cerpen: Kutukan Malam

cerpen, carpan, sastra & bahasa madura, puisi, sanja', mat toyu, kerrong ka omba', lukisan musim lalu

"Entahlah, aku mau memulainya dari mana. Tapi yang jelas begitu terpukulnya jiwaku saat ini. Meninggalkanmu sepertinya tidak akan pernah benar-benar siap".

"Aku bodoh. Ya, benar. Aku memang orang yang sangat bodoh. Bodoh sebodoh-bodohnya. Entah dari mana aku tiba-tiba menjadi laki-laki paling bodoh kala itu."

"Semuanya berjalan atas dasar ketiadaan pertimbangan. Aku yang terlalu ceroboh. Melakukan hal terlarang di antara kehati-hatian moral".

Malam memekat. Aku sendiri. Semakin menjadi diri. Tidak tahu kondisi mana yang harus aku adukan. Semuanya pecah. Berantakan tak berdaya. Hanya bisa memejamkan mata. Menjadi gelap di antara yang gelap. Semuanya tak terlihat sebagai warna. Hanya kamu yang tersisa utuh dalam genggam yang tidak bisa aku sentuh.

"Sungguh aku belum siap bicara langsung kepadamu, tapi  aku lebih belum siap lagi jika harus melupakanmu.Kamu yang menerimaku sebagai manusia disaat isi dunia menghujatku sejadi-jadinya".

"Aku hanya bisa sampaikan ini..."

Dear kamu...

Aku tidak tahu gimana bencinya kamu saat ini terhadapku. Kecewanya kamu. Lukanya kamu. Terpukulnya kamu. Yang bisa aku lakukan hanya 'maaf'. Dan itu tidak akan merubah keadaan. Aku telah mengecewakan. Aku telah membuat semuanya berantakan. Hancur lebur. Tak ada lagi harapan.

Maos jugan

Dear kamu...

Di saat tulisan ini aku buat, pecahlah segala tangis. Bercampur antara ketidakmampuan atau memaksa berdamai pada keadaan. Aku tidak tahu harus membahasakannya bagaimana. Aku telah menikah. Terpaksa menikah. Menikah yang bukan pilihan. Menikah atas dasar kecerobohan. Aku telah menjadi orang yang mengotori suci ikatan. Memulai dari kesalahan. Dari kebodohan yang aku mulai sendiri.

Dear kamu...

Aku tidak tahu, posisimu saat membaca tulisan ini sudah tahu atau tidak. Tapi peristiwa malam itu benar-benar singkat. Aku terperangkap. Mati dari segala pikir dan gerak. Mulut diborgol dari segala arah. Terjebak pada kata sendiri. Besoknya aku sudah menikah. Menjadi seorang suami yang sah dari cinta dan perempuan yang tak perna aku pinta.

Dear kamu...

Dua pekan berlalu. Dan aku belum sadarkan diri. Semuanya masih terasa mimpi. Gelap dan menyeramkan. Langkah tiba-tiba hilang. Aku hanya sebatas bongkahan beban yang menyisakan nyawa-nyawa penyelasan. Tak ada lagi suara. Hanya pekikan tak berkemanusiaan yang selalu lantang dari mulut perempuan di hadapanmu.

Dear kamu...

Entah kapan tulisan ini sampai. Sungguh aku benar-benar hancur. Tidak tahu ke mana harus pulang. Arah dan harap telah hilang. Dan aku sendiri penyebabnya. Aku api yang sekaligus baranya. Aku badai yang sekaligus gelombangnya. Akulah kematian dan nerakanya. Maafkan aku, meski aku tahu kamu tidak akan pernah bisa melakukan.

"Anjing..."

"Babi..."

"Laknat... "

"Pulang kamu..."

"Suami macam apa, tingkahnya tidak pernah becus..."

Suara itu. Suara perempuan itu. Kembali menghantam dan menghujatku sejadi-jadinya. Aku terlempar. Membusuk dalam kutukan persyetan.

 

Madura, 2023

*Ach Jazuli. Merupakan penulis buku Kisah Hujan yang Lain

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak