Kucing Ketiga yang Aku Tolong (I)


Sungguh mengerikan. Bagaimana tidak. Seekor kucing terkapar. Lemah. Tak berdaya. Bulunya penuh dengan bercak-bercak merah. Mukanya sudah tidak jelas, penuh dengan bekas luka. Oh tidak. Kaki kiri yang belakang pincang. Apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa aku tak sesemangat itu lagi ya untuk menolong kucing yang terkapar. Apalagi kucing ini, yang ada di hadapanku ini lebih parah kondisinya. Ia bukan hanya sendirian. Lemah. Tak berdaya. Lihatlah bulunya yang berantakan. Kumal. Kucel. Jujur saja sekarang, aku tak memiliki semangat sebagaimana saat pertama aku menemukan kucing. Saat itu, rasanya aku ingin segera menyulap dengan jurus-jurus seperti dalam film Angling Dharma, atau Mak Lampir (Misteri Gunung Merapi) atau Wirosableng. Dengan ajian apalah namanya dimana waktu seketika kucing itu akan kembali sehat, bugar dan lucu. 

Aku tahu bahwa untuk menyembuhkan kucing, kau harus melewati berbagai fase, mulai dari pengobatan, perawatan, dan ketelatenan dalam memberi makan. Sebab kucing yang terkapar, tak berdaya, sulit untuk mengunyah. Dirimu akan berjumpa dengan hari-hari yang terpola, seperti memberi makan di pagi hari ya tentu saja dengan cara menyuapi, untuk minumnya kau tidak bisa sekedar menyediakan tempat, serupa gelas, atau apalah yang ada airnya. Tidak bisa. Kau harus rela membuang waktu, eh menyediakan waktu khusus untuk kucing itu di pagi hari, lalu kau harus bergegas kerja, jika dirimu bekerja, atau kau harus bergegas ke sekolah, ke kampus atau kau harus merelakan waktu kencanmu terbuang tanpa makna. Kau harus memilih itu.

Aiii nafas kucing ini semakin pendek saja kelihatannya. Apa tidak ada manusia yang mau menolongnya. ‘kau lupa bahwa dirimu manusia, Mir’ entahlah, mengapa orang-orang menyebutku Plamir setelah bekerja di bagian cat-mengecat lemari kayu. Padahal namaku bukan ta’mir, bukan pula Mirah Menyala. Kau ingin tahu namaku? Apa pentingnya sebuah nama. Jika kau tahu namaku, tapi kau tahu bahwa aku tak menolong kucing yang tak berdaya, lemah, terkapar penuh nanah. Dikerubung lalat-lalat kotoran. Kau tentu saja akan mengecamku. Halah. Kau diam-diam sudah menyediakan kecaman paling dahsyat. Kau pasti bertanya-tanya aku masih berpikir panjang untuk menyelamatkan hewan jika saja diriku bisa dan berada dekat dengan kucing itu.

“Sayang, kenapa kau ada disini. Dari tadi aku mencari kamu. Di whatsap kau tak bales sama sekali.” Pacarku datang naik motor. Ia cantik sekali. Mempesona. Siapa lagi kalau bukan aku yang akan memujanya. Ia tampak panik melihatku berada di pinggir jalan. Berhadapan dengan seekor kucing yang sudah seharusnya cepat aku tolong.

Maos jugan

“Cepat angkat itu kucing. Ayo kita bawa ke dokter hewan.” Dengan meringis dan agak sedikit ceriwis. Pacarku mengoceh. Aku pun bergegas berangkat menuju dokter hewan terdekat. Kau pasti tidak menduga apa alasanku mempercepat pertolongan pada hewan itu. kau juga sudah mengira bahwa kami berprikehewanan.

“Tapi disini tidak ada dokter hewan. Disini sangat sulit dokter, perawat, atau apalah itu khusus hewan, padahal di daerah sini tu banyak yang mau memelihara sapi, kambing, nah ayam juga, tapi dokter hewan bukan hanya terbatas, tapi tidak ada. Pemudanya pun lebih memilih jadi penyair dan seniman yang takut pada kotoran hewan.”

“Kamu menyinggung diri sendiri. Hahaha. Bacotmu itu lho. Kaffah untuk diri sendiri. Ayooo gass. Kita harus cepat-cepat menolong kucing itu. segera!”

“Baiklah…” aku pun bergegas mengangkat kucing yang tak berdaya itu. membawanya ke dokter hewan di klinik Hewan Ceria. Pacarkulah yang mengantarnya ke dalam. Aku memilih menunggu di luar. Di teras depan yang juga ruang tunggu.

***

Aku cukup lelah dan ketakukan. Oh tidak. Bukan. Bukan itu maksudku. Aiiih bagaimana ya enaknya aku bercerita padamu. Pasti kalau cerpenku macam ini tidak akan dimuat media. Tapi aku tak boleh pesimis. Percayalah, cerpenmu ini akan dimuat oleh media ternama. Hahaha.

Hah…

Itu kan. Itu kan perempuan yang sering bersamaku dalam setengah tahun ini. Iya dia bekerja di jasa pelayanan. Dia masuk kerja tiap hari, lalu libur satu hari, tapi bukan hari minggu liburnya. Namun setiap minggu itu pasti libur satu hari. Apakah itu lembaga swasta atau pelayanan publik plat merah. Sepertinya milik orang dalam. Iya, dulu ia bercerita padaku bahwa bosnya bilang, pemiliknya bilang bahwa jika layanan publik itu tidak harus libur pada hari ahad. Bisa libur di lain hari itu. sebab orang-orang membutuhkannya setiap hari. Kita tidak tahu dan tidak bisa memprediksi kapan orang membutuhkan kita. Sebagai perusahaan jasa pelayanan publik, akhirnya mereka liburnya bergantian. Ada yang hari senin. Ada yang hari selasa. Rabu. Kamis jum’at. Tidak dengan sabtu dan minggu. Karena orang-orang akan berlibur. Jadi mereka melayani pada hari orang-orang berlibur. Melayani dan memberikan pelayanan publik pada saat mereka berlibur tentu akan menghasilkan laba yang besar. 

Sebenarnya, dengan pola kerja yang seperti itu. aku tidak bisa bertemu dengannya pada hari libur. Karena ketika dia libur. Aku tidak libur. Ketika aku libur. Dia tidak libur. Iya itu adalah perempuan pertama yang mengajariku jatuh cinta pada kucing. Setiap saat kami berjumpa, kami selalu membicarakan kucing. Kucing. Kucing. Dan kucing. Sampai kami merasa menjadi budak kucing. Mulai dari memberi makan. Membersihkan kandangnya. Membuang kotorannya.

Saat itu kami juga menemukan kucing terkapar di pinggir jalan. Membawanya ke rumah. Memandikan. Memberi obat. Memberi susu. Menyediakan tempat. Awal kami berkenalan dengan kucing. Sungguh membuat kami terasa begitu rempong. Kami ingin memberikan perawatan yang prima dan sempurna terhadap hewan itu. kami tak ingin menyakitinya. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Bulan. Syukurlah tidak perlu bertahun-tahun. Ia sembuh. Berjalan normal. Lucu dan menggemaskan. Kami tersenyum puas. Bangga. Usaha kami menyelamatkan satu hewan berhasil. Kami hanya berharap, ia betah berada di rumahku yang ah… tidak seperti istana.

Kucing itu pun berkenalan dengan jalan-jalan di sekitar rumahku. Tidak hanya keliling kompleks, tapi juga ke kampung sebelah. Ternyata ia berkenalan dengan kucing pria dari kampung sebelah. Dan itu berbarengan dengan berkenalannya pacarku dengan pria lain dari tempat kerja lain. Kami memang tidak satu tempat kerja.

Aku terkejut saat dia sudah kencan di kafe dekat tempat kerjaku. Ahhh dadaku panas. Ada gelembung-gelembung kemunafikan di dalam dadaku. Aiiih. Saat itu aku lemes. Tak berdaya dan terkapar. Tanpa seorang pun yang melihatku. Masuk ke kamar mandi. Mengucurkan air mata. Malam itu aku mencoba menenangkan diri dengan minuman khas. Sebuah kopi bercampur minuman “Murni”  aku tenggak dalam tiga kali minuman. Ahhh. Terbang aku dibuatnya. Malam itu aku lupa dimana kucingku. Namun di pagi hari. Saat aku melihat kandangnya. Ia telah kosong serupa hatiku. Ada yang berdenyut dalam getaran hatiku. Anjay. Semuanya pergi dalam seketika. Bersamaan. Oh. Alangkah nasib. Umat manusia. Dan keterkaparan yang menyelimuti hidupku. Tangis macam apa yang cocok untuk mewakili perasaanku. Mampukah cucuran air mata ini mewakili lukaku yang terdalam. Tak ada yang mau mendengarkanku. Siapa yang akan menyangka bahwa aku akan mengalami hal seperti ini. Kita sama-sama bekerja. Untuk menabung. Menabung harapan agar menjadi kenyataan. Tapi apalah daya. Kucing kampung sebelah nampaknya lebih menjanjikan.

Aku pun kembali bekerja seperti semula. Aku memilih tidak masuk kerja dua hari. Yang membuat kepala HRD muntab dan memarahiku sepenuhnya. Aku ingin pindah kerja.

“Silahkan pindah kerja. Ada ribuan surat lamaran kerja masuk. Siap menggantikan kalian. Tenaga macam kalian buat apa. Silahkan. Di luar sana lebih ganas. Kalian sudah dapat kerja? Tidak mungkin. Sekarang pandemik. Orang-orang susah mendapatkan pekerjaan. Banyak yang di-PHK. Kalau kalian mau mencoba silahkan. Akan saya beri rekomendasi secepatnya.”

Mendengar ceramah ideology cara mencari uang. Aku semakin terkapar. Tak ada yang mau memperhatikanku. Aku ingin bunuh diri saja. Mengapa dunia tak baik-baik saja. Ahh. Duniaku terasa runtuh seketika. Anjing. Ahhh sebuah pisuhan yang tak berarti apa-apa. Haruskah aku bertengkar dengan lelaki yang telah mengambil pacarku itu. aiii ini akan menjadi perang besar. Tapi pelacur masih banyak dan aku cukup uang untuk membelinya. Hahaha.

Ayooo bangkit. Jangan biarkan dirimu terkungkung ketidakpastian. Tidak baik berada dalam kungkungan ketidakpastian. Meskipun ini sangat berat dan melelahkan. Siang hari aku bekerja secara normal. Bercanda ria dengan teman kerja. Seolah tidak terjadi apa. Malam hari aku nongkrong dengan teman-teman seperti tidak ada luka dalam jiwaku. Aku pun tertawa ngakak. Seolah aku baik-baik saja. Namun tatkala aku harus pulang ke rumah. Menuju kamarku. Aku seperti melihat kesuraman. Kejenuhan. Kematian dan ketidakberdayaan. Aku membuka media sosial. Mulai dari IG. Linkedin. Story WA. Facebook dan twitter. Dan media lain-lain. Aku hanya membaca apapun yang berada dalam feed androidku. Aku belum minat untuk mencari perempuan lain. Jika hanya untuk sakit hati kembali.

Maos jugan

Aiii jangan-jangan aku terlalu serius dalam mencintai, sampai aku lupa untuk menjaga diri. Perasaan macam ini. Aku selama ini terlalu menyiakan semua permintaannya. Mengupayakan apapun yang dia inginkan. Dan dia tetap pergi. Apakah aku sudah perhitungan. Ketika kau mengingat gajiku yang ludes demi ia seorang. Padahal aku bukan DPR yang seenaknya saja menghambur-hamburkan uang negara. Aiii.

Aroma tai kucing dari kandangnya membuatku semakin sadar. Bahwa aku hanya diberi sisa-sisa kotoran yang seharusnya aku buang secepatnya pasca kucing itu telah jatuh cinta pada kucing dari kampung sebelah. Seperti apa dia sekarang iya. Apakah masih menggemaskan? Lucu? Dan imut! Aiii pada saat berupaya keras untuk melupakan, aku justru terkapar dalam kenangan tai kucing. Dasar tai kucing. Tak tahu diuntung. Awas jika aku berjumpa kembali. Aku akan meracunnya.

Hei. Kamu kenapa. Kau bermaksud meracun kucing yang tidak berdosa itu. itu hanya seekor kucing yang kebetulan jatuh cinta pada kucing pria dari kampung sebelah.


Mat Toyu pangarang buku Kerrong ka Omba'

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak