Apakah Malam Cukup Tenang


 

Mereka sama-sama diam. Dalam diri perempuan setetes kesadaran mengalirur, kesadaran yang terbengkalai, kesadaran yang terbuang di jalanan. Berdarah. Terlampau kecewa pada arus air mata yang menghanyut kesadaran. “Kau cemas?” Tanya lembut

 

“Kau kecewa pada waktu yang telah menyudutkanmu di warung ini? Selama ini kau disini? Kau menghargai kehormatanmu dengan uang?” Tak percaya. Sunyi mengeruk relung batin mereka. Perempuan itu tak mengubris.

 

“Selama ini aku mencarimu.” Kalimat itu mengagetkan.

 

“Dua tahun aku mencarimu, menunggumu di rumah dan malam ini karena aku tak kuat menahan diri, nafsuku menjejal diri sendiri untuk segera datang kesini. Surga para bajingan. Dan aku menemuimu. Aku tak percaya jika ini adalah kamu.”

 

“Aku masih ingat malam itu. Kau menguliti harga diriku tanpa balas, meski kusediakan kata-kata yang akan memanggangmu dengan ganas dan sadis. Kata-katamu membakar kesabaranku. Di dadaku badai mengamuk. Kutahan kakiku yang gemetar ingin menendangmu. Malam itu, marahku memuncak pada meja, piring dan barang-barang dapur. Dan di dapur itu, kita sama-sama mepertahankan harga diri. Saling menghidangkan kata-kata pedas. Memanggang aroma kemaharan. Di kamar, kita saling melepas kebencian. Menguliti rahasia. Di sumur, kita menghamburkan kecemburuan. Kita kehilanga kesadaran.


Maos jugan

 

Ku tarik rambutmu, tapi aku tak berani menghantamkan ke pilar dapur. Kau mendongak. Seperti beberapa menit yang lalu.” Sebuah ingatan muncrat.

 

Tiga tahun lalu kita berpisah dan selama dua tahun sebelum bercerai kita tak menghasilkan apa-apa. Anak tak lahir darimu. Barang-barang berharga hampir ludes terjual. Selama tiga tahun aku sendirian dalam kecemasan. Telungkup dalam keresahan tanpa tahu musim telah berubah.

 

Tak ada waktu untuk bermesraan kecuali pagi hari sepulangku melaut jika kamu bersedia. Atau sepulangmu menjual ikan-ikan itupun jika kau bersedia. Sebab alasanmu tetap sama: lelah dan tak enak badan.

 

Aku sadar, kelemahan memaksamu berlari dalam gelap malam. Semestinya malam itu aku menghentikan larimu. Aku tidak tahu kamu menuju arah mana. Dan orang-orang mengantarkan berita-berita tentangmu padaku bahwa kamu telah menjadi pemilik bibir berwarna. Merah. Kuning dan Hijau.

 

Setelah malam itu, banyak orang merasa telah membuang penyakit terakut dalam kampung. mereka menghapusmu dalam ingatan. Kamu tak lagi menjadi buah bibir mereka. Aku kembali melaut dan menikmati sendiri hasilnya.

 

Banyak orang yang telah mencapku “tidak lelaki.” Karena tanpak dari sepinya keluarga kita. Penghasilan tak bertambah, pohon-pohon warisan tidak berbuah, dan rahimmu pun tak berbuah. Menurut orang-orang, keluarga dianggap tak bahagia jika ia belum beranak. Akupun merasa beruntung, kamu tak meninggalkan seorang anak yang harus kurawat sendiri. Bungkus pil-KB mu masih tersimpan dengan rapi.

 

Aku bukan lelaki yang datang untuk sekedar merampungkan pelayaran di atas ranjang. Ketika aku dari laut, kamu berdiri di ujung timur halaman dan membiarkan matahari pagi merebut dingin dan basah tubuhmu.  Menghisap kehangatan yang kuinginkan setiap pulang. Aku memang datang setiap pagi dan kamu pernah tak mau menjualnya. Pada saat seperti itu, aku merasa wajib untuk merumuskan kehidupan kita tanpa bicara.

 

Hari itu, kau begitu setia menungguku. Kau ingin cepat berkeliling kampung untuk menjual ikan. Ada seorang yang sangat menanti kedatanganmu. Alasan yang membahagiakanku. Aku merasa, kita telah memiliki pelanggan yang akan selalu menanti ikan-ikan tangkapanku.

 

Tak seperti biasanya, kau berangkat tanpa menyilahkanku makan. Aku tak mempermasalahkan. Aku mencari nasi, ikan dan sayur di balekbhek[1]. Tapi, aku tak menemukan apapun, selain bau ikan, sayur basi dan petis-petis yang meleleh bercampur tumpahan cuka, cobek yang masih penuh trasi, timun yang mengering.

 

Aku menyiapkan sendiri segala kebutuhanku. Nasi dan lauk-pauknya, sembari menunggu kepulanganmu menjual ikan. Biasanya ketika matahari di atas kepala, kau datang dari arah barat halaman. Tapi, siang itu, kau baru tiba pada saat matahari menyinar dari barat. Bagiku, hal itu sangat tidak aneh, kau pasti nggosip dengan pelanggan-pelangganmu.

 

Aku mengurung niatku untuk sekedar bertanya tentang nasi yang belum kau masak, lauk-pauk yang belum kau siapkan, sebab aku lebih merindukan dirimu dalam perbincangan tubuh. Tapi, tubuhmu lelah dan tak enak badan. Lelah dan tak enak badan. Jawaban yang selalu kau ungkapkan.

 

***

 

Perempuan itu berangkat menjualkan ikan-ikan hasil tangkapan suaminya. Di wajahnya mengalir aroma keceriaan. Berpindah dari teras rumah ke teras rumah yang lain, dapur ke dapur. Dalam transaksi ikan, terselip perbincangan harga ikan, harga kebutuhan, harga diri. Di tengah-tengah hangatnya perbincangan tentang harga, terselip percandaan yang menjadi candu pertemuan. Tertawa cekikikan.

 

Perempuan itu telah melalui beberapa halaman panjang dan ikannya terjual. Ia tiba di sebuah rumah toko yang di depannya berdiri sebuah warung tempat para lelaki duduk santai. Namun siang itu hanya ada seorang lelaki berkumis. Perempuan itu membungkus ikan yang dipesan pemelik toko itu.

 

“Kamu mau melewati rumah kan? Mampir ya. Kasihan anak dan istri. Sudah lama mereka tidak makan ikan. Si kecil nangis.” Ucapnya sambil melangkah pulang.

 

Kamu tidak punya istri, bagaimana bisa punya anak. Perempuan itu membatin. Perempuan itu pamit pada pemilik toko untuk melanjutkan penjualan ikan ke rumah yang lain.

 

Perempuan itu sampai di rumah lelaki berkumis. “Kamu tidak capek, kerja terus-menerus?” Tangannya mengelus bahu perempuan itu. Aroma ikan berhamburan melesat bersama angin.

 

“Jangan!!!” sambil membanting tangan lelaki di bahunya.

 

“Kau tak usah menyembunyikan keinginanmu.”

 

“Kamu tidak pernah ingin beli ikan. Hanya agar aku  mampir kesinikan? Aku capek dan ingin cepat istirahat. Belum masak dan belum nyuci.” Bentak perempuan itu.

 

“Kau takut pada suamimu yang tak pernah mengerti keinginanmu? Malam pergi melaut dan pagi menyuruhmu menjual ikan-ikan hasil tangkapannya tanpa tahu keinginanmu yang terdalam. Keinginan seorang istri, perempuan membutuhkan kasih sayang dan perhatian.  Kekuatan malam terletak pada kekuatan lelaki di ranjangnya.” Desir angin meniup bau ikan. Perempuan itu terdiam. Lelaki berkumis terus merayu. Rayuan mentah.

 

“Aku ingin membahagiakanmu. Siang seperti ini, orang-orang pada tidur. Kita ke dalam saja.” Tawar lelaki itu.

 

“Kenapa kau memaksa?” Perempuan bau ikan itu melotot. “Jam satu malam. Ketuk pintu dapur belakang dengan kalimat -Apakah malam cukup tenang?” Perempuan itu pergi meninggalkan dua ekor ikan di depan lelaki.

 

Perempuan itu melihat suaminya yang pulas berbantal tangan dan mulut terbuka. Perempuan itu menuju dapur. Mengambil dandang untuk dicuci. Ia kaget karena dandangnya penuh dengan nasi. Ia pun memeriksa ikan. Sudah tergoreng. Ia tak berpikir panjang. Karena terkadang suaminya sering memasak sendiri. Perempuan itu langsung mandi dan mengharumkan badannya. Mendekat pada suaminya. Suaminya bangun dan tersenyum.

 

“Ini hidangan untuk memabayar kelelahanmu.”

 

***

 

“Apakah malam cukup tenang?” Terdengar suara dari belakang di antara kicau burung hantu. Rembulan mengawang dalam gelembung langit hitam.

 

Mendengar kalimat itu, perempuan terperangah. Tanpa baju, hanya dengan sarung yang cukup untuk menutupi dari atas dada hingga lutut, Perempuan itu beranjak menuju pintu dapurnya. Membukanya. Sangat pelan. Perempuan itu diam. Tanpa kelakar dan tanpa bicara panjang lebar. Lelaki itu menikmati gelap malam, beralas tikar, di samping lincak bambu yang penuh alat-alat dapur. Sebelum fajar mengumbar, permainan telah bubar.

 

Sebuah kalimat dari bibir perempuan itu “Tak cukup semalam dengan ketukan yang sama. Apakah malam cukup tenang.” Menjadi kunci yang selalu dibawa lelaki itu. Malam-malam berikutnya perempuan itu tak kesepian.

 

“Bagaimana kalau lebih dini? Kalau jam satu, terlalu lama menunggunya. Aku tak kuat menahan.”

 

“Lelaki memang jarang kuat menahan. Selalu harus sesuai dengan keinginan dan kemauan nafsunya. Jika itu kehendakmu. Aku takkan menghalanginya. Namun, aku takkan bertanggungjawab jika terjadi sesuatu di luar rencana.”

 

“Semuanya pasrahkan pada yang mengatur rencana.”

 

“Ini bukan rencana baik. Ini rencana buruk.”

 

“Baiklah. Aku kira datang sebelum jam itu, takkan bermasalah. Aku pulang.” Perempuan itu mengangguk. Telentang dan terlelap.

 

Perempuan itu bangun bersama suara adzan yang memecah kesunyian pagi. Memperbaiki sarungnya dan mengikat rambutnya. Ia melihat kutangnya tertindih celana dalam lelaki berkumis. “Ehmmm. Aku harus segera memakainya.”

 

Perempuan itu menuju kamar mandi dan mencuci beberapa pakaiannya. Ia menuju dapur, hendak memasak dan menyiapkan hidangan hangat untuk suaminya yang akan datang beberap saat lagi. Berharap ikan-ikan tangkapan banyak, agar ia bisa berkeliling menjual ikan dan mampir di rumah lelaki berkumis sambil mengantarkan celana dalamnya yang tertinggal.

 

Suaminya datang seperti yang dibayangkan. Perempuan itu memakai celana dalam yang tertinggal milik lelaki berkumis.

 

“Aku harus cepat-cepat, Mas. Nanti kalau ikannya masih ditaruh, bisa membusuk dan orang-orang tidak mau membelinya. Pelanggan kita bisa beralih ke penjual lain, Mas.” Suaminya mengangguk. Tersenyum. Merasa disambut hangat dan dihargai kerja kerasnya. “Kalau mau makan, silahkan ambil di balekbhek, Mas.” Ucap perempuan itu sambil berjalan setengah berlari.

 

Perempuan itu bekerja keras seperti biasanya. Menawarkan ikannya dari satu rumah ke rumah yang lain sambil bercanda. Melepas tawa dan saling bertanya tentang segala harga. Tak lupa harga diri dan harga kelamin. Dan waktu kembali mengantarkan perempuan itu ke rumah lelaki yang tertinggal celana dalamnya. Mereka duduk di teras rumah lelaki itu. Bakul tempat ikan perempuan itu ditaruh dibawah lincaknya.

 

“Celanamu tertinggal.” Lapor perempuan itu sambil menunjukkan warnanya. Lelaki itu mengangguk dan ludahnya ditelan “Buka di dalam saja sekalian.” Tawar lelaki itu. Desir angin menghanyut bau ikan ditubuh perempuan itu. Perempuan itu lupa membawa bakul ikan ke dalam  rumah lelaki itu.


Maos jugan

 

***

 

Kabar-kabar tak sedap berseliweran menyucuk telinga lelaki berkulit legam. Ia masih tak percaya pada kabar itu. Kabar yang tidak terbukti oleh matanya sendiri. Suaminya hanya bisa bertanya apakah benar istrinya telah berlaku yang tidak diinginkannya. Setahunya, istrinya adalah perempuan setia.

 

“Sampeyan belum makan, Mas?” Tanya perempuan itu setelah melihat nasi dan lauk-pauknya masih utuh.

 

“Aku ingin makan bersama. Aku ingin mencicipi makan bersama, seperti orang-orang yang sering makan bersama dengan istri dan anaknya.”

 

“Kita kan sudah sering makan…”

 

“Kita saling suap, hanya pada malam pernikahan. setelah itu kita berjalan sesuai dengan keinginan masing-masing!” Namun istrinya membalas dengan kata-kata menyakitkan. Pertengkaran tumpah di dapur. Peralatan-peralatan terbanting sesuai keinginan masing-masing. Pisau hampir mengupas hidung perempuan itu dan mengiris bibirnya. Seperti biasa, pertengkaran di dapur akan membakar harga diri, membakar aroma kemarahan, memotong-motong selentingan kabar yang tak nyata asalnya. Pindah ke kamar, saling membuka kebencian, melucuti rahasia-rahasia dan menabur kecemburuan.

 

Istrinya menyangka suaminya memiliki wanita simpanan di pantai. Suaminya menuduh istrinya memiliki lelaki yang selalu masuk ke rumahnya setiap malam dan menikmati tubuhnya. Perempuan itu diam. Pertengkaran usai tanpa kesadaran. Mereka sama-sama diam. Istrinya telentang di lincak dapur. Suaminya di dalam kamar, memeriksa kondisi kamar. Ia tertidur pulas. Istrinya datang, membangunkan, mengingatkan waktunya berangkat melaut.

 

“Kau hanya mengingatkanku untuk segera berangkat melaut. Itu artinya kau menyuruhku untuk segera pergi.” Bentak lelaki itu.

 

“Lalu, kau hanya ingin tidur pulas, makan, dan bertai? Dasar lelaki tak tahu diri.” Pertengkaran kembali menuai. Kalimat “menghidangkan kelamin tidak pada tempatnya” menghentikan percekcokan mereka.

 

Suaminya pamit berangkat melaut. Ia berjalan dengan kepala miring. Pikirannya tertusuk cerita-cerita tetangga. Cerita yang memanah kelelakiannya. Sesekali ia berhenti di tengah jalan. Melanjutkan dengan langkah pelan. Tiba di pelabuhan pada saat matahari surup. Ia tertinggal. Perahunya telah berangkat. Ia istirahat di sebuah warung makan pinggir pantai. Tak lama ia pulang. Ia ingin pulang ke rumahnya menemui ibunya, tapi ia batalkan

 

Langkahnya lebih cepat. Seakan ada yang dikejarnya. Rumahnya sendiri yang dituju merasa semakin menjauh. Ia menambah kecepatan langkahnya. Perasaannya semakin memastikan kalau rumahnya semakin jauh. Tapi, tak terasa rumah telah dihadapannya. Ia membelotkan langkahnya, menuju warung tempat kayu bakar. Ia berdiam diri dalam gelap warung itu. nyamuk dan hewan-hewan yang hafal pada aroma manusia mengerumuninya. Tapi ia tidak mengubah posisinya. Matanya tertuju pada pintu dapur yang sedikit terbuka.

 

Malam merangkak dalam gelembung angin yang membelai pohonan dan daunnya. Lelaki yang celana dalamnya tertinggal itu datang seperti keinginannya. Datang sebelum puncak pertengahan malam. Lelaki itu mengetuk seperti biasanya “Apakah malam cukup tenang?” dan perempuan itu telah menantinya di dapur itu, beralas tikar. Seperti biasa. Menikmati gelap malam. Nafas dipertaruhkan. Keringat mengalir. Mereka terbuai sapuan angin yang melenyapkan bau-bau yang menyeruak dari dapur itu. Mereka tenggelam di lautan asmara. Gelombang ombak yang membara.

 

Lelaki berkulit hitam yang bersembunyi di warung kayu bakar itu turun. Menuju dapurnya. Keris dikeluarkan. Keris itu menancap dan darah mengucur di punggung lelaki berkumis. Istrinya menendang tubuh yang berdarah itu dan lari menerobos malam.

 

 

 

Yogyakarta 2012

 

 

[1] Lemari kecil yang dijadikan tempat ikan dan sayur-sayur, baik yang sudah di masak atau belum. Berdasar kotak yang tersedia.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak