Mat Toyu dan Carpan: Cerita Sunyi Menjaga Madura

Mat Toyu, Sastrawan Madura

Biografi Mat Toyu

"tidak berisik, tapi menggema.
tidak mendesak, tapi mengundang."

Di tengah bisingnya dunia sastra Indonesia yang makin terjerat dalam gegap gempita globalisme, ada satu suara lirih namun tajam yang bersenandung dari Timur pulau garam. Ia tak lantang, tapi menusuk. Ia tak menggelegar, tapi menggema. Namanya Mat Toyu. Bagi sebagian, ia hanya penulis puisi. Bagi sebagian lain, ia adalah penjaga bahasa, perenung identitas, dan pelintas spiritualitas. Lewat beberapa sanja’ yang ditulisnya dalam satu-satunya buku puisi Sokana, Mat Toyu memperlihatkan bagaimana ekspresi kultural Madura bisa berbicara dengan lirih namun dalam. Namun, karya utamanya justru terdapat dalam bentuk carpan (careta pandha’) atau cerpen.

Mat Toyu lahir di Longos, sebuah wilayah kecil di Madura. Dari tanah itu, ia tumbuh dengan bahasa, aroma garam, debur ombak, dan tradisi lokal yang lekat. Tak mengherankan jika hampir seluruh karyanya ditulis dalam bahasa Madura. Tapi ini bukan sekadar pilihan estetika. Ini adalah pernyataan sikap. Bagi Mat Toyu, bahasa ibu bukan hanya alat ekspresi, tetapi rumah dari segala perasaan dan pikiran. Maka ia menolak untuk pindah rumah. Ia tetap tinggal di dalam bahasa ibunya.

Ia menempuh pendidikan tinggi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengambil jurusan Sosiologi dan Pekerjaan Sosial. Latar belakang akademik ini sangat terasa dalam karya-karyanya. Ia tak hanya menulis dari rasa, tapi juga dari kesadaran sosial yang tajam. Ia peka terhadap struktur, relasi kuasa, serta dinamika sosial yang membentuk kehidupan masyarakat Madura, dan itu semua ia tuangkan dalam bentuk-bentuk sastra yang halus namun bermakna.

Karya-karya Mat Toyu tersebar dalam berbagai bentuk. Yang paling menonjol adalah karya-karya carpan-nya yang telah dikumpulkan dalam empat buku: Embi' Celleng Ji Monentar, Kerrong ka Omba’, Ngejung, dan satu-satunya antologi puisi Sokana. Ketiganya—Embi’ Celleng Ji Monentar, Kerrong ka Omba’, dan Ngejung—merupakan antologi cerpen dalam bahasa Madura yang mengisahkan kehidupan orang Madura dengan segala kompleksitasnya. Buku Kerrong ka Omba’ dan Ngejung bahkan mendapatkan Hadiah Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage, Bandung, Jawa Barat—sebuah pengakuan penting bagi sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah.

Masing-masing cerpen dalam buku-buku tersebut menghadirkan tokoh-tokoh yang bukan sekadar manusia fiktif, tapi cermin dari pergulatan nyata masyarakat Madura. Judul-judul seperti Ganggu’, Mahbi Abine Pole, Kakapper se Ajenter, hingga Eselpettagi, memperlihatkan betapa sastranya mengakar kuat pada realitas sosial sekaligus bahasa lokal.

Ambil contoh Mahbi Abine Pole, cerpen yang menyindir relasi kekuasaan dan poligami dengan ironi khas. Dalam cerita itu, kepala desa yang berhasil menangkap maling selalu diizinkan menikah lagi. Cerita ini tak hanya menyentil norma, tetapi juga membuka ruang diskusi tentang maskulinitas, kekuasaan, dan logika sosial. Begitu pula dengan Embi' Celleng Ji Monentar, yang berkisah tentang seseorang yang hidup dalam "kegelapan" bukan karena kesalahan, tapi karena takdir sosial yang membungkamnya.

Mat Toyu bukan penulis yang cerewet. Ia tak suka menggurui. Tapi ia juga tak netral. Dalam diamnya, ada kritik sosial. Dalam satirnya, ada semacam harapan akan perubahan. Itulah kekuatan carpan-nya: menyentuh tanpa harus menghentak, menyadarkan tanpa perlu memaki.

Dari sisi pemikiran, Mat Toyu bisa dibaca sebagai penulis identitas. Tapi ia bukan identitas yang sempit atau chauvinistik. Identitas yang ia bawa adalah identitas yang cair tapi berakar. Ia sadar bahwa dalam arus modernisasi, banyak budaya lokal yang tercerabut. Maka, lewat sastra, ia kembali menanam akar. Ia membuktikan bahwa sastra bukan hanya urusan estetika, tapi juga etika. Yakni etika menjaga, merawat, dan menumbuhkan kebudayaan.

Mat Toyu tak banyak bicara soal nasionalisme, tapi ia sangat Madura. Bukan dalam arti kedaerahan yang eksklusif, melainkan dalam makna kedalaman. Ia tahu bahwa menjadi Madura tidak sekadar memakai sarung dan berbicara keras. Menjadi Madura adalah memahami bahasa sebagai rasa, tanah sebagai identitas, dan komunitas sebagai jiwa. Oleh karena itu, cerpen-cerpennya penuh dengan kosakata lokal yang tak bisa diterjemahkan begitu saja. Kata-kata seperti tang, pesse, sonar, tora, atau omba’ bukan sekadar kata, melainkan dunia kecil yang sarat makna.

Namun Mat Toyu tidak berhenti pada menulis. Ia juga bergerak. Ia adalah bagian dari gerakan kultural yang berusaha menghidupkan kembali sastra Madura. Bersama komunitas dan situs seperti lalampan.com, ia ikut mengarsipkan cerita-cerita berbahasa Madura, memperkenalkan istilah-istilah khas, dan bahkan menyusun semacam kanon baru bagi sastra lokal. Ia juga terlibat dalam bedah buku, pengantar diskusi, hingga penulisan karya kolaboratif. Dalam diamnya, ia bekerja. Dalam sunyinya, ia bergerak.

Gerakan Mat Toyu bukan revolusi yang membakar. Tapi ia adalah bara yang menyala perlahan. Ia menyadari bahwa mempertahankan bahasa dan kebudayaan tidak cukup dengan romantisme. Harus ada kerja kultural yang sistematis, konsisten, dan melibatkan generasi muda. Maka, Mat Toyu juga aktif mendorong penggunaan bahasa Madura dalam tulisan-tulisan di dunia digital. Ia tak ingin bahasa ini hanya tinggal di dapur dan teras. Bahasa Madura, baginya, juga layak berada di layar gawai dan halaman jurnal.

Mat Toyu adalah bukti bahwa sastra lokal bukan anak tiri dari sastra nasional. Ia tidak inferior, tidak pula sekadar etnografis. Ia adalah pusat yang sering diabaikan. Dalam karya Mat Toyu, kita diajak untuk melihat bahwa dari timur pulau kecil bernama Madura, ada suara yang bisa menggema ke seluruh Indonesia, bahkan dunia, asalkan kita mau mendengar.

Ia bukan hanya penulis. Ia adalah penjaga. Penjaga bahasa, penjaga rasa, penjaga identitas. Dan seperti penjaga-penjaga lainnya, ia bekerja dalam diam, tapi diamnya bukan hening. Diamnya adalah nyanyian panjang dari carpan-carpan dan sanja’-sanja’ yang ditulisnya dengan cinta dan kesetiaan.

Di zaman yang serba cepat dan gaduh, sastra Mat Toyu mengajak kita berhenti sejenak. Mendengar kembali suara tanah, rasa, dan jiwa. Karena mungkin, dalam kisah dan kalimat-kalimat itulah kita bisa kembali menemukan diri. Bukan sebagai orang kota, bukan sebagai manusia digital, tetapi sebagai manusia yang punya akar, punya bahasa, dan punya rumah untuk pulang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak