CERPEN: Besi Bengkok

carpan, sastra madura, Mat Toyu


AKU berteduh di bawah pohon tsamara. Sembari menikmati taburan cahaya rembulan, kami memetik buah simalakama. Buah yang paling kami senangi. buah itu sebesar genggaman tangan. Ditengahnya ada lingkaran oval kecil, tempat mengalirkan air putih dan kental. Lingkaran oval itu lembut. Dari buah itulah kami memadu hidup.

Suatu malam yang gelapnya merahasiakan segala dendam. Gelap selalu menyimpan bara dendam yang tak bisa kutelusuri kedalamannya. Aku dan perempuanku bermalam di bawah pohon simalakama, menikmati buah-buah itu. malam itu airnya terasa lebih manis dari malam-malam sembelumnya. Lebih madu dan lebih syahdu.

Akudan perempuanku terbelai angin-angin dan malam bergelayut dalam meniti waktu. Cahaya rembulan mulai menipis. Awan di atasku menutupinya. Gelap. Pada saat seperti itu. Saat aku memanja perempuanku ada sekawanan hewan menyerbu. Ular, macan, anjing dan buaya. Namun hanya ular yang sangat lincah, ia seperti penguasa taktik penyerbuan. Tiga hewan ganas lainnya, mampu aku tangkis dan mereka tumbang dengan kaki kiriku. Namun ular itu dengan kelicinan kulitnya selalu lolos dari cengkraman dan semakin terkulai sekali kaki menendangnya. Ia hanya mengangguk. Aku sudah tidak kuat. Akalku buntu. Nafasku terengah-terengah hampir lepas. Aku benar-benar hampir mati. Aku mencoba berpikir, merenung. Aku melihat ular seperti juga kelelahan. Aku mencoba mengais cara untuk mengalahkannya. Aku merangkak. Berusaha menggapai sebuah pohon kecil, tapi tanpa kusadari, ular itu telah melilit tubuhku. Kepalanya tepat di pinggang kiri. Aku sudah tak kuat melawan lagi. ular itu menggigit tulang kiriku. Satu tulang kiriku hilang. Ular itu berlari menuju pantai di selatan kampungku. Aku mengejar dengan darah terus mengucur dari pinggang kiri. Namun sakit itu tak tertahankan. Aku roboh sebelum menangkap ular. Aku berjuang melawan rasa sakit. Mengerang sendirian. Memanggil pertolongan. Namun sia-sia.

Maos jugan

Perempuanyang menemani hari-hariku dibawa lari buaya dalam perutnya. Tulang punggungnya dimakan. Gigitannya ganas. Aku tidak tahu, buaya itu membawa kemana. Aku yakin ia masih hidup. Sebuah angan-angan untuk menguatkanku bertahan dalam kesakitan. Sebuah ketidakmungkinan tertanam dalam angan-angan.

Aku yakin perempuan itu masih hidup dan suatu hari nanti akan bertemu entah dimana. Keyakinan itu membuatku terus berjuang untuk bertahan hidup. Menahan sakit. Aku masih mencari cara bagaimana menghentikan darah yang mengalir dari pinggang kiriku.

Saat aku roboh itu terserang sakit. aku tak sadarkan diri. Gelap. Aku melihat ular muncul di hadapanku. Ular itu melahap satu tulang kiriku yang dicurinya dari tubuhku. Tulang bengkok itu. Ia bersendawa. Ular itu menjelma perempuan seperti perempuan yang menemaniku. Aku kaget, sebab buah yang di makan perempuan bersamaku itu menyembul di dadanya. Dua buah itu masih aku hafal meski tertutupi, tanda yang paling ku ingat adalah warna hitam kecoklatan di tengahnya.

Perempuan itu menari-nari di depanku. Aku tak kuat berdiri untuk sekedar menggapainya. Atau menari bersamanya. Ia hanya menari dan tak menolongku. Aku mengerang di dekatnya. Ia tetap saja menari seperti tak  melihatku. Setelah aku menoleh, tiga hewan raksasa sedang menikmati tarian itu. Sebuah persembahan menarik menurutku. Aku mengerang kesakitan dan terbangun.

Aku yakin perempuan itu masih hidup. Itulah yang menyebabkan aku bertahan hidup. Aku melawan sakit yang menggerogoti tubuh ini. Berjalan miring. Menyangga pinggang kiri dengan tangan. Aku berjalan dan mencari buah-buah bergetah. Ku teteskan getah itu pada lukaku. Aku mencari tumbuhan yang merambat. Tumbuhan itu kugunakan untuk menyambung luka yang menganga. Aku menjahitnya dengan duri bambu. Darah terus bercucuran. Kuolesi dengan getah-getah.

Aku tiba di pantai tepat matahari hampir tenggelam di kaki langit. Hamparan warna jingga yang merayuku untuk mendatanginya. Seperti ada suara yang memanggilku dari hamparan jingga. Meletup-letup di antata awan jingga. Aku benar-benar terpikat. Aku mencari cara untuk tiba di kaki langit berhampar warna jingga itu. Rasa sakit di pinggang kiri terus memburuku. Aku pun mencari cara untuk mengurangi rasa sakit itu dan mencari bagaimana mengganti tulang yang hilang itu.

Aku terus berjalan menyisir pantai. Aku melihat sebuah benda bengkok sebesar jempol kakiku. Ternyata benda itu besi baja karat. Aku sangat bahagia setelah menemukan akal untuk dipasang di pinggang kiri. Melengkung seperti tulang. Setiap aku lapar, aku membuka besi itu dan menjadikan sebagai alat untuk mencari makanan, seperti ikan, menetak kelapa, menebang pohon pisang. Tak terasa besi menjadi tipis dan menajam.

Takterasa aku telah menjauh dari tempat asalku. Besi itu seperti memiliki tuah. Besi membantuku dalam segala hal. Dengan besi itu aku berhasil menebang pohon, bambu dan berhasil membuat tali. Aku membuat rakit. Aku berlayar. Dibawa angin. Tapi, aku kembali ke pulau asalku. Ach… aku benci kampungku yang kering. Aku menemukan cara untuk menaklukkan angin. Besi itu masih ada dan semakin tajam. Aku menyimpannya di pinggang kiri. Tepat di tulang kiriku yang dimakan ular yang menjelma perempuan. Besi bengkok, tajam sebelah dan sekarang telah bergagang.

 Aku kembali berlayar seorang diri tanpa bekal. Aku seperti hidup di lautan. Selalu ku tegakkan tiyang layar untuk melawan angin dan ombak. Iya, ombak telah menjadi bantal hidupku dan angin adalah selimutnya. Awalnya, ombak selalu mengalahkanku, aku ingat cara ular meliat-liut dan itu mengajariku meliut menerobos angin, andai tak belajar pada ular pastilah aku telah kembali ke pulau asalku. Iya, aku ingat bagaimana jalan ular yang membelotkan tubuhnya dan licin kulitnya. Aku belajar dan mencoba memperaktekkan di tengah laut dalam melayarkan perahuku.

Aku terdampar di sebuah pulau dengan kekayaan melimpah. Aku menemukan sebuah kitab yang menceritakan tentang pulau ini. Aku berjalan menembus hutan-hutan dan perkampungan. Aku melihat segerombolan orang-orang berkelompok-kelompok. Aku mendekatinya.

Ada yang mengadu ayam, ada yang mengadu jangkrik, ada yang mengadu tikus. Saat ada yang kalah, yang kalah terlihat marah-marah dan menantang bertengkar. Pertarungan tak dapat dihindarkan. Mereka menggunakan tombak yang dari tadi dipegang temannya.

“Ayo, ayammu jago. Masak kamu kalah. Buktikan kalau kamu dan ayammu sama-sama jago.” Teriak semua penonton. Pemilik ayam jago itu hampir kalah. Ia tersungkur terkena tendangan kaki kiri.

“Lebih baik, ayam yang kalah dari pada aku yang kalah dalam menangtangmu.” Suara gelegar si pemenang pertarungan. Aku merasa kasihan dan tak tega. “Lawan aku!” semua orang diam melihat dengan mata terbelalak.

Maos jugan

“Siapa kau, kau kurus dan krempeng. Lihat dia yang berotot.”

“Lawan saja.”

Ia pun menyerangku membabi buta. Hampir saja aku kalah. Aku teringat besi bengkok yang telah tajam. Aku ingat. Aku telah menebas banyak pohonan dalam perjalanan berkat besi tajam itu.

“Hei. Apa kau masih melawan? Kau menantang!” teriakan mereka menyakitkan. Lebih sakit dari gigitan ular. Teriakan mereka mencambuk empedu. Aku bangkit dan mengeluarkan besi dari pinggangku. Besi ini sekarang mengkilat. Semua orang kembali terbelalak pada besi yang ku pegang.

“Achh… Cuma itu. senjatamu pendek. Tak akan mampu melawan tombak!” mereka kembali meneriakiku. Lebih menyakitkan.

“Lawan!”

Iapun menyerangku dengan tombaknya. Aku hanya memindah tubuh dan menyabitkan besi bengkok itu di pinggang kirinya. Lelaki berotot itu terguling. Ia terluka. Seperti bengkoknya besi di tanganku. Darah mengucur dan perutnya muncrat. Luka itu menganga. Ia tak dapat aku selamatkan. Lelaki yang ayamnya menang bertarung, menyerahkannya padaku.

Aku menceritakan perjalananku bahwa aku mencari seorang perempuan. Tapi ia tak menemukan seorang perempuanpun yang kumaksud. Aku pun disuruh menetap di daerah itu. tapi, aku tak kerasan dan melanjutkan perjalanan. Melanjutkan pelayaran.

Aku tiba di sebuah kota tanpa peradaban. Aku melihat kereta meluncur dari arah tenggelamnya matahari terbenam. Aku melompat dan tertidur di atasnya. Tak terasa kereta itu mengantarku ke kota ini. kota tugu peluru. Bekas penjajahan ysang paling mengerikan. Besi itu masih terselip dalam bajuku. Di pinggang kiriku. Namun aku belum menemukan perempuan yang kucari.

 

 

Yogyakarta 2013


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak