CARPAN: Bara Bertabur Menyan

Carpan Madura, Cerpen, Mat Toyu



 

Bara Bertabur Menyan[1]

 

Lelaki tua berdiri di depan pintu. Sarung tergulung besar di atas perut. Sarung itu menutupi hingga bawah lutut. Sebatang rokok terjepit di bibir. Tangan kanan menyalakan korek. Tangan kiri menghalau angin. Aroma asap rokok itu bercampur antara tembakau dan menyan. Bersama tarikan nafasnya. Ia hembuskan asap rokok itu pelan-pelan. Lelaki itu seperti melepas penat yang menggunung di pundaknya. Dengan langkah yang tak lagi kokoh sebagaimana usia mudanya, ia melangkah ke kursi terdekat dan melemparkan pantatnya.

 

Ia seperti hendak bergegas untuk mengambil tampar sebesar jempol tangan. Berlari cepat menuju sumur. Memasang tampar mengikat renjing di ujung tampar dan menuruni sumur yang sedalam tujuh belas depa itu. ahhh. Tak mungkin juga itu terjadi. Celetuk dalam pikirannya. Pikiran lelaki tua itu terseret pada pompa air yang sudah tiga hari tak mengalirkan air ke bak mandi. Ia tak ingin merepotkan anak-cucunya yang harus mencari air atau harus membeli air pada PDAM atau mengambil air ke sumur yang jauh dan mahal. Ia ingin anak-cucunya nyaman dengan air yang bersumber dari pekarangan terdekatnya. Ia ingin anak cucunya menikmati tanah airnya sendiri. Seperti beberapa tetangga yang harus membeli air pada orang lain selain karena tak memiliki pompa air, juga tak memiliki sumur. Untuk mendapatkan air. Mereka harus membeli pralon sepanjang dari sumur hingga rumahnya dan membayar setiap bulan sesuai pemakaian dan kesepakatan. Nafas lelaki tua itu tak begitu normal. Berada di antara sehat dan sesak nafas. Dan ia istiqomah dengan rokoknya.

 

“Ambil tampar!” Perintah lelaki tua setelah melihat cucu lelaki pertama melintas. Lelaki muda berlari. Memasuki dapur. Mengambil tampar di atas durung. Kembali berlari menuju sumur. Di sumur tua itu sudah berdiri dua orang lelaki. Lelaki tua dan lelaki berkepala tiga yang baru saja datang membeli rokok Gudang Taresna. Lelaki itu selalu datang, jika tahu bahwa pompa air akan diperbaiki. Tiga lelaki di dekat sumur.

Maos jugan

 

“Kita mulai.” Ucap lelaki tua sembari menyemburkan asap rokok yang beraroma dupa. “Ambil menyan, cong! Ini perkara bahaya. Kita mesti menghormati leluhur. Mereka mendoakan kita. Mereka hadir di antara kita, menyaksikan pekerjaan kita. Dan mungkin karena kita sudah jarang mengingat mereka, jadinya air sumur tak mengalir.” Lelaki tua menerangkan Sembari mengkalungkan tampar pada kayu malang di atas sumur. Aroma menyan semerbak di udara. Matahari merangsek pelan. Seorang perempuan datang membawa ember kecil berisi tiga cangkir dan membawa ceret kopi.

 

“Ini kopi. Biar tidak begitu pahit menarik tampar.”

 

Enggi kalangkong.”

 

“Dalam sumurnya.” Ucap perempuan yang baru saja mengantarkan kopi. Lelaki tua dengan lelaki berusia tiga lima itu masih mengikat renjing untuk tempat orang yang akan mengambil pompa air ke dalam sumur.

 

“Menyannya taruh di tiang sumur sebelah timur!”

 

“Baca dulu yang seayat!” Celetuk lelaki berkepala tiga yang merokok Gudang Taresna. Ia ngekek.

 

Kayanya serem!” Timpal cucu yang baru saja belajar merokok.

 

“Jangan bercanda dulu. Ini cukup membahayakan.”

 

“Iya. Masak bercanda. Masak karena disampaikan sambil merokok dianggap bercanda.” Suasana nyaris tegang. Lelaki itu terbiasa melontarkan celetukan-celetukan yang sulit dibedakan antara berkata serius dan bercanda. Banyak orang yang terkadang terpancing emosi. Sekali bicara serius. Orang-orang justru takut untuk berbicara.

 

“Silahkan!” sambung lelaki yang biasa bercanda itu.

 

“Pelan-pelan saja masuknya. Ini yang nahan (narik tampar) cuma berdua.”

 

“Yang masuk satu, orang!” Timpal lelaki termuda. Lelaki yang lebih tua itu Cuma melihatnya. Agar tidak bercanda. Anak muda itu hanya menutup mulut dan mata terbelalak.

 

“Apa sudah sampai ujung?”

 

“Hampir. Pelan-pelan saja. Sedikit lagi. Pas. Terus. Terus. Dikit lagi. Ops!”

 

“Saya mau mencicipi kopi dulu, ya.” Pamit remaja itu.

 

Manis?” remaja yang minum kopi hanya mengangguk atas pertanyaan itu. mereka pun menyalakan rokok. Mereka duduk di tembok setinggu lutut dengan lebar selengan dan panjang satu depa. Tempat juga untuk tempat mencuci. Sedang lelaki tua berada dalam sumur. Mempreteli mur-baut agar segera terlepas dan bisa diangkat. Tak lama kemudian terdengar suara.

 

“Ayoo tarik!”

 

“Ayoo.”

 

“Disini cukup panas. Bikin berkeringat.” Ucapnya dari dasar sumur. Lumpur mongering. Mereka pun menarik tampar seperti menarik timba dari dalam sumur. Sedang sekarang mereka menarik renjing berisi pompa air. Wanita pedagang Cendol-Tapai kebetulan sedang melintas dekat sumur itu.

 

“Ini mas Tapai ketan sedikit. Barangkali bisa nambah tenaga dikit.” Ucapnya sembari menaruh dagangan di tembok tempat mencuci yang selebar satu depa. Dagangan Cendol-Tapai disunggi dalam wadah besar. Pedagang itu bersedekah tapai.

 

“Wah. Mator sakalangkong, Nye. Itu pasti menyegarkan. Hahaha… apalagi jika diolesi susu. Susu murni yang gambar kalengnya ‘wanita nyunggi ember!” Ucapnya sembari tetap menarik tampar bersama remaja itu.

 

“Hati-hati, nak. Berbahaya. Jangan banyak tertawa. Ini pekerjaan yang cukup berat dan membahayakan. Di dalam (sumur) pasti ada orangnya kan?”

 

“Tentunya, Nye.”

 

“Enggi. Waspada ya. Bila akan terjadi. Sulit terhalang, cong. Kecelakaan. Dan lain lain.”

 

“Enggi, Nye. Terima kasih banyak atas tapaynya. Besok lewat ini akan saya beli semua, Nye. Hahaha.”

 

“Terserah kamu dah. Cepat beres tuh sumur. Biar segera bisa minum air. Tak ada air. Susah. Haus. Susah nyuci. Sebab air yang utama.” Ucapnya terus melangkah. Dan.

 

“Hah… Melayani omonganmu. Sampai kiamat pun cendol ini tak terjual.” Wanita yang sudah bercucu tiga itu tetap melangkah, menjauh dari sumur untuk mengedarkan cendol-tapainya. Pompa air telah diturunkan dari renjing. Sekarang waktunya mengangkat lelaki tua itu yang batuk-batukan dalam sumur.


Maos jugan

 

“Cepetan!”

 

Renjing yang terikat pada tampar itu pun kembali dimasukan ke dalam sumur dengan cepat. Lelaki tua itupun terangkat ke atas bersama renjing. Menarik renjing berisi orang memang lebih berat daripada menarik renjing berisi pompa air. Sama-sama bertaruh nyawa. Jika pada saat menarik renjing berisi pompa air dan terjatuh. Nyawa lelaki tua itulah taruhannya. Dan saat ini pun nyawa lelaki tua itu pula taruhannya.

 

“Merokok dulu, Man.” Lelaki muda itu berseru. “Ini kopinya menyegarkan apalagi ditambah dengan tapai ketannya itu. behhh… lupa pada musim kemarau yang panjang.”

 

“Ternyata kalian dapat tambul cukup banyak. Di dalam (sumur) panas banget. Sulit sekali bernafas. Nyaris mati. Ampun sudah. Nanti kamu saji yang masang ke dalam (sumur).” Nafasnya terengah-engah. Keringat bercucuran. Lelaki tua itu minum kopi. Makan tapai ketan dan membakar rokoknya.

 

“Moga saja laris manis yang dagang cendolnya. Kita mendapat kenikmatan yang besar seperti ini, di tengah panas yang gersang. Lihat saja ubi-ubian tidak bisa tumbuh karena tidak ada air. Pohon-pohon pisang mulai mongering. Pada saat aku kecil dulu, tak ada kulit pohon pisang sampai mengering seperti itu. Lihat pohon pisang itu. Kering sekali kan. Alam sudah berubah. Panas sekali. Jaman kecilku dulu tak sepanas ini.” Ucapnya pelan. Ia duduk di tembok tempat mencuci. Terhidang kopi dan tapai ketan. “Sudah dilihat mengapa pompanya tak bisa menyedot air.” Tanyanya setelah menghisap rokoknya.

 

“Ada bocornya dekat sambungan L ini. Harus dilem dulu.” Ucaprnya!!!



[1] Diterjemahkan dari cerita pendek berbahasa madura (Carpan) yang berjudul “Seppet Atompang Mardha” Karya Mat Toyu dalam antolog Carpan “Kerrong ka Omba’.” Penerbit Sulur. 2019.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak