Lukisan Musim Lalu

carpan, sastra madura, cerpen, basa madura, bahasa madura



 


Seorang pelukis pun boleh disalahkan….

“Berhenti mengoceh kau!”

“Mengapa, kami mengoceh karena kau.”

Gadis itu menatap marah orang-orang yang mengatainya. Ia seperti sampah yang terus diludahi, dihina dimana-dimana setiap bertemu mereka. Tatapan nyalang tidak lepas dari bola mata gadis itu.

“Usir wanita jalang itu!”

“Tinggalkan anjing liar ini, biarkan ia menggonggong sendiri.”

Ia memang liar, mereka benar. Tapi amarah terus berakar membuatnya semakin seperti anjing liar gila di pinggir jalan. Darahnya semakin mengalir deras, amarahnya memuncak sampai sulit dikendalikan. Gadis itu tidak tahu mengapa orang-orang sangat membecinya sampai menyematkan anjing liar gila padanya.

***

“Aku harus istirahat seminggu ini.”

“Tapi ini musim hujan, setidaknya kita punya waktu bersama Barka.”

Lelaki itu menggeleng, pendiriannya tetap tak ingin dibantah. Pekerjaannya belum selesai, ia tak ingin musim hujan kali ini menghalangi untuk menyelesaikan pekerjaannya.

“Kalau begitu, temani aku melukis.” Gadis itu juga menggeleng. Membayangkan dirinya hanya menjadi patung tak ada pembicaraan pun membuatnya berpikir dua kali untuk mengiyakan kekasihnya itu.

“Tidak, aku memilih berdiam dirumah saja!” lelaki di depannya mengangguk. Tidak memaksa.

“Baiklah, itu permintaanmu.”

Percakapan itu berakhir. Barka akan memilih pekerjaannya musim hujan ini. Ia sudah memilih kuas dan cat terbaik untuk memoles karyanya itu. Lukisan itu akan segera selesai dan akan dipajang di museum lukisan kota akhir tahun ini. Sebentar lagi semua orang akan mengakuinya. Ya, sebentar lagi….

***

Barka tersenyum puas. Keinginannya akan segera terwujud. Karyanya selama sebulan ini tak akan mengecewakan. Ia tersenyum menatap lukisan itu teronggok begitu indah di pojok kamarnya yang temaram.

“Alana tak akan menyesal melihat ini.” Gumamnya menyunggingkan senyum.

Malam ini angin begitu tajam sampai menusuk kulit. Barka terbangun begitu saja. Ketika akan bersiap tidur kembali, sebuah suara ketukan didengarnya. Ia menoleh sekitar, melihat sekeliling kamarnya yang remang. Tak ada siapa-siapa. Mungkin sesuatu jatuh…?

Ada lelap mimpi yang harus tertunda malam ini

Pada mimpi-mimpi masyhur pengelana…

Benar. Suara itu berasal dari kamarnya sendiri, seperti suara kidung perempuan dengan kata-kata yang tak dimengertinya. Ia menatap sekitarnya lagi, memastikan tak ada seorangpun dikamarnya. Tapi, ia langsung terpaku saat melihat seorang gadis duduk berjongkok di pojok kamarnya. Bersama lukisan-lukisan dan cat yang berserakan.

Ia meraba penglihatannya, memastikan ia tak salah melihat. Tapi Gadis  itu nyata, dengan gaun merah setengah paha. Memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Berdiri mematung di pojokan kamar disertai sunging senyum yang menawan. Barka tidak menyangka bakal bertemu dengan Gadis sejelita itu dalam kamar yang remang. Tubuh sintal yang aduhai, tak mampu sedikitpun ia berpaling dari wajah dan tubuh Gadis itu.

Cantik…pikirnya tanpa berkedip.

“Siapa kau?” Gadis itu tersenyum. Menampilkan sisi kecantikannya yang lain. Ah! Alana saja kalah cantik dengan wanita ini…

Kau tak mengenalku?” Barka mengernyit, ia tak pernah melihat gadis itu sebelumnya.

“Tidak!” Ucapnya yakin.

“Bagaimana bisa kau melupakanku begitu saja.” Wajahnya terlihat kecewa. Tapi Barka yakin, ia tak mengenal gadis itu. Meski penampilan teman-teman perempuannya juga hampir sama dengan gadis itu yang selalu membuncahruahkan libido dengan paha mulus sengaja disingkap, terbuka. Termasuk kakasihnya, Alana yang kerap mengajak berdansa di kasur tanpa suara bila sunyi malam tiba.

“Apa maksudmu.” Barka mulai merasa aneh dengan gadis itu.

“Padahal kita pernah menghabiskan waktu bersama selama semusim ini.” Gadis itu berjalan kearahnya dengan seputung rokok yang masih menyala di sela jarinya. Astaga, Gadis itu merokok…

Barka tetap tak bergeming di tempat tidurnya. Tapi melihat Gadis itu, semakin dekat kearahnya, lalu duduk di sudut kasurnya entah mengapa ada perasaan aneh yang mengganggu pikirannya.

Gadis itu duduk di pinggir kasurnya, menatapnya sambil tersenyum. Tapi kali ini, senyum itu terlihat kering. Wajah Gadis itu terkena cahaya bulan yang tembus melalui jendela kamarnya, memperlihatkan tatapan matanya yang terlihat terluka. Barka tidak tahu tangan lelaki mana yang sampai berani melukai bola mata rubi Gadis di depannya itu.

“Sebenarnya kau siapa?” Barka mulai tak tahan, Gadis di depannya ini terlihat aneh, bagaimana mungkin ia bisa masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Ia tak pernah membebaskan siapapun boleh masuk ke dalam kamarnya kecuali itu Alana. Dan malam ini, seorang Gadis asing masuk ke kamarnya.

“Padahal musim hujan lalu, kau begitu senang mencipta khayal bersamaku, bahkan kekasihmu yang cantik itu tak kau ladeni.”

“Aku yang selalu menemanimu saat musim dingin itu, hingga kau puas fantasimu tembus di pusat kota akhir tahun ini.”

“Ayolah, jangan mengada-ada musim hujan lalu aku begitu sibuk dengan proyek lukisku.” Barka ingin sekali menarik Gadis itu keluar, ia terlalu membual. Lelucon pikirnya.

Barka tidak tahu harus berbuat apa dan melakukan apa terhadap Gadis di sampingnya itu. Gerakan nakal dan lenguh suara Gadis di depannya membuat rangsangan kuat pada libidonya, di tambah paha terbuka leluasa siapa saja bisa menikmatinya. Ingin sekali ia meraba, hanya saja, siapa gerangan Gadis di depannya.

“Kau sungguh lupa siapa diriku, Barka?” Gadis itu mencoba menguliti ingatan Barka.

Barka tidak langsung menjawab, pikirannya berusaha keras mengingat-ingat Gadis di depannya. Bola mata indah, senyum yang manis, wajah oval, kulit kuning langsat mulus, tinggi badan semampai, dan bentuk tubuh teramat menggoda. Lama Barka berkecamuk dengan pikirannya, sedikitpun tidak bisa ia mengingat siapa teman yang memiliki wajah dan bentuk tubuh seperti Gadis itu.

“Kau jangan pancing ingatanku, sama sekali aku tidak mendengarmu. Sebenarnya kau siapa?” Barka bertanya memaksa Gadis itu berbicara sejujurnya.

“Tiada guna kita saling meluangkan waktu bersama, jika di malam dingin nan sunyi ini sedikitpun kau tidak mengingatku.” Gadis itu mendengus resah, seolah sesal menggrogoti jiwanya.

“Kau terlalu rumit, hanya untuk memberi tahu identitas saja, kau begitu pelit.” Barka mulai tak sabaran.

Gadis itu tidak menyahut lagi, ia memilih diam sebab tidak mesti ia haru mengatakan yang sebenarnya. Jika Barka tahu akan dirinya, bisa saja ia akan segera memutusi Alana dan memilih dirinya. Mana bisa ia melakukan perbuatan yang begitu menyakitkan bagi Alana itu. tapi jika sudah demikian posisinya, mana mungkin juga ia tak mengatakan yang sebenarnya, toh sekali lagi, tubuhnya tidaklah abadi, dirinya hanya ilustrasi yang mencoba menemui pelukisnya.

“Aku lukisan gadis di pojokan kamar itu, yang tak lain hasil tangan senimu.”

Barka diam, tidak tahu harus mengatakan apa. Antara nyata dan ilusi belaka tak bisa dipikirakan dengan jernih. Gadis di depannya tersenyum manis.

 

Jember, 16 April 2023

Arina Maulidia merupakan alumni Mts 1 Annuqayah, MA 1 Annuqayah dan Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) di Fakultas Ekonomi Bisnis Islam, Prodi Ekonomi Syariah. Dan tercatat sebagai Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Penulis menetap di Bondowoso Jawa Timur. Tulisannya berupa cerpen dan puisi yang sudah tersebar diberbagai media daring dan luring.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak