OMBAK

Anak yang baru saja kalah bermain dakon itu ketakukan. Ia menggigil mendengar suara keras bapaknya. Lelaki berkumis yang tumbuh lebat di atas bibir. Anak lelaki yang masih terbayang pada biji dakon itu sangat ingin tahu tentang pantai, ombak dan seluruh isi lautan. Pada waktu tertentu anak kecil itu berupaya berangkat diam-diam. Menyelinap dari dapur.  Ia berpikir bahwa dirinya tidak ada yang mengawasi. Tak ada orang yang tahu atas keberangkatannya menuju laut yang berjarak cukup jauh. Baru setengah perjalanan, ia berjumpa dengan bapaknya yang baru saja pulang menyabit rumput. Lelaki berkumis itu nyaris menjewer telinga anak kecil itu, hanya saja ia membatalkan karena tak enak pada orang-orang yang sedang berada di tempat itu, serta kasihan anak itu jika dipermalukan di antara teman-temannya. ‘ah sial! Batal lagi!’ ucapnya dalam hati. Anak kecil itu pulang dengan pikiran berkecamuk penuh kesal.

 

“Ini panas. Hari sangat panas! Bapak sudah bilang, mending tidur. Masih saja kaya ayam nyari makan. Ngalole. Main terus! Apa kamu saja besok yang nyabit?”

 

Ia pulang. Tiba di rumanya. Ia mendekati dakon yang dibelikan bapaknya waktu ada gabay (acara mendatangkan sinden, biasanya di luar acara banyak pedagang kaki lima yang berdagang mainan). Dakon itu telentang. Lubang dakon dihitung. Ada enam belas lubang. Empat belas lubang kecil. Terdiri dari dua baris. Tujuh. Tujuh. Bersanding. Dua lubang besar. Sedang dua lubang berada di kanan-kirinya. Masing-masing lubang terisi tuju biji dakon. Ketika bermain dakon. Biji-bji itu akan diedarkan pada seluruh lubang dakon. Kecuali pada satu  lubang besar milik musuhnya. Jika ia mengisi lubang milik musuh, berarti telah mengisi tabungan milik orang lain. Harus selalu ingat untuk mengisi satu lubang besar untuk menyimpan, semakin banyak biji dalam lubang besar, semakin menunjukan bahwa ia bermain dengan penuh strategi. Kemenangan akan mudah. Iya, menambah satu biji. Satu biji. Tanpa terasa akan menggunung.


Maos jugan


“Kenapa harus seperti ini ya… Cuma muter-muter. Bikin sakit tangan aja?” ucapnya seorang diri. “Mau makan dulu aja. Barangkali habis makan teman-teman yang akan bermain kelereng pada datang.” Ucapnya pada diri sendiri sembari menuju dapur.

 

Anak lelaki itu merasa lebih senang bermain dakon daripada bermain kelereng. Jika bermain kelereng, terkadang ada kecurangan, yang tiba-tiba rebutan, anak-anak yang lain mengambil secara rakus, saling mukul dan bertengkar. Anak itu memilih menyingkirkan diri bila terjadi seperti itu. Ia kemudian memilih bermain dakon. Sembari berhitung, menghitung biji agar tidak salah, agar langkahnya tak terhenti, atau jika terhenti bisa menembak milik musuh yang akan menghasilkan biji yang banyak. Sembari bermain, tak terasa anak itu telah berhitung, berstrategi, dan belajar bertahan.

 

Dalam pikiran anak itu sebutir pertanyaan tumbuh. Pertanyaan itu menyelepit di akar rambutnya. Ada apa di laut? sehingga dirinya tak diperbolehkan pergi ke laut, untuk sekedar melihat laut dengan ombaknya. Ia tak dapat menikmati makan siangnya. Walaupun terhidang aneka macam ikan, teri dengan ulekan tomat, petis, garam dan cabay. Selera makannya hilang begitu saja. Ia seperti kenyang seketika. Adanya teri, bandeng, panet tak mampu mendorong nasi masuk ke dalam perut.

 

Anak kecil itu semakin penasaran. Mengapa dirinya tak diperbolehkan melaut. Padahal orang-orang saban hari menjual ikan, udang, dan ikan-ikan yang lain. Darimana dapat semua itu jika bukan dari laut. Ia tahu semua itu dari ibunya bahwa ikan-ikan itu berasal dari laut, ikan-ikan itu tak diproduksi seperti jajanan pasar atau jajanan yang biasa anak itu dibeli di toko terdekat.

 

Ketika sedang berkumpul pada malam hari setelah mengaji di surau, anak itu hanya mendengar cerita waktu teman-temannya pergi ke laut. Bongkar-bongkar batu karang yang di bawahnya ada kepiting, rajungan, balatthang, meskipun sakit jika tercapit kepiting. Tentang batu karang yang seperti otak manusia, indah menawan, batu indah yang tidak akan ditemukan di puncak gunung. Temannya juga bercerita tentang air laut yang jernih, atau jika duduk di bawah pohon kelapa pinggir pantai beralaskan rumputan yang luas, melihat sampan yang ngoy-langngoyan. Melihatnya saja sudah dapat merasakan nyamannya. Terbuai angin pantai. Bangau putih beterbangan di atas air laut, seperti hendak hinggap namun tetap terbang. Bangau-bangau putih itu berkejaran di atas ombak yang datang silih berganti dan berkejaran menuju bibir pantai. Ketika menjelang terbenamnya matahari, mereka melihat matahari nyaris tenggelam. Anginnya sepoi. Sampan bergoyang santai mengikuti irama ombak. Awan merah melukis keindahan di atas lautan. Awan-awan itu menjadi pembatas lautan agar air laut tak tumpah.

 

“Ombak datang, awan yang sebesar kuba masjid itu masuk menelusup ke dalam lautan dari perbatasan laut sana, masuk ke luat jadi ombak, berjalan seperti awan yang berjalan di langit. Jadinya, ombaknya berkejaran. Lihat saja awan putih yang bertaburan, berombak kan. Lalu diseret angin, sehingga awan menjadi rendah, mendekati di perbatasan antara laut dan langit, di perbatasan itu, antara angin dan laut tersambung, sehingga awan masuk dan lautan berisi ombak.” Cerita temannya.

 

“Tapi kenapa tidak ada omba merah?” Tanya yang lain.

 

“Kata siapa tidak ada. Coba saja lihat menjelang terbenamnya matahari, hampir maghrib. Air laut pasti ngamerah (memerah). Kamu sih buru-buru pulang. Tidak lihat ombak yang merah. Ahhh… makin lebur tahu!” Sahut anak kelas lima SD yang sering merajai ketika hendak pergi kelaut, seperti Kapten Jack Sparrow.

 

“Kenapa tidak ada ombak hitam? Itu kan ada awan hitam. Seperti ketika mau hujan. Awan kan hitam. Kenapa tidak ada ombak hitam?” yang lain bertanya juga. Anak itu ingat pada awan hitam menjelang hujan yang seakan-akan mendesak orang-orang untuk segera angkat jemuran.

 

“Awan hitam tidak akan menjadi ombak hitam. Karena.” Anak kelas lima SD, Sang Raja Lautan itu menghela nafas. “Karena hitamnya itu dihanyut air laut yang penuh arus. Jadinya tetap ombak putih. Hitam itu kan kotoran, hitamnya itu seperti lumpur, air yang bercampur tanah, seperti di sawah. Nah, tanah itu kan berat, apalagi cuma sedikit, sedang air laut kan banyak, jadi tenggelam, karena berat, tidak bisa mengambang seperti awan putih yang suci.” Ucapnya penuh percaya diri dengan mulut kembung. Tak terasa ludahnya bercipratan ke lantai surau.

 

“Mulutmu itu kembung!” ia tarik nafas. “Tapi kenapa yang merah tidak tenggelam. Kenapa tetap jadi ombak merah?”

 

“Ya…” Sang Kapten Laut itu garuk-garuk kepala. Mencari ketombe di akar rambutnya. “Karena awan merah tidak bisa tenggelem. Gituh aja kok repot!” mereka tertawa bersama. Mereka mulai ngantuk.

 

Anak yang tidak pernah diizinkan pergi ke laut itu sangat ingin sekali melihat laut, ombak yang disusupi awan. Menurut temannya, ombak tidak akan ada, air tidak akan menyembul, atau bergelembung, bergulung-gulung seperti adanya ombak jika tidak ada yang menelusup ke dalam air. Seperti air sungai, biasa saja, datar, tenang, sebab air sungai tidak berbatasan dengan langit yang merupakan batas lautan. Begitu pula dengan air di kamar mandi. Tenang. Tak ada gejolak air. Tak ada riak air. Tenang. Tanpa ombak. Begitu kata teman yang ahli dalam kelautan. Bahwa air itu selalu berada dalam ketenangan. Hanya saja ada awan yang menelusup ke dalam air, bergelembung, menjadikannya ombak.

 

“Bila ada ombak besar, air pasang, itu tandanya awan yang masuk juga besar?” teman yang nyaris tertidur itu masih penasaran.


Maos jugan

 

“Hemm. Sajjana! Karepmu! Jika awannya Cuma secuil, ya ombaknya Cuma tha-ethe. Ya Cuma jadi ombak. Termasuk awan hitam itu. kan kadang hitam gelap gulita kan. Menutup matahari. Ya, akhirnya ombaknya besar. Menjadi arus besar. Agules. Menghanyut. Tak tersisa. Menghabiskan perahu. Bambu-bambu rumput laut. Sampan-sampan dihantam. Dibalik. Tumpah!” waktu mengucapkan tha-ethe, ia sangat yakin dengan melafalkan e tengah dengan melengkung dalam langit-langin mulutnya menjadi tha-eeethe. Dibaca tiga huruf.

 

“Mengerikan ya. Pantesan banyak yang tak diizinkan ke laut kalau anak-anak.” Ucap anak yang tak diizinkan pergi ke laut.

 

“Ya makanya dirimu tak diizinkan pergi ke laut sama mamakmu!”

 

“Ya, gak usah nyebut mamak keles. Kita sama-sama punya mamak! Sama-sama coklat juga mamaknya.”

 

“Dulu orang-orang memang dilarang melaut katanya. Sebab pantai dan laut selain banyak kepiting yang mencapit itu.”

 

“ehmm… emangnya gak mencapit orang tua ya?”

 

“Ya. Tidak. Sebab mereka tahu caranya menangkap. Jika anak-anak seperti kita ya langsung diambil secara rakus, seperti mengambil jajanan pada saat tahlilan, gak mikir capit kepiting. Yang penting ambil aja. Ya tentu dicapit. Kalau ahlinya dalam kelautan, ya pelan-pelan agar tidak mencapit. Jika anak-anak kaya kita-kita ini, ya capitnya yang dipegang duluan. Ya dicapit. Untung saja bukan burungnya yang dicapit.”

 

“Selain itu, dulu laut itu dijaga. Katanya,sssstt” ia menaruh telunjuknya di atas hidung. Suasana semakin hening. “Katanya ada ada orang berbaju loreng yang menjaga laut. Siapa saja yang pergi ke laut akan ditangkap, sebab mereka menjaga tambak, menjaga isi lautan supaya tidak diambil orang-orang kampung sini, orang-orang daerah sini. Orang-orang penjaga yang berbaju loreng itu orang asing, jauh banget. Didatangkan dari jauh banget. Dari ujung belahan bumi yang lain. Juga ada anjing penjaganya. Anjingnya akan menggonggong jika melihat orang lain selain penjaga.”

 

“Banyak orang yang ditangkap. Lalu dipasung. Seperti kepiting mencapit. Ditenggelamkan di tengah laut. Digules arus. Sekarang, kadang-kadang aku nemo tengkorak kepala.” Suasana semakin hening. Angin bertiup pelan. Daun kelapa melambai-lambai. Seperti ada yang beterbangan di malam gelap. “Cukup banyak tulang-belulang. Dan ketika tiba-tiba bertatapan dengan tengkorak kelapa. Hehhe.. merinding bulu kulitku. Heeeehhhw! Takut!”

 

“Katanya dulu sekali. Orang-orang setelah ditangkap lalu ditenggelamkan ke laut. Banyak orang yang tidak bisa pulang dari laut, ya karena ditenggelamkan. Jika istrinya mencari ke laut, istrinya akan ditangkap. Dan disuruh menjepit burung lelaki penjaga pantai itu. tidak secepat suami mereka yang ditenggelamkan.

 

“Sekarang juga ada. Beberapa pinggir pantai yang dijaga ketat. Banyak orang yang akan pergi melaut, majang, ngarakat, dilarang. Sebab di tempat itu, di pinggir pantai itu sudah dimiliki orang jauh banget. Orang asing. Mereka membelinya dengan uang yang sangat banyak. Juga dijaga oleh anjing. Anjing pelacak!”

 

”Kamu tahu dari siapa itu?”

 

“Banyak orang bercerita. Kan isi lautan itu banyak sekali. Tidak pernah ada habis-habisnya. Dari dulu. Darinya dulunya dulu. Sampai sekarang ikan-ikan tetap saja ada. Tidak ada habis-habisnya. Seandainya orang sini pinter, tentu masih bisa melaut, tanah-tanah di pinggir pantai tidak jatuh ke tangan orang lain, apalagi sampai jatuh ke tangan asing.”

 

“Iya gimana kalau orang-orang sini takut sama ombak. Ombak kan datang tak dijemput, tanpa aba-aba. Ombak tiba-tiba besar. Agules. Tak ada yang tahu.”

 

“Itu kan menurut kamu. Orang sini itu sudah sejak lama, sejak dulu menjadi rajanya lautan. Meskipun tangan dan kakinya di ikat lalu tubuhnya diikatkan sebatang kayu, ditenggelamkan ke laut, ada juga yang selamat, dengan cara berenang sendiri, ada yang mengikuti arus dalam lautan kemana ombak itu membawa, ada pula yang memberontak dalam lautan, tapi ia tenggelam, sebab ada yang tertolong. Katanya sih begitu.”

 

“Ya laut memang menakutkan!”

 

“Ya karena kita dibuat takut. Selalu ditakut-takuti. Orang-orang sini dibuat tidak berani. Dibuat kercet pikirannya. Pikirannya ditindih, dilemahkan. Dikerdilkan dengan cara ditakut-takuti.

 

Yang selamat, meskipun ini  agak tidak masuk akal, karena dibuang ke tengah laut, ditenggelamkan itu, tapi selamat. Hidup. Ia bercerita bawah laut sangat indah. Batu karang. Ikan-ikan yang warna-warni. Biota laut yang menakjubkan. Seperti juga ada tumbuhan yang sangat menawan. Airnya sangat tenang. Orang itu merasakan alangkah tenangnya air di bawah laut. Namun karena ia terikat tangan-kaki. Hanya bisa melihat keindahan dalam mempertahankan nyawa. Hampir mati. Mati. Tidak bisa nangkap ikan yang berwarna-warni, tak bisa membawa batu-batu yang cukup indah. Sayang sekali, teman kita juga ada yang dibuat takut pergi ke laut. Ia bahkan tak tahu betapa indah terbenamnya matahari. Senja.

 

 

 

Madura, 2021

*Ombak Diterjemahkan dari Cerita pendek berbahasa Madura yang berjudul Omba’ dalam buku antologi Kerrong ka Omba’ (Mat Toyu, Sulur, Yogyakarta, 2019).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak