Santri Tragedi dan Cerpenisasi Tragedi

Santri Tragedi dan Cerpenisasi Tragedi


Santri Tragedi dan Cerpenisasi Tragedi

Rowi Elhamzi

Lalampan.com—1447. Setiap kali ada tragedi, kita mudah menunjuk satu wajah untuk dipersalahkan. Musalah ambruk di Ponpes Al Khoziny, Sidoarjo, tak ayal menjadi santapan empuk bagi media dan para “juru moral” untuk menyalakan obor kritik. Santri jadi korban, pengelola dituding lalai, bahkan eksploitasi anak dipajang sebagai judul besar. Tapi mari sejenak kita menahan emosi, berhenti seakan semua yang kita baca di detikNews sudah mutlak kebenaran. Sebab realitas pondok pesantren tidak bisa dibaca dengan kacamata hitam-putih jurnalistik belaka.

Gotong Royong atau Eksploitasi?

Tradisi santri ikut kerja bakti, termasuk pembangunan pondok, bukanlah hal baru. Sejak era KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng, KH. Wahid Hasyim di Jakarta, sampai pesantren-pesantren kecil di pelosok, keterlibatan santri dalam pembangunan fisik pondok selalu ada. Mereka bukan “buruh paksa” atau “kuli gratisan”, melainkan bagian dari pendidikan hidup—belajar gotong royong, disiplin, dan rasa memiliki.

Apakah semua santri dipaksa? Tidak. Banyak yang justru bangga, kelak bisa menunjuk bangunan dan berkata, “Tembok itu ada tangan saya.” Membaca itu sebagai “eksploitasi anak di bawah umur” adalah reduksi berlebihan yang melupakan konteks pesantren sebagai lembaga pendidikan yang hidup dengan solidaritas, bukan perusahaan kontraktor dengan anggaran miliaran.

Murah, Amanah, dan Realitas Pesantren

Tudingan bahwa pengelola hanya ingin “murah dan gratis” terdengar simplistis. Faktanya, mayoritas pesantren di Indonesia hidup dari iuran santri yang terbatas, donasi masyarakat yang tak menentu, dan cita-cita mulia yang kadang lebih besar dari isi kas. Kalau menunggu biaya pembangunan setara proyek pemerintah dengan konsultan dan arsitek bersertifikat, mungkin ribuan santri akan tetap mondok di gedung reyot.

Apakah itu berarti keselamatan bisa diabaikan? Tentu tidak. Tapi mengukur pesantren dengan standar proyek apartemen di Surabaya Barat jelas tidak adil. Pondok tumbuh dari swadaya, dari semangat “sak uwong-uwonge”, bukan dari anggaran negara triliunan.

Antara Takdir dan Kelalaian

Menyebut musibah sebagai “murni kesalahan pengelola” juga tergesa-gesa. Meski tidak pas juga jika pengelola hanya menyandarkan pada takdir semata. Sebab masalah bisa diurai, apakah bangunan sesuai perencanaan atau asal membangun tanpa hitungan sipil yang standar. Dari sana kita tahu apa penyebabnya. Jangan langsung jujug ke takdir. Kedengatannya seperti lepas tanggungjawab. Meski ada faktor teknis, ada faktor alam, dan ada faktor takdir yang kadang tidak bisa diprediksi.

Sayangnya, tragedi kerap dijadikan panggung: bagi politisi untuk tampil peduli, bagi media untuk meraup klik, bagi pengamat untuk menebar kata-kata indah. Santri jadi korban bukan hanya reruntuhan musala, tapi juga korban framing opini yang berlebihan.

Regulasi, Ya. Kriminalisasi, Jangan.

Benar, Kemenag dan DPR perlu memperketat regulasi bangunan pesantren. Perlu ada standar keamanan minimum, pengawasan yang lebih ketat, dan pendampingan teknis. Itu positif. Tapi menjadikan setiap pengasuh pondok yang sedang berjuang membangun sebagai “tersangka eksploitasi” hanya akan mematikan inisiatif dan menakutkan mereka yang tulus membesarkan lembaga. Kita butuh keadilan, bukan kriminalisasi massal.

Karena sejatinya pesantren tidak dibangun oleh pengelola semata, melainkan oleh ribuan tangan santri, wali santri, dan masyarakat. Menyalahkan satu pihak tanpa memahami ekosistemnya, sama saja mereduksi makna “pondok” yang telah menjadi bagian sejarah bangsa.

Akhirnya, tragedi Al Khoziny adalah luka kita semua. Tapi jangan jadikan luka ini sebagai alasan untuk menghapus tradisi, memutus gotong royong, dan melabeli semua pengelola pondok sebagai lalai dan serakah. Sebab di balik duka, masih ada amanah besar: menjaga marwah pesantren agar tetap jadi rumah ilmu, bukan sekadar headline berita.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Lalampan

Formulir Kontak