Lelaki Di Bawah Pohon Siwalan

carpan, sastra madura, mat toyu, bahasa madura, sumenep, sampang, pamekasan, bangkalan, sastrawan madura, sastraawan nasional

DI wajahnya mengalir buliran air yang memantulkan sinar matahari. Air itu kuning keemasan. Air yang mengalir ditubuhnya ingin ia tukar dengan cita-cita yang dikalungkan di leher anaknya terbayar di hari tuanya. Buliran air itu ia biarkan mengalir dari dalam tubuhnya dengan deras. Tidak ada dalam bayangannya untuk mengambil kembali cita-cita yang telah ia kalungkan di leher anaknya. Tidak ada niat untuk mewariskan profesi yang ia geluti saat ini. Tidak ingin anaknya melanjutkan profesi yang digelutinya. Sebuah pekerjaan yang harus tak kenal dalam melaksanakannya.

 

“Panas akhir-akhir ini benar-benar menggigit.” Ucap Mad Ja’i pada teman sekerjanya. Lelaki yang datang untuk membantu memodali dan ingin bekerja seperti itu pula, bernaung di bawah terik matahari.

 

“Kalau dulu, pelepah pisang tak sekering.” Sambungnya lagi. Teman Mad Ja’i masih diam. Hanya gerak kepalanya yang digunakan untuk mengiyakan. Asap yang mengepul di depan temannya menandakan gerak-gerak semilir angin yang sedang mengipas tubuh mereka berdua. Asap itu sering berhamburan dari mulut temannya.

 

Mad Ja’I tidak begitu kecanduan pada lintingan kretek maupun berfilter, ia merasa batangan lintingan terasa hambar di ujung mulutnya yang legam mengkilat itu.
Mad Ja’i tidak bosan-bosan u berangkat kerja sehari-harinya. Pekerjaan adalah tugas yang datang dari pribadinya untuk keluarga, itulah demokrasi untuk dirinya dan keluarganya. Panas datang, tak ia hentikan profesinya untuk mengepulkan asap, meski tidak duduk diatas kursi yang berputar, dalam ruangan yang ber-AC, kecanduan untuk menunaikan profesinya seperti tidak dapat ia hentikan begitu saja.

 

“Aku bekerja untuk diri sendiri, untuk keluarga, anakku. Ya lebih-lebih bisa membantu tetangga.” Ucapnya suatu ketika dalam termenungnya, sehabis menebang pohon siwalan yang dibeli dari tetangganya. Itulah bagian kecil dari profesinya yang menjadi tugas dinasnya setiap hari. Profesi sederhana, tidak menuntut aturan, tidak menuntut presensi, hadir atau tidak hadir ada di tangannya sendiri. Sehingga tidak ada kewajiban untuk membubuhkan tanda tangan di kolom yang tersedia. Jika tidak bisa hadir, ia tidak harus minta izin, jika tidak mau datang ia tidak harus mengirimkan tanda tangan. Hah? Iya. Mad Ja’i tidak akan menitipkan tanda tangan pada orang lain, tidak akan menitipkannya pada teman terdekatnya sekalipun.
Ya, ia akan berangkat jika ada orang yang menawarkan pohon siwalan untuk dijual pada dirinya, ia akan berangkat jika ada orang yang memesan pohon siwalan untuk penyangga atap rumah, lalu ia kan mencari orang yang akan menjual pohon siwalan atau pohon kelapa agar bisa di produksi ulang bersama karyawannya sebagaimana pesananan pembeli. Membeberkan kriteria yang diinginkan pembeli. Membeberkan pada siapa saja yang ia temui dalam perjalanan menuju tempat kerja yang tidak tentu.


Maos jugan

 

Terkadang ia membeberkan kriteria itu pada orang yang akan menaiki pohon siwalan untuk mengambil niranya dari beberapa batang manyang. Terkadang kupingnya mendengar, ada saudaranya, tetangganya, dan orang-orang lain yang membutuhkan uang. Jika seperti itu, artinya orang itu akan menjual salah satu pohon yang disayanginya. Seperti pohon siwalan yang sangat deras mengalirkan nira pada tiap pagi dan sore bagi pemiliknya; air nira yang menjadi pengepul asap kehidupan para tetangga Mad Ja’i. Ia sangat bangga jika ada orang yang akan menjual pohon jati sebesar pelukan tangannya atau bahkan melebihinya. Senyumnya seperti tidak akan tergantikan dengan kebahagiaan yang lain selama berminggu-minggu.

 

Senyum itu akan datang bila ada pesanan yang berkaitan dengan kayu, mulai dari kayu bakar, kayu bahan bangunan yang biasa berdiri dan telentang di bawah atap, bahan jendela, pintu atau dipan. Iapun akan mencari bahan-bahan itu seperti yang pemesan utarakan. Mencari pada tetangga dekat. Tidak lupa untuk merayu orang-orang yang memiliki banyak pohonan.
Sebelum matahari menyusup di balik-balik lambaian dahan dan daun pohonan, Mad Ja’i harus tiba di rumahnya. Untuk melihat anaknya yang akan berangkat ngaji ke surau. Untuk menciumkan tangan pada anaknya. Seperti biasa sebelum fajar tergelar di timur. Mad Ja’i akan mencuci wajahnya hingga kakinya. Menadangkan tangannya ke langit.

 

“Meski ini pekerjaan berat, aku tidak akan berhenti. Aku sadar. Lulus TK pun aku tidak. Biarlah anakku yang harus lebih tinggi sekolahnya dariku. Aku tahu. Jika aku menunggu pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan, itu hal mustahil. Apalagi aku tidak memiliki ijazah sebagaimana pemerintah inginkan.” Suara itu keluar pada malam purnama kliwon, sekitar jam dua lebih. Saat orang-orang ada yang terlelap dalam selimutnya. Di pipinya ada linangan air mengalir, tiba-tiba terasa asin di bibirnya yang legam.

 

“Semoga anakku menjadi Guru sebagaimana guru biasanya, akan mengajar meski tanpa dibayar. Semoga anaku tidak mengeluh jika memiliki bapak yang kere, bapak yang hanya bisa mendoakan pada malam hari. Semoga anakku sabar di suraunya sekarang, seharusnya ia masih dalam buaian ibunya, tapi ia mau berangkat ngaji ikut kakaknya dan tidur di surau.” Air yang setengah asin semakin menderas alir di pipinya. Sedunya semakin nyaring di Kobhungnya.
“Aku tidak ingin anakku sama melaratnya dengan aku. Biarlah aku dan ibunya yang melarat seperti ini, tapi tidak dengan anakku. Ia masih kecil. Tuhan...” Kepalanya hanya menggeleng-geleng. Lambat dan sebuah harapan agar tidak terjadi pada anaknya.

 

Di kobhungnya ia akan menunggu fajar dengan menelungkup dalam selimut. Ia rebahkan lagi tubuhnya dengan alas tikar daun siwalan yang biasa dirajut oleh istrinya untuk menambah kayu bakar demi mengepulnya asap dan isi perut. Ia tidak ingin kalah pada ayam, ia tidak ingin paginya hilang dipatuk ayam karena ayam sering mencuri pagi. Ayam lebih sering mendahuluinya. Lalu ia akan bangun bersama fajar. Sehabis ritual yang diawalid dengan takbir dan diakhiri dengan salam ia akan mengisi bak mandinya. Agar anaknya tidak susah saat mandi, saat mencuci muka dan bersikat. Memikul air dari sumur yang ada di belakang dapurnya ke bak mandinnya. Karena dulu ia tak tahu kalau akan ada sumur di belakang dapurnya. Sehingga ia tidak menaruh kamar mandi di sampin sumurnya.

 

Seperti biasa. Sebelum Mad Ja’i menciumkan tangan pada anaknya dan mengusap kepala anaknya ia tidak akan berangkat dengan kapaknya. Selain itu ia ingin langsung menatap keriangan anaknya saat menerima uang saku dari dirinya. Ia akan berangkat ketika anaknya telah mengucap salam.

 

Mad Ja’i berjalan dengan santai. Di tangan kanannya ada kapak. Lambaian tangan kirinya tak seimbang dengan kanannya. Jalannya tampak berat sebelah. Barangkali karena gangguan kapak. Kapak di tangannya sering saja menetak apa saja yang mengganggu perjalanannya, namun lelaki itu tak sembarang menebang pohon yang merunduk pada jalan, tak sembarang menebang pohon yang ia sukai. Ketika ia berjalan dengan kapak di tangannya hanya untuk memastikan keadaan kayu atau pohon yang ditebangnya besok atau nanti sore setelah deal dibeli dengan harga yang sesuai dengan kesepakatan antara penawaran dan permintaan.
Ia membelinya untuk didaur ulang dan dijual dengan kesepakatan harga yang diproses antara permintaan dan penawaran dari lelaki itu dan lelaki itupun menjualnya dengan harga pas dan tidak merugikan dirinya dan tidak membuat orang lain kecewa dengan batangan kayu yang telah sesuai dengan permintaannya. Untuk menjamin itu, agar kayu yang dibelinya dan agar ketika dijual tidak merugikan dirinya, sebelum ditebang lelaki itu harus memukulkan punggung kapak untuk memastikan apakah kayu itu tengahnya berlubang karena dimakan semut atau tidak, itu jika kayu, jika pohon siwalan atau pohon kelapa, ia harus menaikinya pohonan itu paling tidak dua meter sebelum sampai di ujungnya dengan ketinggian pohon diatas duapuluh meter.
Hal itu ia lakukan agar pohon itu tidak putih, sebagaiman yang ia inginkan adalah pohon siwalan hitan hingga ke ujungnya, untuk itu ia menyuruh orang yang bisa menaiki pohon siwalan untuk melukai pohon itu, untuk melihat hitam atau tidaknya. Karena ia sendiri tidak bisa menaiki pohon yang tinggi tidak berdahan itu. Mad Ja’i sangat takut sekali menaiki pohon setinggi itu. Ia hanya berani pada yang satu tangga.

 

***


Maosn jugan

 

Lelah, capek dan letih menggeroti tubuhnya. Ia harus segera telentang dan melelapkan tubuhnya, pikiran dan segala yang biasa bergerak, bahkan istrinya pun tidak ia sentuh dengan kemesraan biasanya untuk kehangatan. Malam ini ia memilih teras rumahnya sebagai pelampiasan rasa ngantuk yang berjubel di matanya. Biar angin yang semilir dapat mengipas tubuhnya dan dengan mudah kantuknya cepat melesat. Pikirnya pragmatis. Tapi angin yang diharapkannya tidak mampu menyejukkan tubuhnya.

 

Meski matanya tertutup, tapi tidurnya tidak nyenyak. Seperti ada yang hilang dalam bayangan pikirannya. Seperti ada jejak langkah kakinya yang dicuri hewan dalam perjalanan pulang. Lebih-lebih lempengan-lempengan pertanyaan yang memburunya. Meski tidak melakukan sendiri, tadi pagi ia memang melukai pohon siwalan yang dibeli dengan harga cukup mahal dan ia percaya pada temannya yang mengatakan bahwa pohon siwalan itu hitam, seperti yang diinginkan pembeli. Tapi malam ini nyenyak tidurnya seperti terganggu dengan pertanyaan kecil-kecil yang menyucuk rahang-rahang di batok kepalanya, terkirim ke isi dadanya melalui syaraf kecilnya. Mad Ja’i hanya bisa bergolang-guling di teras rumahnya.

 

Rembulan yang berjalan pelan diatasnya tidak benar-benar bulat. Tapi perak warnanya tidak kurang sepeser pun. Warna perak itu bisa mengemas malam menjadi malam rindang, malam harum dengan taburan pucuk-pucuk bunga manyang, bunga siwalan dan bunga pohon kelapa, dan bunga-bunga pohon yang Mad Ja’i tebang setiap hari. Rembulan itu tidak sempat menyorot Mad Ja’i yang sedang ingin melelapkan tubuhnya di teras itu. Karena pada malam itu rembulan tidak menebar peraknya di dini malam. Lubang-lubang kecilpun tidak mampu untuk mengantarkan perak rembulan itu ke tubuhnya. Rembulan pada malam itu dalam lingkaran bulat yang mengelilinga. Awan-awan melintasi di bawahnya. Pelan. Kapal terkadang juga melintas di bawahnya. Tapi pertanyaan kecil di batok kepala Mad Ja’i masih terngiang, “bagaimana kalau siwalan itu putih?”

 

Mad Ja’i tersenyum puas. Tidak disangka sumur yang dalamnya lebih dari dua puluh lima meter itu airnya meluap sendiri, mengalir dengan deras hingga ke ladang-ladang yang mengelilingi rumahnya. Sumur itu terletak di  belakang dapurnya yang menghadap ke selatan. Ia dapat dengan mudah memindahkan air itu ke bak mandinya, ke dapurnya. Tanpa pompa air. Tanpa menimba juga.

 

“Sekarang aku tidak lagi menginginkan untuk membeli pompa air, buat apa beli pompa air, kalau air sudah meluap seperti ini, tidak ada gunanya. Wah ini melebihi orang kaya. Orang kaya kalah.  Mereka harus membayar listrik agar pompa airnya bisa mempompa air. Akh...” Ucapnya berlagak sinis dan mencibir. Istrinyapun hanya tersenyum. Suatu saat yang jarang terjadi dalam hidupnya.

 

Orang-orang yang biasa menimba air di sumur itu, seperti laron yang menemukan sinar di malam gelap, berkerumun, menimbanya dan langsung memasukkan ember-embernya ke mulut sumur itu. Seharian orang-orang tidak sepi di rumahnya. Datang bergiliran. Lebih ramai dari biasanya. Sungguh ia tidak menyangka akan kedatangan air seperti itu. Yang langsung meluap dari dalam sumur yang sangat dalam itu.

 

Nyanyian yang biasa berlantunan menandakan fajar tiba mengganggu nyenyak tidurnya. Mad ja’i bergegas ke kamar mandi. Air dalam bak mandinya masih sedikit seperti biasanya. sebelum  membasuh mukanya, berkumur, hingga mencuci kakinya Mad Ja’i harus menimba air di sumurnya paling tidak tiga ember. Ehm hanya mimpi. Celetuk batinnya.
Ia tidak mengutarakan mimpinya pada istri ataupun teman sekerjanya.
“Mungkin sebentar lagi kita akan bisa dengan cepat membeli pompa air!” Begitu ucapnya saat makan pagi sebelum berangkat kerja. Istrinya hanya mengamini apa yang diungkapkan suaminya. Ia pun mengutarakan hal yang sama pada temannya yang biasa dia ajak berbincang dan berbagi.

 

“Ini ada orang yang akan menjual pohon lagi. Wah tambah pasti ini.” Celetuk dalam batinnya.

 

“Sampeyan Mbak?” Ucapnya dengan sedikit lemas. Seperti sudah kehabisan tenaga.

 

“Iya. Aku ini di jelek-jelekkan orang. Katanya mencuri kayu orang. Menjualnya ke kamu.” Jawabnya Mbaknya. Mad Ja’i tidak mengerti. “Itu pohon nangka yang ada di barat dapurku, yang kamu tebang kemarin sore, itu bukan milikku. Milik Sunaya. Aku tadi dihina-hinanya sampai mati-matian. Katanya aku perempuan tidak becus, bukan hanya mencuri kayu, juga mencuri pacaran Sunaya.

 

Ya. Aku kaget. Aku tidak menyangka akan terjadi seperti ini. Sebelumnya aku juga minta maaf. Ini pasti mengagetkan keluargamu. Istrimu pasti merasa terpukul dengan ini. Tapi aku juga minta sama kamu untuk membantu memperbaiki hubungan antara aku dan Sunaya agar tidak berkepanjangan.

 

Tolong belilah dan bayarkan uang itu pada Sunaya, seperti yang kau tawarkan empat hari lalu padaku. Aku tidak menyangka. Kamu akan menebang yang itu. Padahal pohon nangka yang asli punyaku masih  kecil dan tidak layak untuk dijadikan bahan apapun. Masih seperti betis, mau dibuat apa!”

 

“Ehm. Kemarin saya kan sudah bertanya dengan pasti. Bahwa pohon nangka yang besar itu akan saya beli. Saya sudah memastikan bahwa yang akan saya beli adalah pohon nangka yang besar, yang ada di bawah pinggir ladang itu. Bukan yang kecil.” Jawab Mad Ja’i. Tangannya mengusap dagunya yang terasa malas.

 

“Ya, aku juga kaget, aku tidak memliliki pohon nangka pohon  besar. Tiba-tiba kau tawar dengan harga setinggi itu, perkiraanku yang kecil itu yang akan kamu beli, ya aku berikan. Aku benar-benar tidak menyangka akan terjadi seperti ini.”

 

“Ehm. Air itu benar datang. Memandikan keluargaku. Celetuk hatinya.

Lembah Wungu YK 2011

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak