-lalu. Sapi mendongak dan mendengus keras. Melompat dan menyeruduk dinding-dinding kandang. Orang itu semakin tak menemukan cara menenangkan. orang itu menyangka sapinya telah kerasukan setan yang cerdik mengotak-atik akalnya. Kecerdikan setan tak diragukan. Orang itu pergi. Tak terdengar lagi bunyi kaki sapi melompat. Tak terdengar lagi serudukan pada dinding sapi. Orang itu tak menoleh.

Hari beranjak siang. Sapi itu ingin menikmati hangat matahari. Tubuhnya terasa kaku. Kakinya terasa ngilu. Ia tersentak mendengar suara mesin di sekitar kandangnya. Sapi itu menoleh. Ia melihat orang yang biasa memberi makan sedang dengan mesin bajak tanah. Mesin itu mengelilingi tegal. Mengelilingi sapi. Melibas tanah-tanah. Mengeruk tanah-tanah. Sapi itu merasa tersaingi dan terhina. Ia merasa tak berguna lagi. Sungguh cerdik akal manusia. Begitu gumamnya.

Ia pun membaringkan tubuhnya. Kepalanya bersandar pada dinding kayu itu. Terasa mengganjal. Mendengus. Berdiri cepat. Melompat. Menerjang dinding. Menghentak tali di lehernya. Diam. Kembali melompat. Menerjang dinding. Dahinya berdarah. Pedih. Ia berpikir keras untuk melantahkan kandang itu. Aku hanyalah hiasan kandang. Pikirnya.

Sapi itu merasakan haus menggerogoti tenggorokannya. Tak ada air lerre. Tak ada apapun. Ia melihat ke samping kandang. Ada air dengan aroma yang sangat ia hafal. Kencingnya sendiri. ia minum dengan lahap. Puas. Ia merasa mendapatkan tenaga baru mengalir dalam tubuhnya. Dengus nafasnya kencang.

Ini saatnya keluar. melompat tinggi. Ia berbalik melihat pintu di belakang pantatnya. Menerjang dinding-dinding. Tapi penyangga dinding itu sangat kuat. Sapi itu tak bisa menembusnya. Dibalik dinding itu ada kayu melintang. Penghalang. Sungguh cerdik akal manusia itu. Sangat rapat mengurungku. Ia melompat. Kandang itu bergoyang. Gentengnya merosot. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Sebuah genteng menjatuhi badan sapi itu.

Sapi mendengus. Menerjang dan genteng-genteng berjatuhan. Kandang itu bergoyang. Ia menerjangnya. Kayu penghalang itu patah. Sapi lepas dan kandang itu roboh. Ia lari kencang ke arah orang yang mengendalikan mesin-mesin. Menabraknya. Orang itu terpental. Sapi itu mendekatinya dan menyeruduknya. Sapi itu berbalik arah dan menghancurkan pipa, sanyu yang bergelantungan di dekat sumur. Ini yang menyebabkan air minumanku berkarat. Bangsat. Orang tak mau menimba air untukku. Perutku kenyang dengan besi-besi berkarat. Kurang ajar.

Ia berhenti setelah banyak sapi-sapi berdatangan. Para Sapi itu terbahak-bahak. Seperti dalam pesta sapi-sapi. Semua sapi menyorakinya. Tertawaan itu menyakitkan sapi ganas itu. Telinganya mendengar cacian dan hinaan yang paling ganas.

“Kau masih ingin menjadi pembajak sawah? Hah? Apa kamu lupa bahwa menarik bajak tanah itu melelahkan. Silahkan membajak sendirian. Kami disini telah sepakat untuk tak membajak tanah?” semua sapi tertawa ngakak.

 

Yogyakarta 2013



[1] Sapi sonok

[2] Pameran sapi, dalam bentuk arisan (sapi berbaris ke samping berdasar anggota. Setiap anggota membayar berapapun dengan batas maksimal tertentu ex: 20.000 dan uang yang terkumpul di serahkan pada penanggap pameran dan kegiatan ini berpindah-pindah rumah.

[3] Tai sapi (Madura)

[4] Air bekas pencucian beras bercampur keratan tongkol.

[5] Daun bambu (Madura)

[6] Padi yang sudah kering

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak