Sungguh mengerikan.
Bagaimana tidak. Seekor kucing terkapar. Lemah. Tak berdaya. Bulunya penuh
dengan bercak-bercak merah. Mukanya sudah tidak jelas, penuh dengan bekas luka.
Oh tidak. Kaki kiri yang belakang pincang. Apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa
aku tak sesemangat itu lagi ya untuk menolong kucing yang terkapar. Apalagi
kucing ini, yang ada di hadapanku ini lebih parah kondisinya. Ia bukan hanya
sendirian. Lemah. Tak berdaya. Lihatlah bulunya yang berantakan. Kumal. Kucel.
Jujur saja sekarang, aku tak memiliki semangat sebagaimana saat pertama aku
menemukan kucing. Saat itu, rasanya aku ingin segera menyulap dengan
jurus-jurus seperti dalam film Angling Dharma, atau Mak Lampir (Misteri Gunung
Merapi) atau Wirosableng. Dengan ajian apalah namanya dimana waktu seketika
kucing itu akan kembali sehat, bugar dan lucu.
Aku tahu bahwa untuk
menyembuhkan kucing, kau harus melewati berbagai fase, mulai dari pengobatan,
perawatan, dan ketelatenan dalam memberi makan. Sebab kucing yang terkapar, tak
berdaya, sulit untuk mengunyah. Dirimu akan berjumpa dengan hari-hari yang
terpola, seperti memberi makan di pagi hari ya tentu saja dengan cara menyuapi,
untuk minumnya kau tidak bisa sekedar menyediakan tempat, serupa gelas, atau
apalah yang ada airnya. Tidak bisa. Kau harus rela membuang waktu, eh menyediakan
waktu khusus untuk kucing itu di pagi hari, lalu kau harus bergegas kerja, jika
dirimu bekerja, atau kau harus bergegas ke sekolah, ke kampus atau kau harus
merelakan waktu kencanmu terbuang tanpa makna. Kau harus memilih itu.
Aiii nafas kucing ini
semakin pendek saja kelihatannya. Apa tidak ada manusia yang mau menolongnya.
‘kau lupa bahwa dirimu manusia, Mir’ entahlah, mengapa orang-orang menyebutku Plamir
setelah bekerja di bagian cat-mengecat lemari kayu. Padahal namaku bukan
ta’mir, bukan pula Mirah Menyala. Kau ingin tahu namaku? Apa pentingnya sebuah
nama. Jika kau tahu namaku, tapi kau tahu bahwa aku tak menolong kucing yang
tak berdaya, lemah, terkapar penuh nanah. Dikerubung lalat-lalat kotoran. Kau
tentu saja akan mengecamku. Halah. Kau diam-diam sudah menyediakan kecaman
paling dahsyat. Kau pasti bertanya-tanya aku masih berpikir panjang untuk
menyelamatkan hewan jika saja diriku bisa dan berada dekat dengan kucing itu.
“Sayang, kenapa kau ada
disini. Dari tadi aku mencari kamu. Di whatsap kau tak bales sama sekali.”
Pacarku datang naik motor. Ia cantik sekali. Mempesona. Siapa lagi kalau bukan
aku yang akan memujanya. Ia tampak panik melihatku berada di pinggir jalan.
Berhadapan dengan seekor kucing yang sudah seharusnya cepat aku tolong.
“Cepat angkat itu
kucing. Ayo kita bawa ke dokter hewan.” Dengan meringis dan agak sedikit
ceriwis. Pacarku mengoceh. Aku pun bergegas berangkat menuju dokter hewan
terdekat. Kau pasti tidak menduga apa alasanku mempercepat pertolongan pada
hewan itu. kau juga sudah mengira bahwa kami berprikehewanan.
“Tapi disini tidak ada
dokter hewan. Disini sangat sulit dokter, perawat, atau apalah itu khusus
hewan, padahal di daerah sini tu banyak yang mau memelihara sapi, kambing, nah
ayam juga, tapi dokter hewan bukan hanya terbatas, tapi tidak ada. Pemudanya
pun lebih memilih jadi penyair dan seniman yang takut pada kotoran hewan.”
“Kamu menyinggung diri
sendiri. Hahaha. Bacotmu itu lho. Kaffah untuk diri sendiri. Ayooo gass. Kita
harus cepat-cepat menolong kucing itu. segera!”
“Baiklah…” aku pun
bergegas mengangkat kucing yang tak berdaya itu. membawanya ke dokter hewan di
klinik Hewan Ceria. Pacarkulah yang mengantarnya ke dalam. Aku memilih menunggu
di luar. Di teras depan yang juga ruang tunggu.
***
Aku cukup lelah dan
ketakukan. Oh tidak. Bukan. Bukan itu maksudku. Aiiih bagaimana ya enaknya aku
bercerita padamu. Pasti kalau cerpenku macam ini tidak akan dimuat media. Tapi
aku tak boleh pesimis. Percayalah, cerpenmu ini akan dimuat oleh media ternama.
Hahaha.
Hah…
Itu kan. Itu kan
perempuan yang sering bersamaku dalam setengah tahun ini. Iya dia bekerja di
jasa pelayanan. Dia masuk kerja tiap hari, lalu libur satu hari, tapi bukan
hari minggu liburnya. Namun setiap minggu itu pasti libur satu hari. Apakah itu
lembaga swasta atau pelayanan publik plat merah. Sepertinya milik orang dalam.
Iya, dulu ia bercerita padaku bahwa bosnya bilang, pemiliknya bilang bahwa jika
layanan publik itu tidak harus libur pada hari ahad. Bisa libur di lain hari
itu. sebab orang-orang membutuhkannya setiap hari. Kita tidak tahu dan tidak
bisa memprediksi kapan orang membutuhkan kita. Sebagai perusahaan jasa
pelayanan publik, akhirnya mereka liburnya bergantian. Ada yang hari senin. Ada
yang hari selasa. Rabu. Kamis jum’at. Tidak dengan sabtu dan minggu. Karena
orang-orang akan berlibur. Jadi mereka melayani pada hari orang-orang berlibur.
Melayani dan memberikan pelayanan publik pada saat mereka berlibur tentu akan
menghasilkan laba yang besar.
Sebenarnya, dengan pola
kerja yang seperti itu. aku tidak bisa bertemu dengannya pada hari libur.
Karena ketika dia libur. Aku tidak libur. Ketika aku libur. Dia tidak libur.
Iya itu adalah perempuan pertama yang mengajariku jatuh cinta pada kucing.
Setiap saat kami berjumpa, kami selalu membicarakan kucing. Kucing. Kucing. Dan
kucing. Sampai kami merasa menjadi budak kucing. Mulai dari memberi makan.
Membersihkan kandangnya. Membuang kotorannya.
Saat itu kami juga
menemukan kucing terkapar di pinggir jalan. Membawanya ke rumah. Memandikan.
Memberi obat. Memberi susu. Menyediakan tempat. Awal kami berkenalan dengan
kucing. Sungguh membuat kami terasa begitu rempong. Kami ingin memberikan
perawatan yang prima dan sempurna terhadap hewan itu. kami tak ingin
menyakitinya. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Bulan. Syukurlah tidak perlu
bertahun-tahun. Ia sembuh. Berjalan normal. Lucu dan menggemaskan. Kami
tersenyum puas. Bangga. Usaha kami menyelamatkan satu hewan berhasil. Kami
hanya berharap, ia betah berada di rumahku yang ah… tidak seperti istana.
Kucing itu pun
berkenalan dengan jalan-jalan di sekitar rumahku. Tidak hanya keliling
kompleks, tapi juga ke kampung sebelah. Ternyata ia berkenalan dengan kucing
pria dari kampung sebelah. Dan itu berbarengan dengan berkenalannya pacarku
dengan pria lain dari tempat kerja lain. Kami memang tidak satu tempat kerja.
Aku terkejut saat dia
sudah kencan di kafe dekat tempat kerjaku. Ahhh dadaku panas. Ada
gelembung-gelembung kemunafikan di dalam dadaku. Aiiih. Saat itu aku lemes. Tak
berdaya dan terkapar. Tanpa seorang pun yang melihatku. Masuk ke kamar mandi.
Mengucurkan air mata. Malam itu aku mencoba menenangkan diri dengan minuman
khas. Sebuah kopi bercampur minuman “Murni”
aku tenggak dalam tiga kali minuman. Ahhh. Terbang aku dibuatnya. Malam
itu aku lupa dimana kucingku. Namun di pagi hari. Saat aku melihat kandangnya.
Ia telah kosong serupa hatiku. Ada yang berdenyut dalam getaran hatiku. Anjay.
Semuanya pergi dalam seketika. Bersamaan. Oh. Alangkah nasib. Umat manusia. Dan
keterkaparan yang menyelimuti hidupku. Tangis macam apa yang cocok untuk
mewakili perasaanku. Mampukah cucuran air mata ini mewakili lukaku yang
terdalam. Tak ada yang mau mendengarkanku. Siapa yang akan menyangka bahwa aku
akan mengalami hal seperti ini. Kita sama-sama bekerja. Untuk menabung.
Menabung harapan agar menjadi kenyataan. Tapi apalah daya. Kucing kampung sebelah
nampaknya lebih menjanjikan.
Aku pun kembali bekerja
seperti semula. Aku memilih tidak masuk kerja dua hari. Yang membuat kepala HRD
muntab dan memarahiku sepenuhnya. Aku ingin pindah kerja.
“Silahkan pindah kerja.
Ada ribuan surat lamaran kerja masuk. Siap menggantikan kalian. Tenaga macam
kalian buat apa. Silahkan. Di luar sana lebih ganas. Kalian sudah dapat kerja? Tidak
mungkin. Sekarang pandemik. Orang-orang susah mendapatkan pekerjaan. Banyak
yang di-PHK. Kalau kalian mau mencoba silahkan. Akan saya beri rekomendasi
secepatnya.”
Mendengar ceramah
ideology cara mencari uang. Aku semakin terkapar. Tak ada yang mau
memperhatikanku. Aku ingin bunuh diri saja. Mengapa dunia tak baik-baik saja.
Ahh. Duniaku terasa runtuh seketika. Anjing. Ahhh sebuah pisuhan yang tak
berarti apa-apa. Haruskah aku bertengkar dengan lelaki yang telah mengambil
pacarku itu. aiii ini akan menjadi perang besar. Tapi pelacur masih banyak dan
aku cukup uang untuk membelinya. Hahaha.
Ayooo bangkit. Jangan
biarkan dirimu terkungkung ketidakpastian. Tidak baik berada dalam kungkungan
ketidakpastian. Meskipun ini sangat berat dan melelahkan. Siang hari aku
bekerja secara normal. Bercanda ria dengan teman kerja. Seolah tidak terjadi
apa. Malam hari aku nongkrong dengan teman-teman seperti tidak ada luka dalam
jiwaku. Aku pun tertawa ngakak. Seolah aku baik-baik saja. Namun tatkala aku
harus pulang ke rumah. Menuju kamarku. Aku seperti melihat kesuraman.
Kejenuhan. Kematian dan ketidakberdayaan. Aku membuka media sosial. Mulai dari
IG. Linkedin. Story WA. Facebook dan twitter. Dan media lain-lain. Aku hanya
membaca apapun yang berada dalam feed androidku. Aku belum minat untuk mencari
perempuan lain. Jika hanya untuk sakit hati kembali.
Aiii jangan-jangan aku
terlalu serius dalam mencintai, sampai aku lupa untuk menjaga diri. Perasaan
macam ini. Aku selama ini terlalu menyiakan semua permintaannya. Mengupayakan
apapun yang dia inginkan. Dan dia tetap pergi. Apakah aku sudah perhitungan.
Ketika kau mengingat gajiku yang ludes demi ia seorang. Padahal aku bukan DPR
yang seenaknya saja menghambur-hamburkan uang negara. Aiii.
Aroma tai kucing dari
kandangnya membuatku semakin sadar. Bahwa aku hanya diberi sisa-sisa kotoran
yang seharusnya aku buang secepatnya pasca kucing itu telah jatuh cinta pada
kucing dari kampung sebelah. Seperti apa dia sekarang iya. Apakah masih
menggemaskan? Lucu? Dan imut! Aiii pada saat berupaya keras untuk melupakan,
aku justru terkapar dalam kenangan tai kucing. Dasar tai kucing. Tak tahu
diuntung. Awas jika aku berjumpa kembali. Aku akan meracunnya.
Hei. Kamu kenapa. Kau
bermaksud meracun kucing yang tidak berdosa itu. itu hanya seekor kucing yang
kebetulan jatuh cinta pada kucing pria dari kampung sebelah.