Seburuk Itukah Suku Madura?

stereotip suku madura


Seburuk Itukah Suku Madura?

Sumber FB: A Dardiri Zubairi

Lalampan.com—1447|| ESAI. Media sosial saat ini ramai soal kasus Sahara yang suaminya orang Madura dengan Yai Mim. Peristiwanya di kota Malang. Tapi saya tidak mau mengomentari soal kasus ini. Saya lebih tertarik mengomentari respon nitezen yang hampir semuanya menurut saya SANGAT RASIS dan out of context.

Yang paling sering saya temui jika menyinggung soal orang Madura adalah stereotip dan generalisasi. Stereotip orang Madura kasar, pemarah, tidak mau kalah, suka rusuh, carok, kekerasan, dan seterusnya. Generalisasinya, semua orang Madura seperti stereotip tadi. Orang Madura kasarnya buruk semua. Jika ada orang Madura baik, itu oknum. 

Saya sebagai orang yang ditakdir oleh Allah sebagai bagian dari suku Madura patut resah. Meski saya menganggap itu sebagai sesuatu yang biasa. Sejak dulu, terutama pada era kolonial, suku saya distereotip sebagai suku yang seperti tidak ada baiknya. Bukan sekedar karakter, mereka menganggap seolah Allah menciptakan kami sebagai makhluk yang memang dari "sononya" diciptakan sebagai makhluk buruk. Seolah tak ada baiknya.

Saya mengakui bahwa sebagian saudara saya menampilkan prilaku tak menyenangkan,  terutama saudara saya merantau untuk mencari sesuap nasi di seluruh pelosok Nusantara ini. Saya tak perlu membela diri. Saya tak perlu menjelaskan bahwa setiap peristiwa ada konteksnya. Saya tak perlu menyajikan argumentasi untuk menjelaskan bahwa tradisi dan kebudayaan suku Madura tidak tunggal. Apapun yang akan saya  sampaikan tak akan mampu menyusup ke dalam kesadaran yang sudah dipenuhi stereotip atau prasangka. Malah penjelasan akan dianggap sebagai bentuk penyangkalan.

Saya lahir dan besar di Madura, tepatnya di Sumenep, ujung timur Pulau Madura. Sebagai layaknya anak Madura, saya memperoleh pendidikan di Pesantren. Pesantren kecil yang lahir karena barokah Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk. Pesantren Annuqayah di Sumenep dikenal sebagai pesantren Akhlak yang menekankan pembelajaran adab bagi santrinya; kepada guru, teman, tetangga, orang lain (yang latar belakangnya berbeda), bahkan adab terhadap alam. Inilah yang saya jadikan pemandu ketika saya merantau untuk kepentingan kuliah.

Selama kuliah saya satu rumah kontrakan sama teman dari berbagai suku; Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Lombok, dan NTT. Semua teman memperlakukan saya dengan baik. Dan nyaris saya tak punya masalah dengan teman dari suku manapun. Saya meyakini, banyak teman-teman yang satu suku dengan saya bergaul secara wajar dan tak punya masalah dengan suku lain. Kok tiba-tiba, jika ada orang Madura melakukan keburukan, semua se suku ketiban?

Kira-kira begini. Republik ini sejak dulu dikuasai oleh suku tertentu. Pucuk pimpinan tertinggi dari suku tertentu. Semua tahu, negeri ini tidak baik-baik saja. Rakyat tersingkir. Buminya dikeruk habis. Lautnya dikuras. Korupsinya tak terbilang. Aparatnya belagu. Tapi adilkah saya jika men-generalisasi karakter orang yang sesuku dengan penguasa juga sama? Bahwa cara mereka memimpin merupakan bawaan sukunya? Tentu naif jika berkesimpulan seperti itu. Atau jika supporter sepak bola melakukan kerusuhan, adilkah kita menisbatkan prilakunya pada sukunya?

Soal stereotip memang bukan hanya suku saya. Teman-teman dari Indonesia Timur mengalami hal yang sama. Batak dan Bugis  juga nasibnya tak jauh beda. Meski serangan terhadap suku saya nampak begitu massif. Jika ada pembunuhan dilakukan orang Madura, ceritanya akan dibuat serem dan dikaitkan dengan suku. Beda jika yang melakukan dari suku lain, tak ada rujukan suku dalam pemberitaannya.

Sekali lagi saya tak menampik ada orang Madura yang terjebak dalam citra kekerasan. Bangga jika menampilkan keberaniannya. Selalu mengedepankan sikap tidak santun dalam menyelesaikan masalah. Halo saudaraku, pernahkah Anda bertanya bahwa prilaku Anda yang tidak santun itu menjadi beban tersendiri bagi saudara lainnya? Hingga banyak juga yang menutupi identitasnya bahwa dia berasal dari suku yang sama dengan Anda?

Jika Anda di luar, jangan sebut Anda dari Madura saja. Sebut kabupaten, kecamatan dan desanya sekalian. Ini cara sederhana untuk menjelaskan bahwa kultur dan tradisi di Madura tidak sama antara kabupaten. Begitupun bagi media dan peneliti Madura, penting menyebut secara spesifik kajiannya di Madura mana. Madura itu tidak tunggal. Selalu ada varian dalam kebudayaan.

Sumenep, 2 Oktober 2025


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak