Pilihan Kata dan Gaya Bahasa

Pilihan Kata dan Gaya Bahasa, menulis cerpen, carpan, karya sastra


Tentu saja kita telah berkenalan dengan cerpen (cerita pendek) dimana beberapa hal mendasarnya sudah kita ketahui di luar kepala, seperti, tema,  Tokoh atau penokohan, alur cerita, Latar, gaya Bahasa, sudut pandang dan amanat. Hal-hal tersebut sudah menjadi unsur penting yang tidak bisa dihilangkan, atau ditinggalkan tatkala menulis cerita pendek.

Nah, kemudian setelah hal mendasar tersebut, ada beberapa yang cukup menarik untuk dijadikan pijakan agar tulisan karya kita itu menjadi lebih energik, yaitu Pilihan Kata atau Diksi serta Gaya Bahasa. Pilihan Kata (diksi) akan menyeret pembaca ke suasana yang terbangun. Tidak dapat dipungkiri bahwa latar belakang penulis, seperti kondisi sosial, letak geografis dari penulis akan memberikan gambaran/ memberikan efek terhadap gaya Bahasa dalam menulis cerpen/ carpan (cerita pendek/careta pandha’).

Artinya secara tidak langsung, latar belakang sosialnya, mulai dari Pendidikan, lingkungan penulis, letak geografis akan berpengaruh terhadap pilihan kata dan gaya Bahasa penulis, seperti penulis yang berada di dekat laut, nuansa tulisannya akan selalu berdekatan atau setidaknya akan bernuansa laut, Pantai, perahu, ikan, baik ikan busuk, pekerja laut, dan beragam biota laut lainnya, seperti apa ceritanya orang menjual ikan dan hal-hal yang menyertainya. Mahwi Air Tawar, Muna Masyari, Mudhar Ch bisa menjadi contoh cerpenis Madura.

Maos Jugan

Dalam penulisan cerpen, "pilihan kata" atau disebut juga dengan "diksi" adalah pemilihan kata-kata yang tepat dan efektif untuk menggambarkan suasana, karakter, dan emosi dalam cerita. Pilihan kata sangat penting karena dapat memengaruhi bagaimana pembaca memahami dan merasakan cerita. Kehadiran kata yang digunakan akan mampu menyeret pembaca ke dalam peristiwa-peristiwa yang terbangun dalam cerita. Tentu saja masing-masing orang memiliki caranya tersendiri dalam membahasakan cerita tersebut. Pasti tidak sama. Meskipun melihat peristiwa/gambar yang sama. Tentu kalian sering mendengar ceritanya orang buta (tuna netra) saat meraba gajah. Pasti berbeda-beda. Ada yang hanya mengetahui tentang belalainya. Ada yang hanya mengetahui ekornya dan lain sebagainya.

Penulis cerpen menggunakan diksi untuk menciptakan nuansa tertentu, memperkuat tema, dan menggambarkan karakter serta setting dengan lebih jelas. Pilihan kata yang tepat dapat membuat cerita lebih hidup, menarik, dan mampu membangkitkan emosi pembaca. Tidak sekedar diceritakan, namun ada proses penggambaran secara lebih detail yang tentu saja hal ini akan memberikan efek-efek yang lebih menarik.

Misalnya, memilih kata "mendung" daripada "berawan" bisa memberikan kesan suasana yang lebih muram atau sedih. Mendung seperti tak beranjak dari kehidupanku. Ondhem petteng nyalemodi tang kaodhi’an, seyang malem, paggun apeneng dhalem kapettengngan (banne kapettengngen). Misal juga  “Di sore yang hening, desir angin lembut melintas dari utara ke selatan, seakan membawa bisikan sunyi yang membujur di sepanjang waktu.”

Ada beberapa Teknik agar, kita lebih mudah menemukan diksi yang tepat.

Pertama, Pahami tujuan cerita dan emosi yang ingin disampaikan. Cerita pendek yang hendak kita buat, itu akan bercerita tentang apa, great emosinya seberapa, sehingga diksi-diksi yang dihadirkan pun menyesuaikan dengan hal tersebut. Seperti akan bercerita tentang kematian, ini hal biasa dalam kehidupan kita. Tema-tema kematian adalah hal lumrah kita baca dalam beragam cerpen/carpan, tapi dalam cerpen tersebut, ya terbangun nuasanya, greatnya terasa, artinya jalan ceritanya tidak mati. Coba kita nikmati contoh ini:

Senja itu tiba dengan warna merah yang pudar, seolah langit sedang berkabung. Angin berdesir pelan, menyelinap di antara pepohonan tua di pemakaman kecil di tepi bukit. Di sana, seorang lelaki berdiri mematung, memandangi nisan tanpa hiasan, hanya batu kelabu yang namanya telah memudar digerus waktu. Wajahnya kosong, tetapi matanya menyimpan gelombang yang dalam—perpaduan antara kehilangan dan sebuah rahasia yang tak pernah terungkap.

Kedua, kenali dan pahami karakter dan setting cerita. Dua hal pertama akan sangat berpengaruh pada bangunan cerita pendek yang akan ditulis, ada banyak karakter manusia yang terkadang polos, tapi menyeramkan, kadang bermuka brewok, terkesan sangar, namun masih bisa nangis, dan lain sebagainya. Contohnya..

“Reng-oreng anya-tanya ‘Badha apa?’ ‘arapa’ ban laen samacemma. Kacong ganeko ekekke’ olar Kaber polana nyare tembung se ebateggagi kancana eteppa’na amaen bung-tembungan. Tembung ganeko pajat andhi’na Kacong, ana’na Dulla. Kacong ganeko sabendherra pon ta’ ebagi aen-maenan kaloar roma, balik esoro nenggu tipi, amaen game hapi, tape Kacong ganeko terro along-polonga ban barengnga, ban ca-kancana se lar-nalar ka kajuwan, nae’ bungkana accem, nae’ bungkana duwa’, kadhang nae’ ka bungkana monyet, daddina Kacong ganeko terro keya se kalowara dhari romana. Terro taowa ka lam-alaman se badha eseddi’na romana. Terro ajalana ka gar-pagar. Biyasana lakar ta’ ebagi ajalanan. Dulla ban binena pajat agasegan ta’ magiyan kalowaran ka Kacongnga. Bila Kacong ganeko nolonga berrem, eppa’na otaba emma’na ngoca’ “Jangan, nak. Jijik. Tuh ada banyak ulatnya. Ekaromo’ lala’ cong!” otaba bila entara ka pagar emma’na ngoca’ “Jangan. Ada ular. Ella, cong! Ella! Ella!” ban agasegan abahasa Indonesia. Akadiya. “Jangan” “Bukan seperti itu, nak. Aiii” “Tidak baik sayang…” tor kalemat-kalemat se laen. (Ejapa. Mat Toyu. Lalampan.com)

Ketiga, Perkuat Imaji dan Simbolisme: Gunakan diksi yang mampu menciptakan imaji visual, auditori, atau sensorik yang kuat dalam pikiran pembaca. Pilih kata-kata yang mampu memancing indra pembaca sehingga mereka bisa "melihat," "mendengar," atau "merasakan" apa yang terjadi dalam cerita. Simbolisme juga bisa ditingkatkan dengan pilihan kata. Misalnya, kata "kabut" bisa menjadi simbol ketidakjelasan atau kebingungan. Penggambaran yang lebih detail akan mempermudah pembaca membangun imaji dalam pikirannya, seperti nuansa “Ekaromo’ lala’, Juko’ budhu, baceng, bucco’, bau mennya’ gas, bau/ro’om bensin.” tentu rasanya akan berbeda. Bayangan terhadap pembaca pasti cukup menyengat.

Keempat, Gunakan Teknik Asosiasi dan Konotasi: Pilihan kata yang baik sering kali didasarkan pada asosiasi atau konotasi yang dibawanya. Kata-kata tertentu membawa makna tambahan atau rasa tertentu di luar makna harfiahnya. Misalnya, kata "rumah" bukan hanya berarti tempat tinggal, tapi juga bisa bermakna kenyamanan, kehangatan, atau perlindungan. Kalau dalam Bahasa madura, kita bisa menggunakan peribahasa, ya Parebasan Basa Madura. Balarak Kolare Tarebung Manyang, Baras Mare Tedhung Nyaman. Mara tep-kotep cellot, ban laen samacemma. Kita nikmati contoh-contoh ini:

Manten lake’ bine’ ajajar, angguyya patot, se ngeyase pajat ce’ taona, aba-tamba pangantanna padha pangaba’ sampayan.

Barleyanna rong-mancorong, se lake’ bagus, se bine’ raddin; kenning koca’ mara cacopo laban kodhungnga, mase bulan kembar, abasanna angkreng tor berrit. Kacator rama ebuna, ngabas ana’ se kadhuwa, bungana sagunung ana’. (dhalem buku Basa Madura Umum| Karangan M. Wirjoasmoro. Jugan teppa paneka.

“Dhu, kacong ban cebbing se kajunjun! Sengko’ arassa ce Bungana nangale ba’na kadhuwa atong-rontong kantha me-eme. Malar moga ba’na terrosa rampa’ naong baringen Korong, padha’a sampe’ atongket roman, ban katona campaka sakabul.” Dhalem buku Panduman Basa Madura| RP. Abd Sukur Notoasmoro

Dalam Sastra Bahasa Madura ada yang disebut dengan Rarenggan Basa ada 6 (Dalam buku Panduman Basa Madura, R.P AABD Sukur Notoasmoro) macam, seperti Saloka, Okara kakanten, Oca’ Saroja, Kerata Basa, Bangsalan, Baktebagan (ini dibagi lagi jadi lima bagian). Ada pula Parebasan Panyeddha’na Basa, Parebasan Babandhingan. Silahkan kalian baca di Panduman Buku Basa Madura, karya R.P AABD Sukur Notoasmoro.

Kelima, Banyak membaca; sehingga penulis berjumpa berbagai kosakata, menyerapnya untuk dijadikan tabungan diksi yang bisa digunakan ketika hendek menulis. Selanjutnya beralih pada Gaya Bahasa.

GAYA BAHASA

Gaya bahasa adalah cara seorang penulis menggunakan bahasa untuk menyampaikan pesan, emosi, dan suasana dalam tulisannya. Gaya bahasa melibatkan pilihan kata, struktur kalimat, penggunaan majas (figuratif), ritme, nada, serta pola tertentu yang membuat tulisan menjadi unik dan ekspresif. Sebagaimana saya tuturkan di atas bahwa latar belakang sosial penulis, akan berpengarauh terhadap gaya bahasa, anak pelaut, atau yang bertempat tinggil di pinggir laut akan berbeda dengan mereka yang berada di pegunungan.  

Gaya bahasa sangat penting dalam sebuah karya sastra, termasuk cerpen, karena dapat memengaruhi bagaimana pembaca merasakan dan memahami cerita. Gaya bahasa bisa membuat cerita terasa lebih hidup, menarik, dan mampu membangkitkan imajinasi serta emosi pembaca. Pembaca akan merasakan apa yang tergambar dalam cerita tersebut, melalui gaya Bahasa yang digunakan.

Unsur-unsur dalam Gaya Bahasa

Diksi: Pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan suasana atau karakter dalam cerita. Ini contohnya

“Senja itu tiba dengan warna merah yang pudar, seolah langit sedang berkabung. Angin berdesir pelan, menyelinap di antara pepohonan tua di pemakaman kecil di tepi bukit. Di sana, seorang lelaki berdiri mematung, memandangi nisan tanpa hiasan, hanya batu kelabu yang namanya telah memudar digerus waktu. Wajahnya kosong, tetapi matanya menyimpan gelombang yang dalam—perpaduan antara kehilangan dan sebuah rahasia yang tak pernah terungkap.”

Struktur Kalimat: Susunan kata dan kalimat yang digunakan untuk memberikan efek tertentu, seperti kalimat pendek untuk menciptakan ketegangan atau kalimat panjang untuk membangun deskripsi yang mendalam. Seperti contohnya, “Dia makan. Mencuci tangan. Menangis. Melempar gadget. Prak!” seperti kalimat seperti akan menghadirkan ritme cerita yang cepat. Temponya cepat. Tidak lambat seperti dalam conto kalimat ini “Barleyanna rong-mancorong, se lake’ bagus, se bine’ raddin; kenning koca’ mara cacopo laban kodhungnga, mase bulan kembar, abasanna angkreng tor berrit. Kacator rama ebuna, ngabas ana’ se kadhuwa, bungana sagunung ana’. (dhalem buku Basa Madura Umum | Karangan M. Wirjoasmoro.”

Majas (Gaya Bahasa Figuratif): Penggunaan kiasan atau ungkapan yang tidak harfiah untuk memperindah bahasa, seperti metafora, simile, personifikasi, hiperbola, dan lain-lain. Yang disebutkan barusan merupakan pendukung-pendukung yang sangat penting dalam membangun citra cerpen/carpan. Tentunya hasil akhirnya, adalah cerpen/carpan akan lebih terasa hidup. Tidak datar. Sehingga orang menjadi tertarik untuk terus membaca dan membaca lagi karya yang kita tulis.

Nada dan Suara: Nada adalah sikap atau perasaan penulis terhadap subjek atau pembaca, sementara suara adalah keunikan penulis yang terlihat dari cara mereka menulis. Sebagai penulis kita memiliki pandangan, perasaan, seperti empati dan simpati, sehingga tulisan kita, cerpen atau carpan yang ditulis itu akan terasa terarah, meskipun cerpen/carpan terkadang netral, tapi dengan ditulis akan terasa kemana arah perasaan penulis tersebut, apa benci, kasihan serta beragam perasaan lain. Suara penulis dalam cerpen juga akan nampak bagaimana sang penulis menyembunyikan keperbihakannya.

Irama: Irama atau ritme dalam tulisan yang diciptakan melalui pengulangan kata, frasa, atau pola tertentu dalam kalimat. Seperti contohnya, “Dia makan. Mencuci tangan. Menangis. Melempar gadget. Prak!” seperti kalimat seperti akan menghadirkan ritme cerita yang cepat. Temponya cepat. Tidak lambat seperti dalam conto kalimat ini “Barleyanna rong-mancorong, se lake’ bagus, se bine’ raddin; kenning koca’ mara cacopo laban kodhungnga, mase bulan kembar, abasanna angkreng tor berrit. Kacator rama ebuna, ngabas ana’ se kadhuwa, bungana sagunung ana’. (dhalem buku Basa Madura Umum | Karangan M. Wirjoasmoro.”

Contoh Penggunaan Gaya Bahasa

Metafora: "Hatinya adalah lautan yang dalam, penuh misteri dan rahasia yang tak terduga." (Metafora digunakan untuk menggambarkan perasaan seseorang dengan cara yang lebih ekspresif.) contoh dhalem basa madura “Gulina dika padhana omba’, tenang, namong nganyo’.” Gulina disini tidak sekedar Gerakan yang dia lakukan, bisa juga berupa perilaku dia yang cukup membahayakan, seperti kata nganyo’ itu. Akantha po-sapo poret, merupakan contoh-contoh yang cukup ekspresif.

Simile: "Kata-katanya tajam seperti pisau, melukai perasaan siapa pun yang mendengarnya." (Simile membandingkan dua hal dengan menggunakan kata "seperti" atau "bagai."). akadiya arebbu’ conthong, akantha belling kaojanan, akantha ladding tadha’ bajana. Mara bilis mardha, parsasat kaleppon nongko’ (elongnga oreng bine’ se loncong tor bagus).

Personifikasi: "Angin malam berbisik lembut di telinga, seakan membawa cerita dari masa lalu." (Personifikasi memberikan sifat manusia pada benda mati atau konsep abstrak.) akadiya conto paneka: Mara tep-kotep cellot. Nompa’ jaran apajungan. Marabut enterran e tebbana.

Hiperbola: "Aku sudah menunggu selama seribu tahun hanya untuk bertemu denganmu." (Hiperbola digunakan untuk memberikan efek dramatis atau penekanan yang berlebihan.) padhana se ngantos gettana bato. Atena dika pajat dhalem, padhana sagara se lebar dan dhalem.

Ironi: "Oh, betapa bahagianya diriku ketika melihatmu lupa dengan semua janji yang kau buat." (Ironi mengungkapkan sesuatu dengan cara yang berlawanan dari makna sebenarnya untuk menyampaikan sindiran atau sarkasme.) conto dhalem basa madura, dika padhana se posang e leggana.

Dengan memahami dan menggunakan gaya bahasa yang tepat, seorang penulis dapat memberikan warna dan keunikan pada ceritanya, membuatnya lebih menarik dan berkesan di mata pembaca. Gaya bahasa juga membantu penulis untuk menyampaikan ide atau emosi dengan cara yang lebih kuat dan berpengaruh. Tentunya hasil akhirnya, adalah cerpen/carpan akan lebih terasa hidup. Tidak datar. Sehingga orang menjadi tertarik untuk terus membaca dan membaca lagi karya yang kita tulis.

Maos Jugan

Dalam cerpen Bahasa Madura, atau carpan, gaya Bahasa juga akan berdekatan dengan dialek-dialek yang ada di Madura, seperti dialek barat-timur yang biasa disebut sanggit, di wilayah tapal kuda, Situbondo-Bondowoso dan sekitarnya juga ada istilah sanggit, serta saling tuduh bahwa Bahasa “Kamu” adalah sanggit.

Serta adanya perbedaan dalam menggunakan Bahasa, mulai dari Bahasa paling rendah, Bahasa tengah, dan Bahasa tinggi atau halus, tentu hal-hal semacam ini tidak bisa serta-merta hilang, sebagai bagian identitas Bahasa. Ada beberapa kata yang berbeda juga, seperti ompos, popos (daun muda), salebbar, lebbar atau bar (celana pendek) dan lain sebagainya.

Alangkah baiknya dalam menulis cerita pendek berbahasa madura, menggunakan Bahasa tenga’an ketika membuat narasi, sehingga tidak terlalu kasar, serta juga tidak terasa terlampau halus. Fungsi menggunakan Bahasa tengnga’an itu adalah agar kita sebagai penulis tidak terlalu cangkolang (ini saya tidak tahu Bahasa Indonesianya. Saya menyebutnya sebagai dosa kultural, dosa budaya) kepada pembaca yang lebih sepuh (seppo) dan serta pembaca yang muda-mudi juga belajar Bahasa tengnga’an.

Atas Perhatiannya terima kasih. 

salam hangat dari tim lalampan.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak