Lalampan-2022. Festival
Sapparan Budaya PCNU Lesbumi Sumenep pada hari kedua (tanggal 18 September
2022) adalah Seminar Budaya dengan tema “NU dan Multikultur-Art” dengan
pemateri yang cukup kompeten di bidangnya, seperti Halim HD yang merupakan
networker kebudayaan dan K. H Jadul Maula (Ketua Lesbumi PBNU) dengan moderator
Drs Mashur Abadi, M.Fil (Dosen IAIN Madura).
Sedangkan pada hari
ketiga (19 September 2022) merupakan seminar sastra dengan pemateri Mashuri
Alhamdulillah (Sastrawan Nasional), Nonot Sukrasmono (Ketua Lesbumi PW Jawa
Timur), Chrisman Hadi (Sekjen Dewan Kesenian Jawa Timur) dan K. M Faizi M.Hum
(Sastrawan Nasional) yang dimoderatori oleh Matroni Muserang (Dosen STKIP
Sumenep).
Dalam seminar budaya
hadir peserta dari berbagai penjuru Sumenep, seperti dari Ra’as dan lain
sebagainya. Pada kesempatan kali ini Halim HD menuturkan bahwa kesenian pada
awalnya tumbuh dan berkembang dari keluarga ke keluarga, seperti kompolan antar
keluarga, namun sekarang, kesenian tradisi sudah beralih dan dikelola oleh
kampus. Halim HD mencontoh kan Macapat Kalenengan yang dipentaskan pada malam
pembukaan Festival Sapparan Budaya merupakan kesenian tradisi yang dibangun dan
dihidupkan dari keluarga, begitu pula dengan Pojiyan, juga kesenian tradisi
yang hadir dan tercipta karena intensitas kekeluargaan. Hal ini seperti ini
yang seharusnya menjadi perhatian seniman sekarang.
Sedangkan K.H Jadul
Maula yang akrab disapa Kang Jadul itu memaparkan bahwa kesenian tradisi bukan
sebatas bunyi-bunyi kosong yang hampa, jika kita mendengar tetabuhan Macapat
Kalennengan ada bunyi Neng, yang artinya jiwa seorang manusia harus hening,
seperti mengheningkan cipta.
Dahulu di kerajaan,
para raja menonton kesenian tradisi yang berupa gamelan untuk belajar, untuk
menyerap ilmu pengetahun dari tetabuhan tersebut, karena pengetahuan
disembunyikan dalam tanda-tanda yang ada dalam kesenian tradisi. Ilmu
pengetahuan simbolik yang diajarkan leluhur melalui tradisi dan kesenian.
Tandasnya dalam acara Festival Sapparan Budaya.
Kaitannya dengan tema,
tanpa keheningan jiwa, kemungkinan besar manusia tidak akan menerima perbedaan
orang lain, tanpa ketenangan jiwa, kita akan selalu merasa panas, merasa
tersaingi, maka hal pertama yang diajarkan adalah neng, keheningan untuk menuju
ketenangan dan puncaknya adalah Gung. Multikultur bukan Masalah Kita. Itu
problem barat yang terkejut dengan hadirnya migrasi, perjumpaan berbagai macam
suku, lalu terjadi pertumpahan darah dan lain sebagainya. Lalu mereka kemudian
harus menyebut berbagai macam perjumpaan dari berbagai suku itu dengan
multikultur.
Dalam kesempatan kali
ini beberapa peserta bertanya tentang cara merawat tradisi wabil khusus
kearifan lokal, baik Madura ataupun secara khusus Sumenep, serta ada pula yang
bertanya tentang kearifan lokal Madura atau bahkan nusantara seperti perdukunan
yang nyaris punah dari tanah nusantara, seperti semar mesem, jaran goyang, dan
berbagai macam ajian yang memang dijaga dari masing-masing keluarga. Seperti
“Sango sekep” ketika hendak melakukan perjalanan jauh, ketika akan berangkat
menikah juga membutuhkan “Sango sekep” agar tidak terjadi gangguan dalam
perjalanannya.
Pertanyaan peserta
tersebut dilatar belakangi oleh tema Festival Sapparan Budaya kali ini yakni
Merawat Kearifan Lokal, menanggapi pertanya tersebut, Kang Jadul Maula
memaparkan relasi manusia denga alam sebagai bagian dari mikro dan makro kosmos
nusantara dimana di dalamnya ada elemen-elemen yang memang tidak bisa
terpisahkan dan hal ini hanya bisa didapat oleh mereka-mereka yang bisa
memulainya dengan tapak keheningan. Tidak akan mampu menguasai jika tidak
melalui tapak keheningan.