ESAI|| Lalampan.com—1447. Sebuah cerpen selalu dimulai dengan
pintu. Pintu itu bisa berupa kalimat pertama, paragraf awal, atau bahkan hanya
sebaris deskripsi yang sederhana. Dari pintu inilah pembaca memutuskan: maukah
ia melangkah masuk, atau cukup berhenti di depan ambang. Karena itu, pembukaan
cerpen bukan sekadar “awal cerita,” melainkan undangan yang halus sekaligus
kuat.
Banyak penulis pemula sering terjebak pada pertanyaan,
*“Kalimat pertama harus bagaimana?”* Pertanyaan itu wajar, tapi sebenarnya
jawabannya sederhana: kalimat pertama hanya perlu menggambar sesuatu dengan
jelas, seolah-olah pembaca melihat, mendengar, atau mencium aroma yang sama
dengan tokoh dalam cerita. Di sinilah seni menggambar dengan kalimat bekerja.
Ada banyak cara membuka pintu cerita. Kadang kita memulainya
dengan pemandangan. Bayangkan duduk di pinggir laut: ombak datang dan pergi,
angin membawa bau asin. Dari situ kita bisa menulis, *“Pagi itu laut berkilat
seperti kaca retak, dan suara ombak terdengar seperti napas panjang yang tak
pernah selesai.”* Kalimat sederhana semacam itu sudah cukup untuk melukis
suasana. Pembaca langsung tahu di mana ia berada, dan bisa merasakan atmosfer
yang menyelimuti tokoh.
Pembukaan juga bisa dimulai dari suara. Misalnya, *“Suara
sendok beradu dengan gelas pecah keheningan warung kecil di tikungan jalan.”*
Tanpa perlu penjelasan panjang, pembaca sudah bisa membayangkan ruang dan
situasi. Kadang suara lebih efektif daripada deskripsi panjang karena ia
menempel begitu cepat dalam imajinasi.
Aroma juga bisa menjadi jalan masuk. Seperti ketika
menuliskan, *“Aroma ikan asap memenuhi lorong sempit, menempel di baju, dan
membuat perut yang kosong semakin berteriak.”* Bau yang sederhana itu sudah
cukup membawa pembaca ke ruang yang sempit, padat, dan penuh kehidupan. Indra
penciuman yang dibangkitkan oleh kata-kata mampu menghidupkan gambaran cerita
tanpa perlu banyak kalimat.
Kadang, yang dibutuhkan hanya sebuah gerakan kecil. *“Ia
melipat kertas itu berkali-kali, lalu menyelipkannya ke dalam saku tanpa pernah
membacanya.”* Gerakan sederhana itu sudah menimbulkan pertanyaan. Apa isi
kertas itu? Mengapa ia tak mau membacanya? Misteri kecil ini mendorong pembaca
untuk terus mengikuti cerita.
Semua indra bisa bekerja bersama-sama untuk membentuk pintu
yang lebih kuat. Bayangkan kalimat, *“Hujan turun deras, memukul atap seng
seperti ribuan drum, sementara aroma tanah basah menyeruak ke dalam rumah kecil
yang hangat oleh api tungku.”* Di sini, pembaca tidak hanya melihat hujan, tapi
juga mendengarnya, mencium baunya, dan merasakan kehangatan di dalam rumah.
Dari satu paragraf, dunia cerita sudah hidup di kepala pembaca.
Kunci dari semua itu adalah kesederhanaan. Satu kalimat yang
jelas lebih baik daripada lima kalimat yang berputar-putar. Ibarat melukis,
garis sederhana seringkali lebih kuat daripada detail yang berlebihan.
Pembukaan cerpen tidak harus penuh kata-kata indah, tapi cukup menyalakan
cahaya pertama agar pembaca tahu ke mana ia melangkah.
Untuk melatihnya, kita bisa mencoba menulis pembukaan
sepanjang lima belas baris. Tak perlu memikirkan alur atau akhir cerita, cukup
fokus pada suasana. Misalnya, kita ingin menulis tentang nelayan. Maka, lima
belas baris awal cukup bercerita tentang pagi di tepi pantai, aroma jaring yang
masih basah, suara camar, gerakan tangan nelayan yang menyiapkan perahu, dan
tatapan istrinya yang menunggu di tepi pasir. Dari barisan kalimat itu, pembaca
sudah masuk ke dunia nelayan, meski cerita belum benar-benar dimulai.
Menggambar dengan kalimat adalah soal kesabaran. Tidak semua
pembukaan berhasil dalam sekali coba. Kadang kita harus menulis ulang, mencoba
berbagai versi, sebelum menemukan satu kalimat yang pas. Jangan takut menghapus
atau mengulang. Kalimat pertama dalam cerpen sama seperti sapuan pertama kuas
di atas kanvas. Jika kurang tepat, kita bisa mulai lagi.
Hal lain yang penting adalah meninggalkan sedikit ruang
misteri. Meski pembukaan harus jelas, ia tidak boleh menyingkap semua hal.
Biarkan ada pertanyaan kecil yang menggantung, biarkan ada yang samar. Rasa
ingin tahu itulah yang membuat pembaca ingin terus membaca.
Pada akhirnya, menulis pembukaan cerpen adalah latihan
sehari-hari. Tidak perlu menunggu inspirasi besar, cukup duduk di warung, di
terminal, atau di tepi sawah, lalu menuliskan apa yang terlihat. Satu atau dua
paragraf setiap hari sudah cukup untuk melatih kepekaan. Perlahan, kemampuan
menggambar dengan kalimat akan terasah, dan kita akan terbiasa membuka pintu
cerita dengan lebih luwes.
Cerpen pada dasarnya adalah seni mengajak orang lain masuk ke dunia kita. Dan ajakan itu selalu dimulai dari satu kalimat pertama—kalimat yang sederhana, jernih, namun cukup kuat untuk menyalakan imajinasi. Dari pintu kecil itulah pembaca akan melangkah, dan dari situ pula seluruh cerita akan menemukan jalannya.