PALUM: Lawan Kata Haus yang Baru dan Segar

PALUM, KBBI Indonesia, Madura, Sastra dan Budaya Madura

Pernah nggak sih kamu merasa kata-kata di KBBI itu kaku dan jarang berubah? Nah, sore ini kita punya kabar segar: sekarang ada satu kata baru yang cukup unik, namanya PALUM. Kata ini resmi masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) di akhir tahun 2024 dan diresmikan penggunaannya pada Juli 2025.

Jadi, apa sih sebenarnya palum itu? Sederhana saja: palum adalah lawan kata dari haus. Kalau biasanya kita cuma tahu kata haus — kondisi saat kerongkongan kering, bibir pecah-pecah, dan pikiran cuma fokus ke air dingin atau kopi es — sekarang kita punya satu kata yang pas banget buat menggambarkan kebalikannya.

Maos jugan

Bayangkan begini: kamu habis berlari pagi di taman, peluh mengucur deras, napas ngos-ngosan, lalu kamu buka botol minum. Air dingin menyentuh tenggorokan, mengalir perlahan, rasanya segar, dan... ah, palum!* Hilang dahaga, puas, plong. Itulah inti dari  palum : keadaan setelah minum ketika haus lenyap.

Kalau dipikir-pikir, aneh juga kenapa selama ini kita tidak punya kata khusus untuk kondisi setelah haus. Padahal haus itu penting, apalagi di negeri tropis seperti Indonesia. Kita gampang berkeringat, gampang dehidrasi, dan minum adalah rutinitas harian yang kadang malah jadi momen istimewa.

Contoh kecil, lihat saja warung kopi di pinggir jalan. Banyak orang nongkrong berjam-jam, hanya untuk meneguk segelas kopi panas sambil ngobrol. Rasa haus mungkin sudah hilang sejak seruputan pertama, tapi sensasi  palum  itulah yang bikin kita betah: rasa puas, lega, dan kadang bikin kita ingin memesan segelas lagi.

Nah, kata  palum  ini diambil dari bahasa Batak Pakpak — salah satu suku Batak yang mendiami daerah Dairi, Pakpak Bharat, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Tengah di Sumatera Utara. Bahkan sebagian wilayah Aceh seperti Aceh Singkil dan Subulussalam juga jadi rumah bagi penutur bahasa Pakpak. Kata ini bukan sekadar kata, tapi juga potongan budaya.

Bayangkan orang-orang Pakpak di kampungnya yang sejuk dan rimbun pepohonan. Usai bekerja di ladang atau pulang dari pasar, mereka duduk di balai, saling bercerita sambil meneguk air atau minuman lain. Rasa haus hilang, dan muncul satu kata:  palum . Sederhana, hangat, dekat dengan keseharian mereka.

Bagi orang Pakpak,  palum  bukan hanya keterangan fisik — bukan cuma ‘sudah tidak haus’ — tapi juga sensasi rasa syukur dan nikmat yang sederhana. Sesuatu yang barangkali jarang kita sadari. Kita sibuk mengejar target, deadline, dan segelas air hanyalah rutinitas. Padahal, momen meneguk air adalah momen perayaan kecil: dari haus ke palum.

Lalu kenapa kata ini bisa ‘naik pangkat’ ke KBBI? Jawabannya sederhana: karena kita butuhnya! Bahasa berkembang bukan hanya soal tren, tapi soal kebutuhan menamai realitas. Selama ini kita terbiasa memakai kata ‘lega’, ‘puas’, atau ‘segar’ untuk menggambarkan sensasi setelah minum. Tapi rasanya masih kurang pas. Sekarang, dengan adanya  palum , kita punya satu kata yang benar-benar tepat sasaran.

Coba bayangkan percakapan santai begini:

“Haus banget ya?”

“Iya. Minum dulu lah.”

(Setelah minum)

“Gimana?”

“Wah, palum banget!”

Menyenangkan kan? Ringkas, padat, dan terasa lokal.

Dengan hadirnya kata  palum , kita juga diingatkan betapa kaya dan beragamnya bahasa daerah di Indonesia. Selama ini kita sering meminjam kata dari bahasa asing. Coba hitung: kata-kata seperti deadline, meeting, zoom, online, sudah jadi makanan sehari-hari. Sesekali, rasanya bangga juga kalau kita justru meminjam dari kekayaan bahasa sendiri.

Maos jugan

Bahasa Pakpak adalah satu dari ratusan bahasa daerah Nusantara. Di antara banyaknya kata,  palum  terpilih untuk masuk ke KBBI — sebuah pengakuan kecil bahwa bahasa daerah bukan sekadar peninggalan, tapi sumber daya hidup.

Coba bayangkan kalau kebiasaan ini diteruskan. Siapa tahu nanti muncul kata-kata lain yang unik: kata untuk kondisi perut pas setengah kenyang, kata untuk rasa kangen yang muncul tiba-tiba, atau kata untuk suasana hati di sore mendung yang bikin malas ke mana-mana.

Tentu saja,  palum  bukan kata sakti yang harus dipakai kaku. Pakai sesukamu, selipkan di obrolan, jadikan status WA, bikin caption Instagram, atau cukup simpan di kepala sebagai pengingat bahwa minum itu bukan hanya menghilangkan haus, tapi juga menghadirkan  palum  — momen sederhana yang sering kita lupakan.

Dan kalau kamu punya teman orang Pakpak, jangan lupa ucapkan terima kasih. Karena lewat kata kecil ini, mereka mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, minum air, dan merayakan kepuasan kecil di sela kesibukan.

Jadi, lain kali kalau kamu minum es teh di pinggir jalan, kopi di kedai, atau cuma air putih dari galon — ingatlah: dari haus menuju palum. Nikmati tegukanmu, rasakan sensasi segarnya. Kalau perlu, katakan pelan-pelan di hati: “Ah, palum…”

Selamat minum, selamat palum, selamat menikmati kata baru ini. Semoga kita tak sekadar melepas dahaga, tapi juga belajar merayakan hal-hal kecil dalam hidup. Karena kadang, kebahagiaan memang sesederhana tegukan air di siang panas — dan kata  palum  lah yang merangkum semuanya.

 

*Kata Palum ini saya baca di facebook KADE DA


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak