Omon-omon Literasi di Sumenep

Omon-omon Literasi di Sumenep, Moh. Rasyid



Saya bukan pengamat pendidikan. Saya hanya mas-mas fesbuk yang ingin curhat seputar pendidikan dan literasi di kabupaten tercinta: Sumenep. Saya tidak tahu persis jumlah keseluruhan komunitas literasi di kota super mantap ini. Yang pasti saya tahu jumlahnya lebih dari tiga. Dalam gramatikal Arab, jumlah yang melebihi angka tiga itu sudah tergolong jamak. Artinya banyak.

Tetapi sebanyak-banyaknya komunitas literasi di Sumenep, saya tidak pernah menemukan list resmi komunitas literasi yang dirilis misalnya oleh Dinas Pendidikan (Disdik) setempat. List dimaksud tidak harus berarti legalisasi komunitas, tetapi setidaknya Disdik Sumenep tahu komunitas apa saja namanya, dan di mana saja titik kumpul komunitas yang berada di bawah wilayah kewenangannya.

Mengapa tidak ada list resmi? Dugaan saya, mungkin Disdik menganggap pendataan semacam ini tak terlalu penting (untuk tidak mengatakan tidak menguntungkan bagi kepentingannya). Kalau pendataan saja dianggap tidak penting, bagaimana mungkin Disdik mau merangkul komunitas untuk mengakselerasi program-program literasi. Tapi sekali lagi, ini masih dugaan.

Gini-gini saya juga penggiat literasi. Saya dan teman-teman yang lain di Rubaru mendirikan Komunitas Ghaik Bintang (KGB) di Desa Banasare pada 26 Juni 2022. Komunitas ini bergerak di bidang literasi. Untuk sementara waktu wilayah geraknya kami fokuskan di Kecamatan Rubaru. Keberadaan KGB melengkapi komunitas-komunitas literasi lainnya di Sumenep.

Hampir tiga tahun kami menghidupkan KGB. Berbagai event dan program kami selenggarakan, baik yang jangka pendek maupun panjang. Selama waktu dan sebanyak program komunitas yang kami selenggarakan, kami tak pernah merasakan "kehadiran" pemerintah. Kami bisa bertahan sampai sejauh ini murni karena kesadaran para penggerak, bukan "digerakkan" para pejabat.

Maos jugan

Beberapa kali kami ngundang pak camat untuk menghadiri langsung acara KGB, sekaligus menularkan energi positif kepada para pelajar di Rubaru yang kebetulan juga kami undang. Itu harapan kami. Tapi kenyataan menunjukkan fakta sebaliknya: pak camat tak pernah hadir, paling mentok mendelegasikan orang lain yang sebetulnya bukan itu yang kami harapkan.

Anda bayangkan, kami ngundang dia untuk sekedar memberi sambutan dan motivasi kepada para pelajar MTs-MA, di tempat yang jarak tempuhnya dari kecamatan tidak sampai menghabiskan seliter pertalite, dia tidak pernah hadir. Apalagi, misalnya, kalau kami mengajukan permohonan bantuan dana untuk operasional atau program KGB, pasti jauh proposal dari uang.

Gimana dengan pejabat setingkat lebih tinggi, Disdik, misalnya? Seingat saya kami tidak pernah ngundang Disdik, apalagi bupati. Bahkan, inisiatif untuk itu saja tidak pernah kami pikirkan. Karena sekalipun ngundang beneran, seratus persen kami yakin pasti sebelas-dua belas dengan pejabat di bawahnya, bahkan mungkin lebih parah lagi.

Tingkat gengsi para pejabat kita itu tinggi, sodara. Dan di situ berlaku sistem hierarkinya. Maksud saya, kalau pejabat sekelas camat saja tidak hadir, apalagi sekelas dinas dan apalagi bupati. Kalau camat saja tidak peduli pada urusan literasi, bagaimana kita bisa berharap Disdik dan bupati mau memperbaiki kondisi literasi masyarakatnya yang masih jauh dari kata "layak" ini.

Ada yang bilang, Sumenep pada khususnya dan Madura pada umumnya telah banyak melahirkan orang-orang hebat. Mungkin ada benarnya. Sampai hari ini pun banyak orang kelahiran Madura yang jadi ilmuwan, pengamat, dosen, praktisi, dlsb. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak hidup di sini karena sejak remaja sudah berproses di luar.

Mereka bukan hanya #kaburajadulu, tetapi justru sudah menetap dan beranak pinak di tempat-tempat yang dianggap lebih produktif, menguntungkan bagi masa depannya. Kalau Anda tanya kenapa mereka seolah-olah "enggan" kembali ke kampung halamannya dan membesarkan Madura, jawaban saya karena lingkungan di sini tak mendukung masa depan mereka.

Selama menjadi manusia di ujung timur Pulau Madura ini, saya tidak pernah menjumpai event-event pemerintah Sumenep yang bernuansa literasi. Tak ada bazar buku besar-besaran, yang ada hanyalah bazar kuliner setiap sore di bulan Ramadan. Tak ada hiburan rakyat yang dapat membangkitkan semangat literasi generasi muda, yang ada hanyalah tong-tong dan musik DJ.

Bersama teman-teman penggiat, saya sudah berkeliling ke puluhan lembaga pendidikan di Rubaru dalam program Road Show Literasi KGB. Program ini masih berjalan sampai hari ini. Selama berinteraksi langsung dengan pihak sekolah dan para siswa/inya, tak ada tanda-tanda "kehadiran" pemerintah untuk kepentingan literasi.

Ironisnya, semua lembaga pendidikan (swasta maupun negeri) yang kami kunjungi tidak ada yang menyediakan perpustakaan layak pakai dan dikelola dengan baik, sehingga para siswa/inya tidak terbiasa bergelut dengan dunia buku. Kehidupan mereka seperti terisolasi dari budaya membaca, menulis, dan diskursus. Ini baru satu kecamatan, belum berbicara dua puluh enam kecamatan sisanya di Sumenep.

Padahal, kalau mengacu pada Pasal 38 ayat (2) UU No. 20/2003, Pasal 23 ayat (1) PP No. 17/2010, dan Pasal 10 ayat (1) Permendikbud No. 24/2015, jelas bahwa setiap satuan pendidikan diharuskan menyediakan perpustakaan yang memadai dan memenuhi standar untuk mendukung proses belajar-mengajar dan mengembangkan kemampuan siswa.

Gap antara teori dan kenyataan di atas mustahil terjadi kalau Disdik yang terhormat benar-benar bekerja melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, melakukan evaluasi dan monitoring secara berkala atas penyelenggaraan serta mutu pendidikan, termasuk ketersediaan perpustakaan yang layak pakai.

Konon, Sumenep punya peraturan khusus terkait peta jalan pelaksanaan gerakan literasi, dan itu bersifat legal standing, yaitu Peraturan Bupati Sumenep No. 13/2021. Dan kita tahu, proses pembuatan peraturan perundang-undangan itu memakan APBD-APBN yang tidak kecil, mulai dari penyusunan draft sampai pada tahap pengumuman dan sosialisasi hasil final.

Tiga tahun lebih Perbub itu berlalu. Saya tidak tahu kemajuan dan capaian apa saja di bidang literasi yang telah diraih, apakah outputnya berbanding lurus dengan biaya yang dihabiskan, atau justru berujung kesia-siaan. Lebih tidak tahu lagi, ketika tiba-tiba pak Disdik meraih penghargaan penggiat literasi nasional 2025, menyusul Ibu NK yang dikukuhkan sebagai "Bunda Literasi" oleh pak bupati yang tak lain adalah suaminya sendiri.

Yang saya tahu satu: pemberian penghargaan di lingkaran birokrasi (kekuasaan) itu rawan kepentingan politik. Politisi yang menyaru sebagai pejabat bijak kapan saja dapat memberi penghargaan apa saja dan kepada siapa saja sesuai arah kepentingan politiknya. Salam literasi!

 

Moh. Rasyid,

Penggiat Literasi Komunitas Ghai' Bintang, Rubaru, Sumenep.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak