Meremuk Kepercayaanku

Meremuk Kepercayaanku



KESEKIAN KALI

 

Salahkah aku membenci orang yang bersamaku dari kecil?

Padahal dia berkhianat dengan mulut manisnya

Pantaskah aku tidak membencinya?

Padahal dia mendua dengan wajah tak bersalah

Tak bolehkah aku kecewa padanya?

Padahal ini sudah kesekian kalinya

 

Ucapan yang keluar dari mulutnya

Kini sudah kutak percaya

Aku muak dengan semuanya

Lalu aku harus bagaimana?

Memberi satu kesempatan?

Padahal dua kesempatan telah aku haturkan padanya

Menyerah?

Tidak, biarkan Tuhan yang menentukan

Aku dan dia tetap bersama atau berpisah



Maos jugan

 


 

MEREMUK KEPERCAYAANKU

 

 

Aku benci setiap hal yang keluar dari mulutmu

Rayuan manis untuk membujukku

Perkataan yang mengatas namakan nyawamu

Beribu-ribu janji yang kamu ucapkan

Kebohongan yang kamu katakan

Aku benci semua itu

Aku muak

 

Asal kamu tahu:

Rangkaian kata manismu

Menusuk lukaku semakin dalam

Pengkhianatan banggamu

Merobek kalbu

Beribu-ribu kebohonganmu

Menghancurkan semuanya

 

Lalu, kamu berkata aku harus bisa bertahan?

Tolong! Aku tidak mengerti kurang sabar apa lagi diriku

Aku tanya:

Masih tak sadar kah betapa egoisnya dirimu?

Masih tak sadar kah betapa munafiknya dirimu?


 

KINI RUMAHKU HANCUR

 

Ke mana aku harus pulang?

Rumah yang kubangun kini hancur berantakan

Ke mana aku harus kembali?

Sedangkan tempat kembaliku kini saling kehilangan kepercayaan

 

Ke mana rumahku yang dulu?

Kenapa kini:

Keharmonisan berganti sunyi

Ketenteraman berganti pertengkaran

Suara canda dan tawa kini tak terdengar

Ke mana hilangnya itu semua?

Kenapa hanya tangis dan pertengkaran yang ada

Kenapa hanya keasingan yang menyerta

Kenapa kepercayaan yang menjadi pengikat kini telah musnah

Kenapa?

Kenapa?


 

PAHAMILAH DIRIKU

 

Kau bilang egois?

Kau tak akan tahu:

Kekejaman yang aku tahan demi ketenteraman

Kecewa yang aku pendam demi keharmonisan

Tangis yang aku tahan demi kenyamanan

 

Maka aku mohon diam

Kau tak tahu rasanya menangis dada sesak tak bisa bernapas

Kau tak tahu rasanya tertawa di balik kehancuran

Kau tak tahu rasanya tersenyum saat menahan tangis

Kau tak tahu apapun

Karena itu diamlah

 

Kini aku sungguh hancur

Jadi aku mohon pahamilah diriku

Jika tak bisa

Setidaknya tolonglah diam


 

SIAPA YANG AKAN KUPILIH?

 

Kali ini sungguh runtuh

Aku tak tahu ke mana aku akan pergi

Aku tak tahu siapa yang akan aku pilih

Aku tak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi

 

Air mata tak kunjung terhenti

Sesak terus menggerogoti

Mental ciut

Pikiran berantakan

 

Keharmonisan sudah berganti pertengkaran

Tali pengikat putus

Cinta kini meluntur

 

Apa yang akan aku lakukan?

Memilih di antara keduanya dianggap tak adil

Memilih keduanya pun mustahil

Lalu aku harus bagaimana?



Maos jugan


 

TAK SEMUA ANAK SEPERTIMU

 

Jika dihadapkan untuk memilih antara ayah dan ibu

Siapa yang akan kamu pilih?

Ayah?

Laki-laki pertama yang kita cintai

Ibu?

Seseorang yang mengandung, melahirkan dan merawat Kita

 

Kutanya:

Sanggupkah kamu memilih di antara keduanya?

Relakah kau berpisah dengan salah satu di antara mereka?

Padahal kebahagiaanmu, tempat pulangmu,

Tempat ternyamanmu ada pada mereka

 

Namun, kuharap

Kamu tidak akan dihadapkan dengan pilihan yang amat sulit ini

Berbahagialah dengan mereka

Karena tak semua anak memiliki keluarga cemara sepertimu

 

 

Mufidatul Aini, lahir di Batang Batang. Saat ini ia duduk di kelas sembilan (IX) SMP Nurul Jadid Batang Batang. Suka membaca dan baru belajar menulis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak