Luka yang Menua

Luka yang Menua, muhtadi zl, misnali misnah, sastra & bahasa madura, jember, lanceng, sejoli, pacaran


Di teras depan, Misnah tanpak murung. Ia duduk di kursi plastik warna hijau yang pudar warna karena termakan kenangan. Tatapan Misnah nyaris datar. Belum lagi, pikiran dan hatinya saling beraduk tempur mengharap Misnali cepat pulang. Lelaki yang sudah memberinya kehidupan hingga usia senja seperti saat ini. Tetapi, sejak satu yang lalu, ketika lelaki asal pedalaman Gedangan itu pamit untuk pergi merantau ke luar kota, tak pernah memberi kabar sampai membuat Misnah rindu tak terperi. Dirinya bingung harus bertanya kepada siapa, pun juga tidak tahu harus meminta tolong dengan cara apa.

Semenjak satu atap dengan Misnali, Misnah tidak pernah diperbolehkan memegang Hp, bukan tanpa alasan, selain Misnah tidak tahu, Hp di masa madunya tidak begitu familiyar. Tidak semua orang yang bisa memiliki Hp, tetapi Misnali lain sendiri, di usia remajanya, ia sudah memegang dan memiliki Hp. Misnah jelas tidak tahu dimana Misnali mendapatkan cukup uang untuk membeli Hp yang kala itu harganya melangit. Tidak sembarang orang yang bisa membeli Hp.

Pada akhirnya, kau tidak mau tahu bagaimana Misnali mendapatkan banyak uang untuk membeli Hp, yang Misnah ingin ialah bagaimana Misnali bisa tertarik padanya, karena dengan begitu, Misnah bisa mendapatkan keduanya. Tetapi begitu, Misnali tidak juga kunjung tertarik kepada Misnah, seolah apa yang ia lakukan semuanya sia-sia. “Apa begitu orang kalau kaya sendiri?” rutukmu dalam hati.

Maos jugan

Misnah tidak pernah putus asa untuk mendapatkan cintanya Misnali. Setiap bertemu Misnah selalu mencari perhatian Misnali, lagi-lagi begitu, Misnali selalu tanpak acuh dengan apa yang dilakukan Misnah. Bahkan Misnah sempat menduga kalau Misnali sudah punya perempuan lain yang tiada lain ada di dalam Hp itu. Tapi dengan akal warasnya, ia urung buru-buru menuduh, pertanyaan yang tidak mendasar itu cepat-cepat ia lempar jauh. Jika tidak begitu, mungkin Misnah sendiri yang akan kenak batunya. Misnah tidak mau lelaki yang mampu membuatnya jatuh-sejatuh-jatuhnya pada masa-masa kaula muda, tidak mau hilang karena pikirannya sendiri. Tidak mau, benar-benar tidak mau!

Setelah hampir satu bulan lebih mencari cintanya, akhirnya Misnah mendapatkan apa yang didambanya. Tepat purnama di bawah pohon mangga Pak Munip, Misnah dan Misnali berpapasan, dan kebetulan Misnali hendak mencari Misnah ke rumahnya. Dalam dirinya, ia ingin bertanya pada Misnah apakah cintanya itu tidak main-main. Sama seperti dirinya yang juga tidak main-main dengan tidak mengubris usahanya Misnah. Di bahwa guyuran sinar purnama dan rindang pohon mangga, Misnali menyapa, lalu kemudian mengajak Misnah untuk berbicara sebentar. Sedang Misnah yang sedari jauh tadi senyam-senyum menahan candu pada lelaki yang berkemeja abu-abu tiada mampu ia tutupi lagi.

Setelah menyeret Misnah yang nyaris lurus di bawah purnama, Misnali hendak menanyakan keseriusan cinta yang Misnah umbar padanya. Tetapi, ia bingung harus dari mana ia memulai dan menyatakannya. Pasalnya, ia tidak sanggup menatap lamat bola mata Misnah yang bersinar terkena tempias sinar purnama. Begitupun Misnah yang juga tidak ingin berlama-lama memaku tatap pada Misnali.

“Aku ingin bertanya sesuatu padamu?” gemetar Misnali bertanya sebab sejak pertama kali memegang dan menyeret tangan Misnah, gemuruh serupa guntur di dadanya tidak bisa ia tenangkan kembali.

“Tanyakan saja, aku siap menjawabnya.” Ia mencoba menjatuhkan diri pada suasana.

Lagi-lagi Misnali bingung harus memulai dari mana, pikirannya berkecamuk sendiri. ia teramat gugup, belum lagi baru kali ia begitu dekat menatap perempuan. Kakinya pelan perlahan mulai gemetar. Ia sungguh bingung harus memulainya dari mana, pikirannya kosong. Degub jantung semakin kencang. Sunyi merampas kemesraan mereka.

“Misna, kau tidak bermain-main kan dengan perasaanmu itu?”

Wajah bahagia Misnah tiba-tiba merah merona. Ia tidak tahu harus jujur malan itu atau tidak. Dirinya juga sadar tidak akan menemukan kesempatna seperti malam itu lagi. Dengan segala pertimbangan, dan menyakinkan diri bahwa cintanya kepada Misnali tidaklah main-main.

Maos jugan

“Benar, aku tidak main-main dengan perasaanku kepadamu, ujar Misnah setelah segala tanya menjadi satu.

“Mengapa kau mencintaiku?”

“Kau tidak seperti mereka!”

“Siapa mereka?”

“Mereka, teman-teman sebayamu.”

“O…. kenapa memang teman-temanku?”

“Hemmm….”

Misnali tidak tahu harus bagimana memulai dan mengakhiri percakapan. Sehingga yang meluncur dari mulutnya selalu pertanyaan. Tanpa menyadari perasaan Misnah itu sendiri. Karena saking gugupnya, Misnali tidak tahu apa yang diutarakan itu membuat suasana kaku, dan Misnah kesal dengan Misnali yang tidak peka terhadap perasaan dirinya.

“Maaf, Maaf, aku tidak sengaja dengan yang kuutarakan. Sekali lagi, maaf.” Dengan segala sesal, Misnali meminta maaf kepada Misnah yang tidak tahu berkomunikasi.

Selama ini, Misnali jarang bertegur sapa dengan lawan jenis, sehingga tidak mau tidak, saat dihadapkan dengan situasi seperti malam itu, ia tidak bisa memecahkan sendiri. belum lagi, sampai sebelum Misnali berpapasan dengan Misnah, ia hanya sebagai peternak ayam. Jarang berkumpul pasti ia temui, mengingat kesibukannya sebagai peternak yang tidak bisa ia tinggalkan.

Misnah memasang wajah masam, ia merasa lelaki seperti di depannya tidaklah cocok bersanding dengan dirinya, mengingat Misnali yang tidak peka. Tetapi ketidaksukaan Misnah terhadap Misnali tidaklah mampu megalahkan cintanya yang tumbuh dan ia rawat sampai pada detik dimana dirinya bisa menatap dengan jelas wajah Misnali. Ia tidak mau gegara Misnali tidak peka, tiba-tiba dirinya meningalkan Misnali. Tidak demikian yang ia inginkan. Cukuplah ia tidak suka dengan ketidakpekaan Misnali tanpa perlu menyeret jiwa nan raganya.

Di hari itu, yang entah kapan, kau telah menjatuhkan cintamu pada Misnali. Kau tidak tahu Misnali anak siapa? Orang mana? Pekerjaannya apa? Segalanya Misnah tidak tahu, yang ia tahu kalau Misnali mampu membuat dirinya melabuhkan cintanya seluas samudera. Dan Misnah juga tidak tahu Misnali itu perangainya bagaimana?

Dengan posisi duduk yang sama di teras depan, Misnah mencoba menarik senyum yang kisut di bibir tuanya.

“Persmisi Mbah,” seseorang mengaburkan lamunan masa kaula muda Misnah.

Misnah terperajat, mencoba mencari asal suara. Sejatinya Misnah tidak asing dengan suara itu, namun meski begitu, ia tentu harus menemukan asal suara untuk kemudia menyapa dan menanyakan keperluannya apa.

“Oh…. Kamu, ada perlu apa?” dugaan Misnah benar kalau pemilik suara itu adalah Tumi yang tiada lain merupakan cucu duapupu.

“Mbah Misnah sudah makan?”

Pertanyan Tumi mengingatkan Misnah kalau dirinya sedari malam tidak makan. Bukan karena tidak lapar, tetapi rasa rindu terhadap suaminya mengalahkan segalanya. Ia sangat tidak berselera untuk memasukkan makanan apaun ke mulutnya. Ia seolah mati rasa untuk hal itu, kecuali rindunya terobati, mungkin segalanya akan kembali ke awal.

“Belum, Nak. Kamu bawa makanan lagi?” Misnah mencoba bertanya seolah dirinya sungguh sangat lapar.

“Kalau begitu, ini makan dulu, Nek,” timpal Tumi sambil mengulurkan bawaannya.

Dengan Tumi, Misnah sungguh sangat bangga. Cucunya yang satu itu pengertian sekali dengan kondisi dirinya. Semenjak sang suami minggat dengan dalih merantau mencari penghidupan keluarga, Tumi-lah yang selalu membawakan bekal makan pagi, sore dan malam. Bukan hanya itu, kehadiran Tumi juga menjadi kebahagiaan tersendiri yang Misnah rasakan. Bukan perihal kehilangan, tetapi Misnah terlalu lama mengakrabi sepi. Jika dihitung mundur, tentu Misnah sudah lupa.

Tumi tidak pernah lelah melayani neneknya, bukan karena alasan lain. Bilamana ibunya yang melakukan, siapa yang akan mengurus adiknya di rumah. Belum lagi, bapaknya yang tidak juga kunjung pulang setelah kelahiran akan ke duanya. Sehingga tidak heran jika Tumi selalu jarang dizinkan pulang terlalu lama.

“Kamu tidak keburu-buru kan kan, Nak?” tanya Misnah meyakinkan dugaannya.

“Tidak juga, Nek. Cuma dari ibu, Tumi tidak boleh terlalu lama juga, soalnya masih harus ke rumah tante Misni.”

Hati Misnah sedih mendengar pernyataan Tumi yang tidak boleh berlama-lama di kediamannya. Padahal di awal mendengar suara Tumi, Misnah sudah semringah karena cucu kesayangannya ada di dekatnya.

“Kalau begitu, Tumi pamit dulu ya, Nek.”

Misnah tidak bisa mencegahnya, lagian nanti malam Tumi akan menemuinya lagi.

“Iya, Nak.”

“Eh, ada pesan dari bapak, Nek. Katanya kakek telah meninggal dan dikubur berdampingan dengan kuburan perempuan lain,” begitu berat dada Tumi mengutarakannya. Meski sejatinya, kedatangannya bukan hanya memberi bekal makan, tetapi juga mengabari kepada neneknya kalau sang kakek telah meninggal di tanah rantau sana.

Antara Misnah dan Tumi tidak saling berujar, tidak saling berucap, tidak saling bertatap. Segalanya hening, sehening kesepian yang teramat lama menemani Misnah, dan dengan kabar itu, purnah sudah kesepian Misnah hidup dengan sunyi.

 

Ledokombo, 17 November 2023

-Cerita teruntuk terkasih, Mawaddatin Warahmatan Aulia

*Muhtadi.ZL. Merupakan alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura. Tulisannya berupa Esai, Opini, Cerpen, Resensi dan Puisi yang telah dimuat diberbagai media online dan offline.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak